Perjalanan ini sebetulnya saya lakukan demi memenuhi tugas yang diberikan untuk dipaparkan dalam “International Conference on Environmental Quality Concern, Control and Conservation”, yang diselenggarakan di Taiwan, Mei 2023. Berhubung tema penugasan tentang lingkungan, maka saya mencari tempat wisata dekat rumah yang nantinya akan saya telaah dengan sudut pandang hukum kepariwisataan.
Ada dua profesi yang harus saya lakoni, yaitu mengajar dan update foto di Instagram. Apalagi kalau mendadak pasti peluang selesainya cepat—salah satu prinsip yang saya terapkan.
Hari itu, tepat di waktu libur Nyepi, setelah berkomunikasi dengan “penguasa” sekitar, saya memutuskan pergi ke hutan mangrove Morokrembangan. Tidak jauh dari jalur maut Kalianak yang kerap dilewati truk trailer, menjadikan pinggiran jalan ini selalu panas. Asap dari pembakaran mesin menjadi musuh bagi pengemudi sepeda motor.
Perjalanan Meneliti sekaligus Berwisata
Saya berangkat dari kafe milik teman yang dahulu bernama R N’ R Corner, akronim dari “Rock And Roll Café”, sesuai dengan pemiliknya yang selalu awet muda. Lagipula dia juga berpengalaman di laut sebagai penyalur komoditas perdagangan.
“Nyegat kene ae, Tom, ketemuan koncoku nang jembatan kono. Cidek, kok. (Kita cari kendaraan dari sini saja, Tom, ketemu temanku di jembatan sana. Dekat, kok),” kata Frega, pemilik kafe yang awet muda itu. Cuaca amat terik, cocok kalau ingin menguruskan badan. Sementara teman yang lain sibuk mematikan rokoknya karena jemputan sudah terlihat.
Sesampainya di jembatan yang melewati sungai kecil, kami bertemu sang nakhoda, Erno Saputro. Ia mengenakan sarung motif cokelat muda sambil membawa botol mineral berisi solar. Ritual basa-basi kami lakukan karena bagaimanapun juga Erno adalah pimpinan regu. Kemudian Johan mampir di gerbang Morokrembangan untuk membeli sekotak udang segar, karena ada banyak ikan di sana.
Setelah semuanya beres, kami semua naik ke perahu. Bersiap meneliti sekaligus berwisata. Yang kami teliti adalah keberadaan wisata berkaitan dengan Undang-Undang Kepariwisataan, khususnya bagaimana menyiapkan pariwisata sesuai keadaan saat ini di tengah gempuran media sosial. Pariwisata tidak boleh berhenti setelah viral, sehingga harus mempertahankan keberlanjutannya walaupun spot foto tetap dicari siapa pun.
Potensi Wisata Mangrove Morokrembangan
Nakhoda mengarahkan perahu ke bagian kanan jalur berlayar selepas dermaga. Tujuannya untuk melihat potensi kawasan hutan mangrove Morokrembangan sebagai objek wisata.
Terdapat deretan pepohonan rimbun yang sebetulnya bisa menjadi tempat wisata berkelanjutan, seperti edukasi mangrove atau sesi foto prewedding yang cinta lingkungan. Namun, para pengunjung harus tetap berada di atas perahu. Andai memaksa untuk turun maka harus siap-siap masuk ke area tanpa batas. Cukup berisiko jika tidak terbiasa.
Usai pendokumentasian secara detail, kami melanjutkan perjalanan ke sisi lainnya. Menyusuri selama 15 menit, akhirnya perahu menemui bagian laut yang sebenarnya. Dari kejauhan terlihat megahnya International Container Terminal (ICT). Betapa kokoh konstruksinya. Saya rasa jika dibangun hotel di atasnya akan menjadi inovasi yang paling siap menerima teknologi terbaru. Tidak terkontaminasi dengan suara mesin perahu dan deburan air.
Sebetulnya ini kali pertama mendekat ke ICT walaupun jika lewat jalan darat cukup dekat dari rumah saya. Namun, tentu saja hanya para pekerja setempat yang bisa masuk dan ada kartu khususnya. Sementara kami hanya melihat dari lautan dan ini adalah legal selama tidak melewati bagian bawah jembatan ICT.
Melihat Sisi Lain Kota
Bagi saya, suasana jembatan yang sepi menjadikan wisata berkedok penelitian makin menyenangkan. Saya tidak pernah menduganya. Sekalipun beberapa mil dari perahu ini tampak kejenuhan kota tetap tidak bisa hilang. Samar-samar terlihat Pulau Karapan Sapi, yang seolah-olah ingin mengatakan, “Kami masih Jawa Timur.”
“Mas, arep nyampe iki. Tak siapno sek, yo. Sampean njupuk udange. Ojo lali foto sek ben komplet. (Mas, sudah mau sampai ini. Saya siapkan dulu, ya. Ambil udangnya. Jangan lupa foto dahulu biar lengkap dokumentasinya),” ujar Erno.
Udang yang terlihat kuat itu akhirnya pasrah untuk dihidangkan sebagai makanan ikan yang kerap kali melompat-lompat rendah. Kami berlomba melemparnya sesuai arahan Erno.
Namun, sepertinya ikan-ikan itu pun lelah menghadapi kehidupan. Udang segar hanya mereka cicip sedikit. Hampir empat puluh menit, kail hanya dipermainkan. Sayangnya kami tidak bawa kopi dan camilan, yang bisa membuat kami menikmati suasana laut sampai sore. Padahal kalau dapat ikan akan membuat laporan akhir penelitian menjadi sempurna.
Udang di boks tinggal sedikit, dan dengan terpaksa kami lepaskan semuanya ke laut. Kami harus rela membakar uang untuk beli udang tadi sebesar Rp20.000. Kami perlahan meninggalkan jembatan dan kawasan ICT.
Perjalanan balik kami tempuh tidak sampai tiga puluh menit. Setibanya di dermaga, nakhoda menautkan perahu seperti posisi awal. Saya menyelesaikan pembiayaan sewa perahu dan menyempatkan foto bersama. Bisa saya katakan perjalanan kali ini sebagai wisata Hutan Mangrove Morokrembangan sekaligus memancing dan kegiatan lainnya. Tak lupa selembar kaos dengan identitas kampus saya berikan kepada nakhoda.
Catatan:
Penelitian telah selesai dipaparkan pada Mei 2023
Tulisan ini diikutsertakan dalam kampanye “TelusuRI Sungai dan Mangrove Indonesia” untuk memperingati Hari Mangrove Internasional 26 Juli dan Hari Sungai Nasional 27 Juli
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Tomy Michael berasal dari Surabaya yang memiliki darah Batak Simalungun. Saat ini mengabdikan hidupnya di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan menekuni hermeneutika hukum.