Saya sedang duduk melahap sepiring gudeg Mbah Lindu di Jalan Sosrowijayan ketika melihat dua orang wisman berwajah kebingungan mendekat.
“Are you looking for Gudeg Mbah Lindu?” saya bertanya.
Mereka mengangguk lalu ikut duduk di depan baskom-baskom besar berisi elemen-elemen gudeg. Sekalian saja saya jadi interpreter sukarela bagi mereka. Dengan bahasa persatuan, saya pesankan dua porsi gudeg untuk mereka.
Dipikir-pikir, wajar saja mereka tadi bingung. Mereka, barangkali, membaca soal gudeg ini dari blog atau laman-laman seperti TripAdvisor. Ulasan-ulasan yang spektakuler di dunia maya itu barangkali kurang sesuai dengan penampilan Gudeg Mbah Lindu dalam kenyataan.
Saya sendiri pun tadi sempat tak yakin bahwa sudah datang ke tempat yang tepat. Pasalnya, saat saya teka lapak Mbah Lindu lumayan sepi. Tak ada antrean yang mengular atau orang-orang yang berkerumun. Saya malah langsung dapat tempat duduk persis di depan penjual, yang ternyata adalah anak Mbah Lindu. Tak perlu waktu lama pula bagi saya mendapat sepiring nasi gudeg porsi cukup besar.
Namun, semakin tinggi matahari, pelanggan semakin banyak. Tadi, anak Mbah Lindu sempat bercerita bahwa saat liburan seorang pelanggan bisa antre lebih dari satu jam untuk menikmati sepiring gudeng.
Krecek juara
Yang bikin saya tertarik untuk ke Gudeg Mbah Lindu adalah serial Street Food edisi Asia di Netflix. Sineas tayangan itu membingkai gudeg racikan Mbah Lindu dengan manis sekali sampai-sampai saya ngiler untuk mencobanya dengan lidah sendiri.
Ibu saya, yang asli Gunung Kidul, ikut menyemangati. “Oh, iya. Gudeg Mbah Lindu emang terkenal dari dulu. [Ia jualan] pagi-pagi,” ujar simbokku seraya menambahkan informasi bahwa antreannya bisa panjang.
Setelah sesendok gudeg ala Mbah Lindu masuk dalam rongga mulut, barulah saya paham kenapa gudeg ini begitu melegenda.
Rasanya tiada dua. Campuran semur gudeg, tahu, dan tempe menghasilkan rasa manis yang pas. Kereceknya yang pedas membuat cita rasa gudeg ala Mbah Lindu jadi makin semarak. Sebagai seorang penggemar krecek garis keras, saya bisa bilang bahwa krecek Mbah Lindu masuk jajaran terbaik. Tingkat kebasahan rambak-nya pas, bikin effort untuk memotong dan mengunyah kerupuknya yang kenyal menjadi sebuah pengalaman yang susah dilupakan.
Lalu ada sepotong paha dan kaki ayam kampung. Ukurannya besar, tingkat kematangannya sempurna, dan bumbu meresap hingga ke dalam. Empuk sekali rasanya. Disantap dengan nasi panas atau bubur, kamu akan kebingungan sendiri mendeskripsikan sensasi menyantapnya.
Resep seabad yang “interesting”
Saya pun penasaran melihat reaksi dua wisman itu saat menyantap gudeg. Dengan melirik, saya amati bagaimana wajah mereka berseri-seri ketika menyendok gudeg ke mulut, lalu mengunyah kemudian menelan makanan khas Mataraman itu ke tenggorokan.
“Interesting,” ujar salah seorang di antara mereka.
Lucunya, mendapati bahwa sepiring gudeg ala Mbah Lindu lezat dan porsinya lumayan, salah seorang di antara wisman itu langsung buru-buru bilang bahwa ia ingin bawa pulang satu porsi.
Tapi, rasanya pengalaman menyantap gudeng Mbah Lindu kurang lengkap tanpa bertemu langsung dengan Mbah Lindu.
“Mbahnya nggak ada to, Mbak?” tanya saya ke anak Mbah Lindu yang duduk anteng depan saya.
“Simbah udah nggak ikut jualan dari dua tahun. Tapi tetap masak di rumah,” jawabnya.
Mbah Lindu memang sudah sepuh. Usianya disebut-sebut sudah lebih dari seratus tahun, sekitar tiga puluh tahun lebih tua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.