Seonggok kue kentang digenangi kuah merah kental dengan bermacam olahan; saya belum mencoba satu per satu. Namun, setelah saya bedah, saya melihat ada potongan daging sapi, lidah sapi, ampela, kubis, dan wortel, mengingatkan saya dengan sayuran capcai—yang lebih serampangan dibandingkan kuah Cake. Bau kentang memahkotai segala aroma di piring saya.
Sangarnya bau kentang, ternyata, setelah saya cecap tidak membunuh rasa-rasa lain yang merangkulnya. Cake kiranya sering kena fitnah karena wujudnya menyamai kuah capcai. Saya juga awalnya menstigma sebelum mencicipinya. Kuah Cake, bagai langit dan bumi, berbeda dengan capcai. Kaldu sapi mencubit titik mulut di mana liur terbit. Ia tidak menendang, cenderung kalem seperti malaikat pencabut nyawa yang datang tanpa diketahui, mengagetkan, dan pasti. Padahal dari awal saya menyangka paling ini rasanya kentang doang. Dan, sebagaimana menghadapi malaikat pencabut nyawa, alih-alih protes atau banyak tanya, orang umumnya bakal kehilangan kata-kata.
Kaldu sapi, saat itu saya langsung memijat kepala yang tidak pusing, membuat saya keblinger dengan matematika perbumbuan Sumenep karena kaldu itu berdansa dengan wortel dan kubis. Kubis mungkin tidak akan seaneh itu dengan kaldu sapi, mengingat biasanya kubis juga mengambang di kuah rawon, tapi wortel, tak pernah terbayangkan bagi saya sebelumnya. Bukan berarti antara kaldu sapi, wortel, dan kubis saling adu belati di lidah, ketiganya menyatu di lidah saya.
Detail irisan Cake dengan rasa yang seimbang/Putriyana Asmarani
Rasa yang Presisi
A mengamati saya bukan seperti ilmuwan pada mencit, atau anak haram tertua Usher (The Fall of The House of Usher) pada kera percobaan. Seperti Prometheus saat menghidangkan sapi panggang pada Zeus, Prometheus mengamati perubahan wajah Zeus dengan saksama, sebab ia mengibuli Sang Ilah. Tatapan A juga jeli laiknya perempuan psikopat Julia Jayne yang menyeduh teh buat bahan ritual pagan (The Midnight Club).
A menyantap hidangannya, matanya awas, akhirnya keluarlah kalimat sakti itu: “Gimana rasanya?”
“Diam dulu kau,” tanggapku. Kalaupun Franz Kafka nongol saat itu buat mengajak saya kencan, saya akan mencampakkannya. A tak terkecuali.
Rasanya seperti Siddhartha saat meditasinya beres, ia kembali segar dan dengan itu merumuskan penciptaan dan kemanusiaan. Saya menemukan presisi rasa yang matematis dan imbang.
Kuah kaldu sapi yang meriah netral dicerna dengan kue kentang. Irisan daging tidak terlalu menonjol, tidak arogan di atas piring meskipun itu yang bikin Cake mahal. Daging tidak dipotong gendut kotak seperti dadu, apalagi tipis ceper tak berbentuk seperti kuah-kuah daging pada umumnya. Daging dipotong persegi panjang sebagaimana wortel.
Kalau dilihat-lihat, piring ini seperti orbit tata surya, meskipun Saturnus bercincin, semua planet pada dasarnya bundar. Tidak ada pola yang ingkar, tidak ada rasa yang dominan sehingga membunuh rasa lainnya. Cake tidak asal cemplung, penciptaan semesta juga tidak asal taruh. Saya tidak bisa mengampuni diri sendiri setelah berkata, “Paling ini kayak capcai rasanya.”
“Jadi, gimana rasanya?” A mengulangi. Kalau saya menyuruhnya diam di saat ia menggenggam garpu, itu artinya saya cari mati. Jadi, saya harus menjawabnya.
“Rasanya kayak … reinkarnasi, binasa lalu diciptakan kembali.”
Eksperimen perpaduan rasa Masak Pae yang tampilannya mirip capcai/Putriyana Asmarani
Masak Pae yang Cendekia
Cake menjadi dosa akhir tahun yang tak terampuni, terutama setelah saya membandingkannya dengan capcai. Meskipun begitu, saya masih belum insaf. Saya keras kepala, mungkin ini menjadi alasan mengapa dongeng lisan kebanyakan menghukum orang keras kepala. Dilihat dari bentuknya, Masak Pae terlihat lebih capcai dari Cake. Alasan saya menyantap Cake dulu setelah itu melirik Masak Pae, adalah saya yakin Masak Pae rasanya sangat capcai, kesimpulannya, Masak Pae bisa menyulut emosi.
Masalahnya, dengan menjadikan Cake santapan pertama, itu berarti saya mengubur kesan Cake dengan Masak Pae yang rasanya sesuai prediksi BMKG. Cake yang mengesankan hanya akan menjadi Minggu malam yang tak lagi menarik bagi Senin pagi. Saya menyingkirkan piring Cake yang tandas dengan melankolis seperti cara Richard II melepaskan takhta untuk diduduki Henry Bolingbroke: singkat, padat, ngenes.
Lesu saya melihat ada potongan kembang kol, wortel, sawi, dan komposisi mirip capcai lainnya. Sangat mirip, hanya saja tidak ada irisan pentol dan sosis. Yang membuat Masak Pae tidak bisa disebut capcai adalah ada irisan tipis bacon halal dari daging entah apa, tahu goreng, dan taburan keripik kentang. Kuah Masak Pae, setelah saya obok-obok, tidak sekental Cake. Betul, secepat ini orang bikin dosa besar setelah insaf beberapa detik yang lalu, “Ini, mah, capcai banget.”
A banting setir, ia mengganti strategi perangnya yang tadinya Lao Tzu banget, sekarang ala Seneca. Itu berarti, demi mensyukuri realita yang akan datang, orang harus merespons dengan kemungkinan terburuk, “Kan, bentuknya memang capcai banget,” katanya dengan senyum jahil.
Untuk menghadapi hidangan tertentu, saya sama psikopatnya dengan Fernandez, kucing kompleks selingkuhan Siti, yang meneliti bahkan mempermainkan buruan, membunuh mencit perlahan sampai binatang itu tandas. Pertama, saya mencicipi kuah. Kedua, saya sandingkan irisan bacon dengan wortel, selanjutnya wortel, tahu, dan keripik kentang, begitu seterusnya sampai semua bahan berdesakan dalam satu sendok makan. Saya penasaran struktur komposisi apa yang timpang atau imbang saat bersanding, bahan apa yang tidak terasa signifikan tapi justru itu menjadi penyempurna, dan seterusnya.
Tekstur capcai agak berlendir, barangkali ulah maizena. Yang berlendir itu memandikan potongan kembang kol dan brokoli yang kerap dipotong asal. Kuah yang sedap dari capcay biasanya tidak terbit dari saripati bahan yang berkelindan bersama, karena itu, rasa sedap kuah, musnah ketika sayur irisan tebal dikunyah. Ketika makan capcai mulut saya seolah berada di medan laga, rasa apa yang menang, rasa apa yang kalah. Masak Pae, lagi-lagi saya khilaf, bukan saudara kembar capcai. Maka dari itu, saya tak layak mendapatkan pengampunan warga Sumenep.
Alasan legit kenapa tahu goreng (bukan tahu godok) meringkuk di antara tumpukan bahan lainnya, menurut saya tahu goreng lebih berpori dibandingkan tahu godok, sehingga dalam komposisi ini, tahu goreng punya kontribusi untuk menadah rasa, bukan menyimpang rasa. Orang Sumenep kiranya cukup brilian untuk memilih tahu goreng, karena menonjolkan bahwa yang dimakan saat ini adalah tahu Masak Pae, bukan tahu biasa. Tentunya, tahu godok cenderung menetralkan rasa dan membawa kesan akhir yang akan terbatas pada ‘sekadar tahu’. Sebab, ia tak terlalu berpori untuk menyerap gugus rasa atau merembeskan saripatinya pada makanan.
Kembang kol, bagi saya, adalah bahan paling keras kepala. Bahan ini cenderung mencolok, mau digeprek berlumur sambal tomat, atau bahkan dihantam sambal bawang yang menjenuhi hidung, kembang kol tidak akan mati rasa. Jadi, memasukkan kembang kol dalam rangkaian komposisi Masak Pae, sama seperti merekrut anggota radikal ketika regu ini didominasi fundamentalis. Meskipun hanya terdapat lima iris kembang kol, anggota radikal ini bisa saja merevolusi hidangan satu piring.
Anehnya, kembang kol takluk di bawah kekuasaan Masak Pae. Khusus soal hidangan, saya selalu terkesan dengan santapan otorite. Semakin otoriter, semakin cendekia wajah kuliner. Kalau tidak otoriter begini, saya bisa beli kembang kol sendiri, merebusnya sendiri, dan seterusnya. Kembang kol di Masak Pae, menjadi siluman yang hampir tak dikenali di lidah saya.
Saya mesem. A mengangguk-angguk. Siapa sangka strategi distopia Seneca bisa bekerja di industri makanan semacam ini. Saya menandaskan Masak Pae seperti anak SMA yang lagi kasmaran. Saya suka Masak Pae yang tidak terlalu berlendir, ia pekat karena rempah dan lagi-lagi menggunakan kaldu ayam, bukan sayuran yang diguyur air tawar seperti capcay.
Kalau dibandingkan antara Masak Pae dan Cake, Cake juaranya. Mungkin karena tekstur lembut kentang memulihkan tendangan kuah yang pekat akan kaldu dan rempah, kelembutan ini hadir sebagai penyeimbang yang jitu. Kentang di Masak Pae hadir sebagai taburan gorengan, memberi kesan gurih yang melatari semangkuk komposisi basah, sehingga taburan kentang goreng ini cenderung kalah.
Tidak banyak pertentangan sensasi rasa ketika dan pascamakan Masak Pae dan Cake. Karena saya pemuja hidangan otoriter, tentunya Cake sangat Napoleonik. Permisi, bisa jadi Joseph Stalin minder melihat otoritarianisme bekerja dalam semangkuk Cake. Intinya, saya cengar-cengir meninggalkan Resto Amanis, saya yang tadinya sudah sekacau usai gempa tektonik berubah menjadi kuntilanak di musim semi yang memetik sekuntum mawar merah buat genderuwo yang ia cintai.
“Gimana dengan pakta gak-akan-balik–Madura yang kau bikin kemarin sore itu?” A bertanya. Sebab, sesungguhnya ia tahu jawabannya, A berhasil.
“Gawat, aku harus hidup. Aku tak bisa pastikan, nanti kalau sudah tewas, koki di surga bisa bikinin aku Masak Pae dan Cake, atau enggak.”
“Hiduplah, lagian … belum tentu kamu masuk surga!”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.