Sate adalah salah satu ikon kuliner Indonesia yang sangat populer. Variasinya sangat banyak—yang hampir setiap daerah mempunyai versi sate masing-masing. Sate pun memiliki banyak penggemar lintas strata sosial, mulai warung kaki lima hingga restoran bintang lima.
Karena itu, tidak heran, bila pada tahun 2018 Kementerian Pariwisata (Kemenpar) memasukkan sate sebagai salah satu dari lima makanan nasional Indonesia (national food). Selain sate, makanan nasional Indonesia lainnya adalah soto, rendang, nasi goreng, dan gado-gado. Di antara banyak versi, sate ayam dari Pulau Madura merupakan salah satu yang sangat populer di Nusantara.
Sate Ayam Sejuta Umat
Mungkin sate ayam Madura tergolong “paling ekspansif” di antara sate dari daerah lain. Mudah menjumpai sate khas dari Madura di (hampir) seluruh pelosok Nusantara.
Tradisi merantau, spirit kewirausahaan, dan ketekunan berdagang orang-orang Madura membuat kuliner satenya tersebar hampir di seluruh daerah. Penyebaran dan penerimaan pasar yang luas menjadikan sate ayam Madura kiranya layak mendapat julukan sebagai “sate sejuta umat”.
Tahun 2012, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu mencanangkan ikon kuliner Indonesia berisi 30 jenis sajian dari seluruh daerah di Indonesia. Sate ayam Madura masuk di dalamnya sate Maranggi khas Sunda dan sate lilit khas Bali.
Masuknya sate ayam Madura ke dalam 30 Ikon Kuliner Indonesia menunjukkan sate ini mendapatkan tempat dan sangat populer. Selain ekspansi yang luas, tentu juga karena cita rasanya yang mendukung. Sate ayam Madura masyhur dengan cita rasa kelezatan yang membuat banyak orang mudah menyukainya.
Sate Lezat dengan Bumbu Kacang yang Khas
Sebenarnya, di Indonesia banyak jenis sate ayam selain sate ayam Madura. Di antaranya sate ayam khas Blora, sate Ambal (Kebumen), sate ayam Margasari (Tegal), dan sate ayam Ponorogo. Namun, harus diakui sate ayam Madura lebih populer dan jadi favorit di berbagai kota.
Sesuai namanya, sate ayam Madura terbuat dari daging ayam yang dipotong kecil-kecil, lalu ditusuk dengan sujen dari lidi—yang juga berasal dari Madura. Salah satu rahasia kelezatan sate ayam Madura terletak pada proses pembakarannya. Sebelum melakukan pembakaran, terlebih dahulu merendam daging yang ditusuk sujen atau melumurinya dengan paduan saus kacang dan kecap manis. Hal itu berlangsung beberapa kali saat proses pembakaran, sehingga selain bumbu meresap ke dalam daging, juga membuat karamelisasi baluran bumbu yang menyaput sate. Hasilnya adalah sate ayam yang istimewa. Tidak hanya dagingnya empuk, namun juga bercita rasa antara manis dan gurih.
Seporsi sate ayam Madura—umumnya 10 tusuk—biasa terhidang dengan nasi atau lontong. Kemudian melengkapinya dengan saus kacang beserta aneka pelengkap, seperti irisan cabai dan bawang merah.
Di Madura, Kabupaten Pamekasan adalah daerah yang paling terkenal dengan sate ayamnya. Selain itu di Pamekasan juga populer dengan jenis sate lalak atau sate lalat. Meski namanya sate lalat, tetapi bahannya bukan dari lalat, melainkan daging ayam biasa yang potongannya lebih kecil lagi sehingga terlihat mirip lalat. Sate lalat tidak butuh waktu lama dalam proses pembakaran. Penjual sate lalat biasanya menjual sebanyak 25 tusuk per ikat.
Asal-usul Sate Ayam Madura
Sejumlah literatur menyebutkan, embrio sate ayam Madura berawal dari kunjungan Raden Harya Jaran Panoleh (Lembu Kenongo), Adipati Sumenep saat itu, ke tempat kakak kandungnya yang bernama Raden Bathara Katong (Lembu Kanigoro), Adipati Ponorogo. Keduanya merupakan putra Prabu Brawijaya V (Bhre Kertabumi), Raja Majapahit terakhir dari istri yang bernama Putri Bagelen.
Di kediamannya, sang kakak memberi Raden Harya Jaran Panoleh hidangan berupa potongan daging yang ditusuk dengan lidi dan berbumbu. Raden Harya Jaran Panoleh awalnya sempat menolak, karena sebelumnya tidak pernah mengonsumsi hidangan seperti itu.
Kakaknya lalu bercerita. Hidangan darinya merupakan sajian yang biasa jadi menu makanan oleh para pendekar di Ponorogo. Cerita sang kakak menarik Raden Harya Jaran Panoleh, sehingga akhirnya mau menikmati hidangan tersebut. Bahkan setelah makan, Raden Harya Jaran Panoleh terpikat akan cita rasa dan kelezatannya. Ia pun meminta izin kepada kakaknya untuk mengembangkan hidangan itu di Sumenep.
Dalam konteks sejarah budaya Madura, banyak anggapan bahwa Raden Bathara Katong adalah sosok penting di balik asal-usul sate ayam Madura, karena telah memperkenankan orang Sumenep belajar tentang sate pada masyarakat Kadipaten Ponorogo.
Pada awal perkembangannya, sate ayam dengan tusuk lidi memang hanya ditemukan di kabupaten paling timur Madura. Namun, kemudian berkembang dan tersebar hingga ke seluruh dataran berjuluk Pulau Garam itu.
Perbedaan Sate Ayam Madura dan Ponorogo
Bila hikayat asal-usul sate ayam Madura dalam kisah tersebut sahih, berarti memang ada keterkaitan historis dan kultural antara sate ayam dari Madura dan Ponorogo. Pada kenyataannya, penampilan keduanya memang mirip. Sama-sama menggunakan saus kacang sebagai pelengkap bumbu.
Namun, ketika menyelisik lebih jauh, tentu keduanya memiliki sejumlah perbedaan. Dari segi bentuk, irisan daging sate ayam Ponorogo pipih memanjang, sedangkan sate ayam Madura kotak-kotak (persegi).
Adapun dari sisi teknik pembuatan dan bumbu, sebelum proses pembakaran, daging sate ayam Ponorogo dimasak terlebih dulu bersama bumbu rempah. Teknik ini membuat bumbu sate ayam Ponorogo lebih meresap dan relatif lebih awet atau tidak mudah basi. Sementara sate ayam Madura lebih simpel, karena hanya mencelupkan daging ke bumbu marinasi yang meliputi campuran bumbu kacang, kecap manis, dan sedikit minyak goreng, sebelum kemudian membakarnya di atas bara arang.
Sejumlah perbedaan tersebut tentu mendapat pengaruh dari kebudayaan masing-masing daerah yang memang spesifik. Namun, keduanya sama-sama mencitrakan kekayaan rasa sate ayam khas Nusantara. Keduanya adalah warisan kuliner leluhur yang istimewa dan patut kita lestarikan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia