Kampung Bustaman di Kelurahan Purwodinatan, Semarang Tengah, adalah salah satu kampung tua di Ibu Kota Jawa Tengah. Karena penduduknya banyak yang menempuh karier sebagai tukang jagal—entah kambing, sapi, atau kuda—Kampung Bustaman diberi julukan Kampung Jagal.
Namun, orang-orang Bustaman ternyata tak cuma jago menyembelih hewan. Mereka juga lihai mengolah daging dan memasaknya menjadi gulai. Kalau tak percaya, coba saja mampir ke salah satu warung gulai yang bertebaran di Kampung Bustaman, misalnya Warung Bu Qomariyah yang namanya sudah menggaung ke mana-mana itu.
Beberapa hari yang lalu, saya dolan ke Kampung Bustaman. Tujuan saya bukan melihat penjagalan hewan atau makan gulai kambing namun menyaksikan sebuah tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan orang-orang Bustaman untuk menyambut bulan Ramadan, yakni Gebyuran Bustaman.
Saya tiba sudah agak telat. Tapi suasana masih meriah. Orang-orang masih berlarian di gang-gang sempit Bustaman. Plastik-plastik transparan, “selongsong peluru” yang tadinya memuat air, berceceran di jalan.
Plosh! Sebuah plastik berisi air pecah di kepala saya. Rupa-rupanya, ada penembak jitu yang sudah membidik saya sejak tadi dari menara masjid. Anehnya, barangkali karena sama-sama sadar bahwa ini adalah semacam festival, no hard feeling. Saya malah menantang sniper itu: “Lagi! Lagi! Lagi!”
Serangan ternyata datang dari arah yang tak terduga, yakni dari belakang. Kali ini saya diguyur air dari dalam ember. Pelakunya adalah seorang anak kecil. Saya tertawa lepas sebab kejadian ini membawa saya pada kenangan-kenangan waktu nekat main hujan semasa masa kecil dulu.
Tradisi yang sudah berlangsung puluhan tahun
Menurut cerita yang saya dapat dari Pak Hari Bustaman, seorang sesepuh Kampung Bustaman, Gebyuran Bustaman ini ternyata sudah diadakan sejak puluhan tahun lalu. Tujuannya bukan cuma untuk hura-hura, melainkan untuk mensucikan diri sebelum memasuki Ramadan.
“Sebelum acara dimulai, tubuh kita kotori, dicoreng-coreng pakai bedak. Selanjutnya [kita] beramai-ramai berbasah-basah sampai kuyup,” jelas Pak Hari. Jadi, bedak warna-warni ini jadi semacam simbol sifat buruk manusia yang harus dibersihkan dengan gebyuran.
Gebyuran ini sendiri konon terinspirasi dari kebiasaan sang pendiri kampung, Kyai Kertoboso Bustam (pendiri klan Bustaman yang juga adalah kakek buyut pelukis Raden Saleh), yang selalu memandikan anak-anaknya di sumur tua menjelang Ramadan tiba.
Tradisi ini dulu sempat vakum. Namun, sejak lima tahun belakangan Gebyuran Bustaman kembali dihidupkan. Tak perlu waktu yang lama sampai Kota Semarang memasukkan ajang ini ke dalam agenda wisata.
Sedang asyik menikmati suasana, tiba-tiba ada seorang warga yang ngece saya: “Hahaha! Pakai jas hujan!” Sejurus kemudian dua kantong plastik mendarat di pipi kanan saya. Saya meringis; ngilu. Tapi rasa ngilu itu tak bertahan lama. Sebentar saja sudah hilang dan saya kembali ambil bagian, sambil tertawa lepas tentunya, dalam tawuran air itu.
Menjelang jam lima sore, tradisi Gebyuran Bustaman ditutup dengan makan nasi gudangan bersama-sama di rumah salah seorang warga. Tapi saya tak bisa lama-lama di sana, sebab harus “naik gunung” alias pulang ke arah Ungaran.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.