Travelog

Sepenggal Cerita dari Kerkhof Wonosari, Klaten

Perjalanan saya selanjutnya berlanjut di perbatasan antara Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo, yakni Kecamatan Wonosari. Bukan Kecamatan Wonosari Yogyakarta, tetapi Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. Bagi masyarakat awam, mungkin akan bingung. Tahunya Wonosari itu ada di Yogyakarta. Padahal, Wonosari juga ada di Klaten, tepatnya berada di selatan Kabupaten Sukoharjo. Di sini ada sisa-sisa kerkhof yang menarik untuk kita telusuri. Posisinya berada di belakang Polsek Wonosari.

Woalah, berada di Desa Tinggen!” gumam saya.

Saya sempat kebablasan sesampainya di Polsek Wonosari. Mau tanya warga, iya kalau mereka tahu, kalau tidak? Saya pun berpikir dua kali. Langsung saja putar balik, dan masuk Desa Tinggen. Sekitar 30 menit keluar masuk desa saya tidak menemukannya, akhirnya saya putuskan menyebrang jembatan antar dukuh. 

“Pojok jembatan Desa Tinggen tadi, ada gang kecil ke timur, apa di sana posisinya?” tanya saya pada diri sendiri.

Tidak lama, saya langsung putar balik. Menyusuri gang kecil padat, di pojokan rumah ada jalan beton mengarah ke antah berantah. Ternyata ini jalan menuju Makam Kyai Klunggu, lokasi tujuan saya.

  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten

Selamat Datang di Makam Keluarga Van Groll dan De Bruijn

Tujuan saya memang ke Makam Kyai Klunggu, tetapi saya ke sana bukan untuk mengunjungi makam beliau, melainkan makam keluarga Van Groll dan De Bruijn. Bukan kenapa-napa, tetapi saya memang  tidak mengetahui informasi apapun tentang Kyai Klunggu.

Setibanya di sana makam, tampak ada dua komplek makam keluarga. Posisinya berada di sisi barat makam warga lokal. Ada sekitar 8 nisan berinskripsi Belanda di sini. Tebakan saya, Kerkhof  Wonosari adalah makam keluarga pengusaha.

Tebakan saya tepat. Hans Boers mengatakan bahwa Van Groll dan De Bruijn adalah keluarga pemilik perkebunan pewarna di Klaten. Nama perusahaannya adalah Perkebunan Budidaya Pewarna Indigo ‘Gondangsari’. Dari penjelasan awal Hans Boers ini, saya sempat bingung.

“Lah, kenapa makamnya ada di Wonosari, apakah karena pernikahan dengan perempuan Jawa, dan pasca pernikahannya mereka tinggal di sini?” 

Ternyata lagi, selain pemilik perkebunan, mereka sekaligus tinggal di rumah pribadi tengah perkebunan. 

Perkebunan Indigo ‘Gondangsari’ lokasinya tidak jauh dari Kerkhof  Wonosari, walaupun sekarang sudah berubah menjadi persawahan dan pemukiman warga. “Rumahnya bagus sebenarnya, Mas. Tapi sekarang sudah hilang, saya ada foto portrait dan rumahnya. Mau saya kirimi?” lanjut Hans.

Tentu saya tidak menolak tawarannya. Tidak lama, dua foto lama keluarga Van Groll dan De Bruijn masuk di pesan singkat saya. Melalui foto potraitnya, mereka tampak seperti orang Jawa, tapi keduanya dari Belanda. Orang tuanya Jawa dan Belanda, anaknya berketurunan Indonesia.

Makam kedua keluarga masih utuh kondisinya. Adapun nisan yang masih bisa terbaca milik Albertien Louise Breton van Groll, Rosalie Adolpien Breton van Groll, dan Gerardien Nicolien Breton van Groll. 

  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten

Mereka bertiga cucu dari Gustaaf Adolf Breton van Groll, kelahiran Ampel Boyolali; dan Theodoroa Breton van Groll geboren de Bruijn kelahiran Gawok Sukoharjo. “Theodora Breton de Bruijn, keluarga Nicolaas de Bruijn,” lanjut Hans melalui pesan singkat.

“Jadi, keluarga Van Groll menikah dengan keluarga De Bruijn dan semasa tinggal di Indonesia (Hindia Belanda) kala itu berada di Wonosari Klaten,” lanjutnya. Pantas, hanya dua keluarga ini yang tinggal hingga wafat di Wonosari, Klaten.

“Bapak, ibu, dan yang cucu wafat dimakamkan kembali ke tanah kelahiran mereka di sini (Wonosari),” gumam saya sembari mengabadikan nisan milik dua keluarga ini. Tidak lama, Hans Boers mengirim pesan yang saya tidak duga sebelumnya. Dalam pesannya, Hans menulis; 

“…Hoogwater. Uit de dessa schrijft men onder dato van 25 dezer aan de N. Vorstenlanden; Het is verschrikkelijk met den bandjir. Reeds drie maal vie ren twintig uren staan mijn zeven en half bouw indigo en tachtig bouw padi onder water en nog dringt het bandjir-water verder de Velden en dessa’s in. Van gemelden aanplant zal natuurlijk niets terecht komen…”

“…In de kedjawen dessa’s Pangang We’oot, Tempel, Ngepringan, Gondanglegi enz. is het nog erger gesteld. Daarvan is de bevolking met haar karbouwen, sapi’s, kippen en eenden naar bandjir vrije dessa’s gevlucht…”

…De onderneming Gondangsari is op eem gedeelte na geheel onder water, tot de woning van den beheerde toe…”

Tenang saja, sudah saya terjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Berikut hasil terjemahannya.

“…Vorstenlanden (Solo). Air tinggi menggenangi desa di tanggal 25 Januari 1895 disusul banjir selama 3 hari. Kebun pewarna dan sawah, tergenang air banjir. Setelah itu memasuki saluran air dan desa. Tentu tidak ada hasil panen…”

“…Di desa Pangang, Ngepringan, Gondanglegi lebih parah lagi. Warga harus mengungsi dengan kerbau, sapi, unggasnya ke daerah lain yang bebas banjir…”

“…Banjir selain menggenangi desa juga perkebunan budidaya dan persawahan. Perkebunan Budidaya Pewarna Indigo ‘Gondanglegi’ dan rumah pemiliknya juga ikut tergenang…” 

Perkebunan budidaya dan kediaman van Groll ikut tergenang, “Mungkinkah, banjir ini membuat kondisi mereka rentan terserang virus dan wafat di usia muda?” Hans Boers meyakini bahwa banjir dan kesehataan yang memburuk menjadi penyebab mereka tidak berumur panjang.

  • Kerkhor Wonosari Klaten
  • Kerkhor Wonosari Klaten

Dari penelusuran saya bersama Hans Boer, kami dapatkan kesimpulan mengenai silsilah keluarga Van Groll dan De Bruijn di Wonosari Klaten ini. Berikut detail mengenai kedua keluarga, saya urutkan dari generasi tertua.

Gustaaf Adolf Adriaan Breton van Groll, lahir di Ampel Boyolali 22 Juni 1837 wafat di Surakarta 4 Oktober 1902. Gustaaf A. Adrian Breton van Groll anak dari Gerhardus Nicolaas van Groll dan Nancy van Stralendorff.

Gustaaf. A. Adrian Breton van Groll suami dari Theodora de Bruijn. Karena menikah dengan keluarga Van Groll, namanya menjadi Theodora Breton van Groll geb. De Bruijn. Theodora de Bruijn kelahiran Gawok 21 Oktober 1855, wafat di Gondangsari 18 Juli 1913. 

Pernikahan Gustaaf. A. Adrian Breton van Groll dan Theodora van Groll diselenggarakan 6 Oktober 1880 di Klaten. Dari pernikahan, mereka dikaruniai 7 orang anak. Semua bermarga Van Groll. 

Mereka adalah Ernestien Nicolien, Adolf Ernest, Theodoor Henry Mathieu, Louis Ernelier, Henry Gerardus, Gustaaf Adolf Paul dan August Johan Nicolaas. Anak-anaknya hidup menyebar ke seluruh Jawa, tidak hanya di Surakarta.

Makam lain yang ada di sini adalah milik Albertien Louise Breton van Groll, Rosalie Adolpien Breton van Groll, dan Gerardien Nicolien Breton van Groll. Kami menduga mereka saudara kandung dari Gustaaf. A Adrian Breton van Groll. 

Nisan makam milik keluarga De Bruijn, berdiri berdampingan dengan Albertien Louise Breton van Groll. Tertulis pada nisannya Johannes Nicolaas de Bruijn, kelahiran Semarang 1810, wafat di Gawok 1868. Kami duga, J. Nicolaas de Bruijn merupakan orang tua dari Theodora de Bruijn. Tidak ada catatan lain mengenai keduanya.

Oiya, saya hampir lupa masih ada 3 nisan di sini. Nisan milik Wiliam Antonie (1 Tahun), Pauline Antonie (1 Tahun), dan Christian Antonie (3 Tahun). Kami duga, ketiga anak balita ini cucu dari Gustaaf. A. Adrian Breton van Groll, dan Theodora van Groll geb. De Bruijn. 

Makam mereka dilapisi keramik putih berhias keramik motif pemandangan Belanda, namun sayang nisan berinskripsi nama mereka sedikit terpendam di dalam tanah.

Keluarga Breton van Groll pemilik Perkebunan Budidaya Pewarna Indigo bernama “Gondangsari”. Musibah banjir tahun 1895, memaksa kedua keluarga untuk bertahan hidup serba terbatas. Namun pada akhirnya menyerah dengan keadaan di usia mereka yang masih muda. Mereka wafat, dikebumikan tidak jauh dari tanah kelahiran sang ibu.

Sebelum meninggalkan kompleks makam kedua keluarga, saya sempatkan untuk mengirim doa untuk mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kisah di Balik Kerkhof Gombong (1)