7 April 2021, aku masih di kampung halaman, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kebijakan work from hometown akibat pandemi COVID-19 membuatku bisa tinggal di kampung halaman dalam kurun waktu yang cukup lama. Meskipun aku bekerja di sini, kebiasaan bekerja di lapangan membuatku ingin menambah aktivitas lain di luar pekerjaan utama, yaitu menulis.
Di sini, ada satu Desa yang menarik perhatianku. Namanya Desa Kandung Suli. Desa ini terletak di Kecamatan Jongkong dan masih satu kecamatan dengan desaku. Jarak dari desaku ke sini juga cukup dekat, menggunakan motor hanya membutuhkan waktu 30-45 menit dengan jalanan aspal dan berbatu. Masyarakat Desa Kandung Suli menggunakan motor sebagai alat transportasi darat, dan perahu untuk jalur sungai.
Menelusuri sejarah Desa Kandung Suli
Menurut Pak Ahmadi, Kaur Umum dan Perencanaan Desa Kandung Suli, zaman kerjaan dahulu kala, tempat ini dihuni oleh orang Dayak. Ada seorang pria bernama Suli menikah dengan seorang wanita Undang, mereka memiliki 2 orang anak. Anak lelakinya bernama Linau memadu kasih dengan adik kandungnya sendiri hingga hamil. Akibat perbuatan tersebut Suli dan sang adik mendapatkan hukuman pancung di Bukit Senara (Bukit Susu). Darah mereka berdua mengalir ke Sungai Letang hingga Sungai Terus di Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Konon katanya Sungai Terus dinamakan karena darah Suli dan sang adik mengalir terus menerus. Untuk mengenang kejadian tersebut, makanya desa ini dinamakan Kandung Suli yang mengambil nama sang ayah kedua anak muda tersebut. Pak Ahmadi bilang, beliau tidak mengetahui tahun kejadian kisah ini. Seperti cerita dari orangtuanya, kisah ini terjadi pada zaman kerajaan.
Lalu setelah ratusan tahun, datanglah nelayan dari Desa Piasak—desa yang terletak di Sungai Kapuas dan Desa Gerayau. Kedua Desa ini terletak di Kecamatan Selimbau. Pada masa Camat Adi Jinan sekitar tahun 1960-an, Kadung Suli masih bergabung dengan Kampung Jongkong Pasar. Sahari menjadi kepala kampung pertama. Lalu, kepala kampung kedua—Untat Sahari merupakan anak dari mantan kepala pertama.
Setelah itu, Kadung Suli berubah menjadi dusun dan masih tergabung dengan Dusun Jongkong Pasar. Kepala dusun pertama yaitu Muhidin, dilanjutkan ke kepala dusun kedua yaitu Awaludin. Lalu, kepala dusun ketiga Saharmansah. Kepala dusun keempat yaitu Suharman, ia menjabat pada 2008-2011. Tahun 2011 terjadi pemekaran, dan Desa Kandung Suli berubah status menjadi Desa Mandiri terlepas dari Desa Jongkong Pasar. Kepala desa pertamanya ialah Herman Pelani, ia dilantik oleh Camat Karim. Kepada Desa kedua Awaludin—mantan kepala dusun kedua—yang menjabat hingga saat ini.
Mitologi Desa
Desa Kandung Suli juga terkenal dengan keangkerannya. Bahkan terdapat satu kisah yang hingga kini masih dipercaya setiap warganya yakni adanya “penunggu” atau gana yang bernama Modang Bedaun. Konon, Modang Bedaun adalah batang pohon yang hanya memiliki selembar daun. Ia dipercaya berada di dalam Danau Kandung Suli. Ketika air pasang, Modang Bedaun berjalan ke Nanga Bantas dan ketika air surut berjalan ke Sungai Marau.
“Saya pernah menjala ikan, namun jalanya robek akibat ikan siluk merah berantai. Ikan siluk biasa kita kenal sebagai ikan arwana. Ikan siluk merah berantai ini juga salah satu penunggu di desa ini. Sisik ikan ini punya rantai tajam yang jarang ditemui.”
“Ada seorang teman yang sedang menjala ikan. Ia melihat ikan siluk merah berantai yang tiba-tiba berubah menjadi ular,” sambung Pak Awaludin, Kepada Desa Kandung Suli.
Mata pencaharian masyarakat
Desa yang terletak tepat di tepi danau ini juga menyimpan beragam jenis air tawar di sana. Sayangnya, ketika aku menanyakan berapa jumlah jenis air tawar yang ada, tidak ada yang tahu pasti berapa jumlahnya. Namun masyarakat meyakini ada ratusan jenis ikan air tawar di sana. Letak geografis Desa Kandung Suli juga yang menjadi salah satu alasan pekerjaan utama masyarakat adalah nelayan. Selain itu ada juga yang menyadap karet di perkebunan milik sendiri.
Meski hanya ada 2 pekerjaan utama mayoritas warga, nyatanya ada pekerjaan tambahan yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu. Mereka selalu punya cara untuk membantu suami agar kebutuhan dapur dan anak bisa terpenuhi. Pekerjaan tersebut yaitu membuat keranjang dari rotan, tikar dari kulan—tumbuhan endemik di Kapuas Hulu—atau pandan berduri.
Saya kemudian berbincang dengan Nenek Piah. Ia ialah salah satu pengrajin keranjang dan tikar. Semenjak suaminya meninggal pada 2018 lalu, membuat keranjang atau membuat tikar menjadi pekerjaan utamanya.
“Nenek sudah tidak bisa menyadap, sekarang membuat keranjang dan tikar saja dari rumah. Bahan baku seperti rotan dan pandan berduri ada yang mencarikan. Nanti jika keranjang atau tikar yang terjual, uangnya kami bagi dua. Terkadang pencari bahan baku yang membelinya,” paparnya.
“Harga keranjang ukuran besar Rp40 ribu; dan yang kecil Rp30 ribu. Sedangkan tikar Rp40 ribu untuk ukuran kecil dan Rp70-80 ribu karena pembuatannya susah,” sambungnya.
Jika diulas lagi sejak pencarian bahan baku hingga pembuatan, membutuhkan waktu sekitar 3 hari untuk ukuran keranjang kecil dan 5 hari ukuran besar. Jadi harga yang tersebut relatif murah. Namun menurut Nenek Piah, jika dijual lebih mahal, tidak ada yang mau beli.
Syukurnya, meski harga yang tergolong murah, Nenek Piah bilang kalau generasi muda masih ada yang mau belajar menganyam meski bukan menjadi pekerjaan utama. Pekerjaan ini juga membuatnya bersyukur masih bisa bekerja di hari tua ketimbang berdiam diri saja di rumah.
Selain membuat anyaman, ada lagi pekerjaan tambahan yang unik menurutku yaitu menyiangi ikan-ikan hasil nelayan sebelum dijual ke pasar. Misalnya jenis ikan patin, dipotong menjadi beberapa bagian seperti membuang perutnya, mengambil bagian bawah perut yang mayoritas isinya lemak ikan, lalu memisahkan duri, memotong kepala dan terakhir memisahkan antara tulang dengan isinya yang biasa kita kenal sebagai istilah fillet. Nah, setiap bagian ini dikerjakan oleh masing-masing orang. Meski begitu, upahnya sama rata yaitu Rp2 ribu per kg.
Bahagia dalam kesederhanaan
Hari ini aku diingatkan lagi, setiap orang punya standar masing-masing dalam hidup, berapapun penghasilannya bisa saja mencukupi kebutuhan keluarga jika disyukuri dan digunakan sebagaimana mestinya. Jadi, memang betul bahagia tidak selalu bisa diukur seberapa banyak kamu punya harta. Alam yang lestari, ada sumber alam yang bisa dimanfaatkan namun juga menjaganya disaat yang bersamaan, bisa juga membuat warganya bahagia dalam kesederhanaan.
Melangkah kaki ke daerah yang masih berdekatan dengan hutan selalu membuatku takjub akan sistem-sistem sederhana namun dilakukan dengan sepenuh jiwa. Sistem-sistem sederhana ini membuat alam kita terus terjaga, karena menjaga alam kita kadang tidak melulu harus menunggu sistem menjadi sempurna, hanya cukup dijalani saja agar semua merasa aman karena saling menjaga.
Seperti harapan Pak Awaludin Kepala Desa Kandung Suli, “DKS maju, mau jadi Desa Mandiri dan ada banyak aset misalnya ada ikan arwana, sarang burung walet untuk pendapatan Desa. Ada usaha kecil menengah misalnya kerajinan bisa menjadi besar, alamnya terus terjaga agar suasana yang nyaman seperti ini selalu ada, masyarakat tidak serakah dan selalu hidup selaras dengan alam”.
Akhir tulisan, ada banyak kisah di setiap jejak kaki kita melangkah. Ceritakanlah pengalaman kita dan orang yang kita temui, nantinya mungkin kisah ini bisa sebagai pengingat ataupun sebagai sejarah keberagaman bangsa kita, Indonesia.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Sejak kecil hingga remaja hidup berdekatan dengan hutan. Bersemangat untuk berkontribusi menjaga lingkungan dan alam Indonesia.