Desa WisataItinerary

Geliat Ekowisata Desa Santuun

Seperti desa-desa lainnya yang sudah menjadi desa wisata, Desa Santuun ingin berkembang dan memajukan pariwisata di daerah Kabupaten Tabalong. Desa Santuun merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong. Desanya asri, dikelilingi hutan dan alam yang masih hijau dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Di tengah maraknya perkembangan desa menjadi desa wisata, para pemuda Desa Santuun pun ingin membangun desanya menjadi tempat wisata yang terkenal di Kalimantan Selatan. TelusuRI berkesempatan mewawancarai salah seorang pemuda penggagas desa wisata yakni Hairul Rizky, ketua kelompok sadar wisata Desa Santuun.

Desa Santuun semula seperti desa-desa lainnya, orang-orang hidup dari bertani dan berladang. Semenjak potensi wisata desa ini mulai wara-wiri di media sosial, orang-orang mulai ramai mengunjungi desa ini, mengisi rasa penasaran akan wisata air terjun yang viral. Rizky dan kawan-kawan yang melihat fenomena ini kemudian mencoba mengelola dan mempromosikan spot-spot wisata di desa. Kemudian, seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang tertarik mengunjunginya.

Kami mempromosikan itu (Desa Santuun) tahun 2019. Melihat potensi yang ada di sini, yang kaya akan potensi wisatanya, habis itu diposting di media sosial dan banyak orang tertarik ke sini,” ungkap Hairul.

desa santuun
Santuun yang masih asri membawa pada petualangan yang seru/Hairul Rizky

Ada sekitar 13 spot wisata yang ada di desa ini: Batu Tungku, Sungai Bura, Air Terjun HTI, Goa Batu Kumpai, Kebun Kopi, Gunung Batu Kumpai, Lok Lua, Tampirak Lokagung, Situs Peninggalan Jepang, Rukit Batu Tinggi, Riam Batu Tinggi, Bukit Pa’asahan, dan Tebing Pa’asahan.

Air Terjun HTI adalah salah satu spot yang paling sering dibicarakan orang-orang. Dengan air jernih dan ketinggian sekitar 7 meter, orang-orang dari Tanjung atau bahkan Banjarmasin rela mengunjunginya meski berjarak hampir 250 kilometer dari Ibukota Kalimantan Selatan tersebut. Air terjun ini juga menjadi pemberitaan media-media lokal dan dikatakan bahwa air terjun ini “terasa sangat nyaman sebagai tempat berenang”.

Meskipun sudah lumayan terkenal pada waktu itu, kondisi jalan menuju desa atau lokasi wisata masih tidak nyaman. Apalagi akses ke air terjun yang harus melewati jalan tanah yang berlumpur. “Sebenarnya, jalan [ke desa] tidak semua bagus, ada sekitar 80% lah, ada yang belum disemen. Kalau jarak dari Tanjung itu ke Santuun sekitar 1,5 jam, 20 menit terakhir paling yang jalannya agak rusak, banyak batu-batu,” ucap Hairul.

Inisiasi wisata di desa ini tidak lepas dari usaha anak-anak muda yang tergabung di komunitas pecinta alam setempat, Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), dan kelompok dari KUPS (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial). Untuk kelompok yang terakhir disebut, merupakan amanat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk desa-desa yang memiliki hutan agar mampu mengelola hutan mereka. Soal wisata di Santuun, semua pihak terlibat aktif mendukung berjalannya ekowisata. Ada sekitar 15 orang pemuda yang berkecimpung mengurus wisata di desa, dengan rentang usia 17 hingga 20-an ke atas.

Konsep ekowisata yang mereka usung adalah tidak mengizinkan adanya sampah wisata yang masuk ke dalam desa. Hal ini untuk meminimalisir desa ini dari timbunan sampah hasil wisatawan seperti di tempat-tempat wisata pada umumnya.. 

Ada cerita menarik yang disampaikan Hairul saat merintis desa ini menjadi desa wisata. “Pada saat merintis ke puncak Batu Kumpai itu, kami tidak berharap untuk orang masuk ke sini (berwisata). Kami tidak mengharapkan imbalan, tapi ada yang tidak membayar, ada juga yang membayar lebih, semisal 15 ribu, ini diberi 50 ribu. Jadi ketika kami tidak minta imbalan, orang justru memberi lebih.” 

Setelah sudah dikelola, para pengurus menetapkan karcis masuk sebesar 15 ribu rupiah, sudah termasuk tarif parkir hingga pemandu sampai ke puncak.

  • Desa Santuun
  • Tempat kemping di Santuun
  • gua

Dalam upaya membekali Hairul dan kawan-kawan pengetahuan mengelola desa wisata, mereka mendapatkan kesempatan studi banding ke Sukabumi, tepatnya Tanakita bersama Dinas Kehutanan. Selama di sana mereka mempelajari bagaimana dan apa saja yang diperlukan dalam pengelolaan desa berbasis ekowisata. Setelahnya, mereka jadi banyak tahu cara mengelola desanya.

“Pambakal (kepala desa) sampai camat sudah mendukung [wisata di Santuun].”

Rupanya baru setahun setelah dikelola, pandemi yang kala itu sedang ganas-ganasnya di Wuhan turut mendatangi negeri ini. Otomatis, sebagai tempat wisata, Desa Santuun menghentikan segala kegiatan wisata. Penutupan ini berlangsung cukup laman hingga dibuka kembali Idulfitri tahun 2022. Selama vakum dan kembali buka.

“Biasanya pencatatan kunjungan per tiga bulan. Catatan kunjungan tertinggi pada Hari Raya Idulfitri kemarin (2022), sekitar 213 orang yang ke sini,” ungkap Hairul

Pembangunan secara bertahap kemudian berlangsung demi memudahkan para wisatawan yang ingin menghabiskan waktu lebih lama di Desa Santuun. Mereka memanfaatkan rumah para warganya menjadi penginapan sederhana. Konsep seperti ini umum di desa-desa wisata, selain menguntungkan warga, juga bisa menjalin relasi yang lebih dalam dari sekedar pemilik bisnis-konsumen. 

“Kami menyediakan camping ground, atau bisa menginap di rumah-rumah warga atau di sekre, tapi yang paling utama itu disarankan camping ground. Soalnya, tempatnya dekat dan strategi untuk menuju ke wisata-wisata lain,” terang Hairul.

Kesulitan desa-desa terpencil yang ingin menjadi desa wisata sudah pasti ada di dana. Sama halnya dengan Desa Santuun yang agak kesulitan dalam dana pembangunan pariwisata, yang tentunya harus dibagi lagi dari dana penerimaan desa. 

“Kalau untuk pembangunan [desa] ini pastinya dana. Keterlambatan dana itu jadi juga terlambat pembangunan di wisatanya. Infrastruktur jalannya juga belum 100% baik untuk menuju ke tempat wisata. Kalau ada acara-acara, kita minta sponsornya ke CSR perusahaan, semisal baru-baru ini ada event kreasi bivak.” tutupnya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
‘Camping’ Ceria di Hutan Pinus Loji Blitar