“Kami memanggil siapapun yang ‘kulit putih’ dengan ‘mas’,” celoteh Ipan, mengiringi pembicaraan kami di oto—angkutan antar daerah dengan rupa mobil bak terbuka—yang ia kemudikan. Mau dia bukan berasal dari Jawa ataupun memang dari Jawa, mas adalah panggilan yang paling populer digunakan, sebabnya orang-orang di sana lebih sering menemui orang Jawa daripada orang-orang dari pulau lainnya.
Dengan oto, perjalanan dari ujung barat Adonara menuju Mekko yang berada di ujung timur diharapkan bisa memangkas waktu. Oto masih melaju di jalan aspal. Ipan, supir oto yang kami tumpangi, mengungkapkan bagaimana rasanya menjadi perantau.
“Saya dulu merantau ke Malaysia, sebelum itu jalan di sini masih batu.” Sekarang jalanan di Adonara sudah dilapisi aspal yang mulus, hanya beberapa saja yang masih cor semen.
Lagu dari speaker yang terpasang di oto berdendang keras, memekakkan telinga saya yang baru saja beradaptasi dengan lingkungan Adonara yang sepi. Dibandingkan Larantuka yang sarat dengan masyarakat heterogen, Adonara lebih senyap. Hutan dan kebun masih mendominasi sebagian besar kawasan pulau ini.
“Masih agak jauh untuk sampai ke Mekko,” jawab Ipan, mendengar pertanyaan saya yang sudah tak sabar ingin sampai. Mekko, dusun kecil di ujung timur Pulau Adonara, letaknya tersembunyi di antara bukit-bukit gersang, menghadap langsung Laut Flores dan Pulau Lembata. Mekko dikenal lantaran pariwisata bahari dan pasir timbul di laut, yang juga memenangkan Anugerah Pariwisata Indonesia kategori wisata air terpopuler pada 2020. Dusun ini dihuni orang Bajo sudah dari beberapa generasi, dengan keseluruhan warganya berlatar belakang sebagai nelayan, sesuai dengan desir darah orang-orang Bajo.
Pak Said yang sedari Pelabuhan Tanah Merah ikut menjemput rombongan kami, mengusap kepala dua orang anaknya yang masih bingung dengan kehadiran kami. Jalan aspal mulus mulai berganti dengan jalan cor yang diselingi jalan berbatu. Sebentar lagi nampaknya Mekko sudah akan sampai. Dusun ini gelap gulita. Penerangan hanya mengandalkan lampu yang ditenagai oleh aki. Kedatangan kami dilihat para warga yang penasaran. Anak- anak kecil segera bergerumbung.
Jamuan pertama Pak Said ketika kami sampai di rumahnya adalah ikan kulit kasar yang dipanggang. Rupanya, istri Pak Said sudah mempersiapkan ikan yang paling besar hasil tangkapan hari ini untuk diolah dan makan bersama. Ale, teman kami dari Larantuka, sigap membantu Pak Said menyalakan bara api.
Saya, Syukron, dan Ayu sehabis menata barang bawaan, langsung membantu persiapan makan malam; menata piring-piring dan lauk pauk yang telah matang.
Kami menikmati ikan ini dengan segera. Satu ikan besar itu telah tandas, menyisakan tulang-tulang tajam yang siap dibuang. Malam itu, setelah perut disesaki oleh gerombolan nasi dan ikan, terjadi keributan kecil antarwarga yang tak kalah seru. Di tengah-tengah dusun yang terangnya seperti kunang-kunang di kegelapan malam, Mekko menyambut kami dengan hangat, tulus, ramai, dan kekeluargaan.
Dilan, anak kedua dari Pak Said yang berumur tiga tahun, dengan rambut berwarna pirang karena matahari, sumringah ketika memainkan bola yang kami bawa dari Kupang. Matanya berbinar, dengan comel di pipi dan pasir di kaki yang bertelanjang, mengejar bola yang ditendang oleh kakaknya yang berumur delapan tahun, Mbayang. Anak-anak Bajo tumbuh kuat bersama debu, laut, dan matahari.
Pagi hari, di bawah bayang-bayang ombak dari laut. Mekko terbangun dengan lantunan azan Subuh dan kokok ayam yang bersahut-sahutan. Anak-anak usia sekolah dasar siap memulai hari dengan seragam dan berjalan sekitar beberapa langkah untuk sampai di sekolah satu-satunya yang ada di Mekko.
Pagi itu juga, oto yang menjadi langganan untuk menjemput anak-anak sekolah menengah yang bersekolah di Witihama datang menjemput. Anak-anak yang ingin melanjutkan jenjang sekolah yang lebih tinggi, memang harus pergi ke Witihama—yang mempunyai jenjang pendidikan lebih lengkap. Mereka tidak punya pilihan transportasi selain oto. Kalaupun mereka memilih untuk berjalan kaki, pasti membutuhkan waktu yang lama.
Dalam beberapa kali kesempatan makan bersama Pak Said, kami disuguhi dengan hidangan lawar gurita, sejenis makanan dengan bahan dasar kelapa parut yang dicampur gurita kemudian ditambahkan jeruk nipis, bawang, dan penyedap rasa. Rasanya segar, mungkin memang makanan ini diolah untuk menjadi penyegar di kala panas pesisir menerjang.
“Saya jarang makan ikan laut di rumah, kadang rasanya kurang enak,” ucap saya sambil menyuap nasi, “lebih amis dan rasanya kurang segar.”
Ada istilah mati sekali, mati dua kali untuk menyebut proses pindah tangan ikan-ikan yang sudah didapat. Mati sekali berarti ikan yang langsung dari laut. Mati dua kali berarti ikan sudah dua kali perjalanan dan seterusnya. Ketika saya bilang rumah saya jauh dari laut, Pak Said mengernyitkan dahi dan bertanya sudah berapa kali mati itu ikan kalau jaraknya sejauh itu? Saya tidak tahu. Bisa jadi lebih dari lima kali. Oleh sebab itu saya kurang suka makan ikan laut ketika berada di rumah.
***
Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.
Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.