Mestinya aku memasang bom di jam alarmku. Bom itu bakal efektif membangunkanku sekaligus meledakkan bunyi bip-bip-bip-bip yang terus-terusan mengomel, tetapi gagal memaksaku bangkit dari ranjang. Sebenarnya, aku tidak perlu sedramatis itu. Aku bukan tipe orang yang menyalakan alarm hanya untuk dimatikan, lalu tidur kembali. Hanya saja, aku terbangun tengah malam dan terlelap lagi menjelang dini hari. Aku tidak sadar telah mematikan alarm dan kembali rebah di atas kasur.
Itulah mengapa aku baru sampai di rumah Bara pukul setengah delapan dan bilang, “Sori, Guys. Tapi, sinar matahari jam segini emang paling optimum mengaktifkan vitamin D.” Aku tahu teman-temanku tertawa karena itu pembenaranku saja. Namun, tentang vitamin D itu, aku tidak keliru, kan?
Lagi pula, ayolah, untuk apa buru-buru berangkat ke Saronggi pukul enam pagi? Dari Kota Pamekasan, kita cuma butuh satu jam seperempat menit dengan motor berkecepatan sedang untuk sampai ke salah satu kecamatan di Kabupaten Sumenep tersebut. Itu pun sudah terhitung beserta hambatan-hambatannya. Di jalanan Madura—atau di mana pun—aral nyaris selalu ada. Katakanlah, orang-orang yang meminta amal masjid kepada para pengendara di jalan raya. Atau pasar tumpah yang begitu efisien membuat jalan jadi macet.
Atau yang kami temui di perjalanan ini: Sebuah lapangan yang terhampar di kanan jalan baru selesai menghelat acara agustusan. Di kedua sisi jalan, berjajar mobil pikap bermuatan ibu-ibu—yang oleh feminis Julia Surya Kusuma dianggap bentuk penyetaraan kaum perempuan dengan ternak, padahal di Madura, bapak-bapak pun lazim tepekur bersama sapi-sapinya di gerobak pikap. Ibu-ibu lainnya meluber ke tengah jalan. Kendaraan kami cuma bisa merayap. Di tengah kerumunan ibu-ibu, rasanya seperti berkubang dalam sekolam hormon estrogen.
Di Sendang Saronggi
Kami memutuskan berpakansi ke Saronggi ketika Abyan mengunggah foto-fotonya yang asyik berenang di sebuah perigi.
“Telaga itu kelihatan liar,” ujarku menyakinkan teman-teman yang bertanya-tanya, apa istimewanya sumber air tersebut.
“Wow, aku suka yang liar-liar,” tanggap Bara dan Nabil nyaris bersamaan.
Aku sudah membayangkan, untuk sampai ke sana, kami akan melewati semacam rimba gelap karena pohon-pohon gergasi menutupi cahaya matahari. Menebas cabang-cabang bercakar setan yang menghalangi jalan. Atau terbirit-birit dikejar seekor bagong yang siap menyeruduk kami dengan siung runcing. Tenyata agak mengecewakan. Sebab, tak lama berselang setelah belok ke gang di sebelah barak militer, kami sampai. Sendang itu bersisian dengan permukiman. Padahal, dalam hidup ini, kita butuh sedikit ketegangan, kan?
Maka, kami menanggalkan apa yang perlu ditanggalkan dan menyebur ke dalam kolam. Selanjutnya, kurasa tak ada yang perlu diceritakan. Lagian, apa pentingnya menceritakan tujuh jejaka tengah menikmati waktu duha di telaga berwarna toska yang riuh kicau burung madu sriganti? Apa urgensinya menarasikan sebuah sendang bermandikan percikan cahaya surya yang dikitari pohon gayam, nyamplung, dan sulur janda bolong melilit batang siwalan? Kecuali, misalnya, di sana kamu mengalami momen Jumanji atau, paling tidak, sedang mati-matian melepaskan diri dari lilitan anakonda.
Kezuhudan Rujak Prenduan
“Gimana kalau kita makan rujak Prenduan?” celetuk Abyan saat kami mengeringkan badan setelah tiga jam bermain-main di air.
“Bukan ide buruk,” sahut Iko dan kami memang sepakat tak ada gagasan yang lebih baik ketimbang mencoba makanan yang sebelumnya hanya pernah kudengar dari seorang teman yang menceritakannya dengan berlebihan.
Rujak itu sedang diracik Bibi Mamtuhah yang warungnya kami sesaki. Untuk sampai ke sana, dari Saronggi kami melesat ke timur selama empat puluh menit. Di kampung nelayan inilah enam di antara kami akan mencicipi rujak Prenduan untuk pertama kali.
Sibuk menyiapkan tujuh cobek rujak, Bibi Mamtuhah yang gendut berdaster hijau motif bunga dibantu tiga perempuan lainnya. Aku penasaran, gimana cara gincu jambon itu tidak meleleh dari bibirnya di udara nyaris empat puluh derajat celcius ini. Bisa saja perempuan bergelung itu cemas riasannya bakal luntur. Seperti kami yang gugup menunggu hidangan tiba, yang benar-benar tiba tiga puluh menit kemudian. Semuanya mengalah untuk tidak makan duluan hingga menimbulkan debat kecil. Mereka setuju, yang paling tua di antara kami yang akan makan terlebih dahulu.
Kini, rujak itu teronggok di depanku. Sumpah, setelah cicipan pertama, aku berharap sebuah meteor sekonyong-konyong jatuh di atap warung ini sehingga mereka—yang merasa muda belia—tidak akan pernah tahu rasa rujak yang sudah sekian juta tahun ditunggu dengan segunung penasaran.
Ya, kurasa temanku memang tidak berlebihan ketika menceritakan gimana rasa rujak Prenduan. Aku kehilangan kata-kata dan heran, kenapa Iko, Bara, Ihya, serta Abyan begitu tenang melahap sesendok demi sesendok rujak itu. Padahal, selama menikmatinya, aku, Asief, dan Nabil tidak berhenti menghujaninya dengan beragam ungkapan superlatif yang hanya bisa kami ekspresikan dengan kata-kata paling esoteris. Akan tetapi, mungkin begitulah cara bocah-bocah itu berasyik-masyuk dengan kenikmatan. Kalaupun dimintai pendapat, mereka cuma akan menjelaskannya secara demokratis, tanpa pujian.
“Rujak ini sudah melangkah ke derajat gastrosofi,” puja Asief sambil memejamkan mata mengunyah seiris pepaya mentah berlumur sambal petis.
“Tidak benar,” sahut Nabil menyeruput kuah kecokelatan itu. “Rasa kecut sambal petisnya tidak hanya menuntun lidahku memahami sebuah kearifan.”
“Nyaris transendental. Bukan, bukan itu,” buru-buru kuralat kalimatku. “Ini sudah melampaui yang transendental. Rujak ini begitu—astaga, apa istilah paling representatif? Mistik.”
Kata ‘gastrosofi’ terdengar terlalu sekuler untuk mewakili rasanya yang mulia. Kupikir tidak hiperbolik kalau kita menyematkan ‘gastrosufi’ kepadanya. Alih-alih filosofis, rujak Prenduan memendam cita rasa sufistik. Ia tidak lagi berdiri di tataran filsafat, tetapi tasawuf. Tak lagi menggiring kita ke kenikmatan kognitif, apalagi jasmaniah, tapi lebih dari itu: ekstatik.
Mungkin kau akan menyebutku lajak ketika tahu cobek itu cuma berisi irisan krai, pepaya mentah, tahu goreng, tauge rebus, dan keripik tette bermandikan kuah petis encer. Tak lebih dari itu. Namun, bukankah yang hakiki memang kerap bersembunyi di balik wujud zahir?
Tanpa melihat Bibi Mamtuhah mengulek sambal rujak, aku sudah tahu kuah itu hasil racikan dari petis, air, gula, garam, cabai, dan monosodium glutamat dengan kadar presisi. Tak ada yang eksentrik. Memang begitulah rujak petis pada umumnya. Yang membuat rujak Prenduan terasa sensasional, yaitu tetesan cuka. Cuka adalah kunci—habis ini aku mau nyetok sebotol cuka di lemari es, siapa tahu juga bisa bikin kuah opor jadi menakjubkan. Di Bangkalan, aku pernah makan rujak petis dengan perasan jeruk—entah apa, tetapi ini berbeda. Dan perbedaan tersebut bisa kupahami ketika aku sadar—setelah sekian menit kurenungkan dengan khusyuk—bahwa kuah petis rujak Prenduan juga menyertakan tomat mawar.
Tomat mawar. Saat ini, orang-orang lebih memilih tomat buah ketimbang tomat mawar. Selain karena faktor kelangkaan, ukuran juga menjadi musabab. Kita lebih mudah mendapatkan tomat buah yang besar, gemoy, nan tampak segar ketimbang tomat mawar yang berukuran kecil dan secara visual nyaris tak atraktif. Namun, aku yakin, selain menambah kadar kemasaman, tomat mawar juga melahirkan rasa vegetasi lebih klasik ketimbang tomat buah. Di sinilah aspek ekstrinsik rasa terlibat. Sebagaimana makanan yang menyimpan sisi romantik macam ‘masakan ibu’ atau ‘jajanan kampung’, kenangan kita akan tomat mawar secara subjektif memengaruhi rasa rujak.
Rujak Prenduan bakal menjadi salah satu (untuk tidak berkata ‘satu-satunya’) rujak favoritku. Orang Madura gemar makan rujak layaknya obsesi masyarakat Sumatera Selatan pada pempek. Itulah mengapa, sebagaimana genre soto yang beragam, rujak di Madura beraneka macam. Rujak kacang, rujak petis, rujak petis-terasi, rujak lontong, rujak cingur, rujak kepiting, rujak siwil, rujak asam, rujak kesambi, rujak kawista (sensasi sepet buah batok menghasilkan rasa yang bernas), rujak kelang (dengan kuah kaldu ikan beserta ikan-ikannya), rujak corek (dengan metode pembuatan dan cara makan yang erotis), rujak soto, rujak bubur, rujak selingkuh (tanpa dosa), dan sederet rujak lainnya yang tak sanggup kusebut satu per satu.
Petis Madura, Sumber Kenikmatan
Percaya atau tidak, rujak Madura menjadi istimewa karena petisnya. Petis Madura berbeda dengan petis Jawa. Petis Madura terasa gurih dan bertekstur elastis. Petis Madura bukan hanya produk dari sebuah proses endapan kaldu ikan. Petis Madura adalah saripati sukma ikan-ikan. Menerbitkan rasa pekat dan berpijak kuat di lidah.
“Dosenku bilang, pisang biji akan menetralkan zat-zat buruk petis,” kisah Asief suatu kali ketika kami mengobrol mengapa sambal rujak kacang di Madura dicampur pisang biji mentah.
Kata ‘buruk’ yang ia ucapkan dengan jelas membuatku membayangkan bahwa yang sedang ia bicarakan bukan petis, tetapi makanan sintetis Sari Roti campur Baygon. Mestinya, dosen itu menerangkan kepada mahasiswanya, zat ‘buruk’ apa yang terkandung dalam petis, bukan penjelasan umum yang semua orang bisa mengarangnya. Kuliah obskur tentang bahaya petis dari seorang akademisi semacam itu hanya akan mengafirmasi tuduhan Sutan Takdir Alisjahbana atas puisi-puisi Chairil Anwar yang dianggap tidak bervitamin sebagaimana rujak.
“Aku enggak bisa bayangin gimana rasanya kalau enggak pedas sama sekali,” kata Abyan melihat Bara bisa menikmati rujak tanpa cabai sama sekali. “Pasti enek.”
Di sampingku, Asief terengah-engah menahan pedas. Minum, makan, minum, makan lagi, sekuatnya.
“Kamu berhenti?” tanyaku saat melihat beberapa iris buah masih tersisa di cobeknya.
“Enggak,” jawab Asief terbata-bata. “Aku masih ingin, tapi butuh jeda.”
“Masokis,” tanggap Nabil dengan keringat mengucur dari kening dan leher.
Andai bersama kami, Jacques Lacan bakal memberi contoh masokisme semacam itu pada konsep jouissance untuk subjek yang memperoleh kenikmatan dalam penderitaan.
“Aku enggak percaya eksistensi surga. Tapi setelah makan rujak ini, aku yakin surga memang ada,” seloroh salah satu di antara kami. Sebelum kami meninggalkan warung kecil ini. Sebelum kami pergi untuk kembali. Suatu saat nanti.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.