NusantarasaTravelog

Gampang-gampang Susah Berburu Kipo, Camilan Khas Kotagede

Kipo, camilan khas Kotagede, Yogyakarta ini tidak sulit dicari, tetapi juga tak semudah itu untuk mendapatkannya. Saya berkesempatan mengitari komplek sejarah Kotagede demi berburu kipo (24/06/2023).

Kotagede yang lazim dikenal sebagai salah satu pasar tertua di Yogyakarta ini ternyata tak sebatas hiruk pikuk transaksi tradisional. Kotagede merupakan komplek sejarah yang terdiri dari macam-macam bangunan, salah satunya pasar.

Ke belakang pasar, kita dapat menemukan Masjid Gede Mataram Kotagede. Tempatnya agak ke barat dari Pasar Legi Kotagede. Di situ pula ada pemandian dan makam dari tokoh perintis daerah Kotagede, Ki Gede Pemanahan dan Panembahan Senapati.

Lebih ke selatan, kita akan menemui bangunan di tengah jalan dengan dua pohon beringin besar mengapit: watu gilang dan watu gatheng. Watu gilang adalah batu persegi panjang dengan cekungan sebesar dahi orang dewasa. Konon, batu ini merupakan saksi bisu tewasnya Ki Ageng Mangir, seorang pembangkang yang dihantamkan kepalanya ke batu tersebut oleh Panembahan Senapati.

Suasana di situs ini cukup sepi dan asri. Sekilas, cerita horor tersebut masih mengudar di sekitar situs karena suhu relatif lebih dingin, hasil dari asrinya pohon beringin. Atmosfer ini berbeda dengan Pasar Legi Kotagede yang pekat energi hidup lantaran banyak orang melakukan jual beli.

Di sudut situs watu gilang ini berdiri sebuah angkringan. Saya sempatkan mampir dengan niat untuk sekadar menyeduh teh hangat dan hendak bertanya tempat penjual kipo. Namun demikian, sambutan penjaja angkringan terlampau hangat hingga obrolan merangsek mundur jauh ke zaman Mataram Kuno. 

Matahari sudah meninggi dan sinarnya merambati tubuh saya. Saat itu pula saya sadar bahwa tujuan utama bertamu ke angkringan ini belum sempat saya sampaikan. “Permisi, Pak, kalau penjual kipo yang paling terkenal di daerah Kotagede ada di mana, ya?” tanyaku memotong obrolan.

Gampang-gampang Susah Berburu Kipo, Camilan Khas Kotagede
Suasana sisi barat Pasar Legi Kotagede/Abeyasa Auvry

Berburu Kipo

Seturut informasi yang saya dapat, saya lantas mengayuh sepeda ke utara melintasi pasar dan berbelok ke Jalan Mondorakan. Tidak jauh dari Pasar Legi Kotagede, sekitar 300 meter ke arah barat, ada warung penjual kipo legendaris, yakni Kipo Bu Djito. Warungnya ada di sebelah utara jalan.

Pucuk dicita, ulam pun tak kunjung tiba. Bu Isti, pewaris resep dan usaha Kipo Bu Djito, yang sekaligus menjaga warung itu mengatakan bahwa kipo sudah habis terjual. Padahal waktu baru saja memasuki tengah hari. Ia menuturkan bahwa akan buka dan produksi lagi di hari Senin. Sabtu itu saya pulang dengan tangan hampa, meskipun cukup kenyang dengan kisah masa lampau Kotagede.

Saya akan tetap mengunjungi Kipo Bu Djito pada Senin mendatang. Sementara di hari Minggu pagi, saya coba memasuki Pasar Legi Kotagede. Barangkali dapat membawa pulang kipo barang sebungkus.

Memasuki gerbang utama pasar tertua di Yogyakarta ini, saya langsung menjumpai lapak penjual jajanan pasar. Kemudian menanyakan keberadaan kipo kepada salah seorang perempuan penjaja kudapan pasar yang ada. Ibu pemilik lapak tersebut menuturkan bahwa jajanan yang saya cari sedang kosong hari itu.

Saya tanyakan hal yang sama ke beberapa penjual jajanan di dalam pasar. Berita yang sama pula terujar dari mereka. Saya tak habis pikir, demi camilan seukuran jempol, usaha yang saya butuhkan untuk dapat mengudapnya juga jempolan.

Dengan sisa harapan yang ada saya keluar dari pasar melalui jalan lain, beda dari gerbang utama. Saya keluar melalui pintu barat pasar. Kali ini ulam menyambut baik saat cita sudah dipucuk. Di sisi luar sebelah barat Pasar Legi Kotagede, terdapat penjual jajanan pasar yang menjual kipo. Harga yang ia patok untuk sebungkus kipo yakni 3.500 rupiah.

Saya tak sempat banyak bertanya mengenai kipo di warung itu sebab pembeli ramai berdatangan silih berganti. Tak hanya kipo yang ada di warung itu, ada puluhan macam jajanan lain yang tersaji untuk dijual.

Kuliner Legendaris Kipo

Senin pagi saya penuhi perburuan camilan mungil ini ke warung legendaris Bu Djito.  Sesampainya di warung kecil tepi jalan itu, beberapa bungkus kipo masih tersedia di etalase kaca. Beberapa sudah terbungkus rapi, sisanya masih telanjang. Beruntung saya masih bisa menjumpai kipo.

Bu Isti menuturkan, dia hanya memproduksi beberapa bungkus saja setiap harinya. Sehingga, jika terlambat datang atau kesiangan, terkadang sudah ludes. Sementara itu kipo juga tak bisa bertahan lebih dari 24 jam. Oleh karenanya, pantang mengangkut jajanan ini untuk jadi oleh-oleh bagi turis yang mesti menempuh perjalanan jauh ke luar Jogja, jika tidak ingin basi sampai tujuan.

Bu Djito, nama yang terpampang di muka warung ini merupakan ibu dari Bu Isti. Bu Djito mulai berjualan kipo pada 1946 di halaman rumahnya yang langsung berbatasan dengan jalan. Rumah yang hari ini saya kunjungi merupakan rumah yang sama ketika Bu Djito memulai usahanya, 77 tahun silam.

Sedianya Bu Djito menjual dan memproduksi kipo secara bersamaan. “Dulunya dibuat dan disajikan langsung di pinggir jalan. Jadi, orang-orang bisa melihat langsung prosesnya,” kenang pewaris resep kipo kelahiran 1966 itu.

Bu Isti juga mendapat cerita dari almarhumah ibunya, bahwa warga yang melintas Jalan Mondorakan pada saat itu kemudian penasaran dengan camilan produksi Bu Djito. Orang-orang kerap bertanya, iki opo (ini apa) sembari mencicipi jajanan berwarna hijau tersebut. Dari situlah nama kipo tercetus: Iki opo.

Gampang-gampang Susah Berburu Kipo, Camilan Khas Kotagede
Sebungkus kipo/Abeyasa Auvry

Kipo merupakan kudapan manis berbahan baku tepung ketan dengan isian gula jawa dan parutan kelapa. Warna hijau pada kipo diperoleh dari daun suji. Menurut Bu Isti, bahan baku pembuatan kipo berasal dari bahan alami. Tidak menggunakan pewarna maupun gula sintetis. Hal ini bertujuan untuk menjaga cita rasa tradisional kipo.

Jajanan ini berbentuk pipih. Pengolahannya dengan cara memanggang dalam wajan tanah liat (gerabah) hingga memberikan warna hangus proporsional di antara warna hijau.

Pengolahan dengan wajan tanah liat sendiri dapat memberikan rasa yang khas pada makanan. Tanah liat yang bersifat basa dan kaya mineral memungkinkan penyeimbangan pH pada makanan dan memperkaya kandungan mineral dalam masakan, seperti zat besi, fosfor, kalium, dan magnesium. Panas dari wajan gerabah yang merata juga membuat kelembapan bersirkulasi dengan baik dan menjaga nilai gizi makanan.

Sebutir kipo hanya sebesar ruas terluar ibu jari orang dewasa. Biasanya dalam sebungkus berisi lima butir kipo. Di pasaran, sebungkus kipo dijual dengan harga tiga ribu sampai empat ribu rupiah. Rasanya tak akan rugi menukar empat keping koin seribu rupiah dengan rasa gurih tepung ketan dan paduan gula jawa-kelapa parut yang lumer di mulut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Abeyasa Auvry bermukim di Yogyakarta. Menekuni bidang geografi membuatnya tidak bisa berdiam diri di rumah. Karena tidak ada yang mendengarkan ceritanya, ia memilih untuk menulis saja.

Abeyasa Auvry bermukim di Yogyakarta. Menekuni bidang geografi membuatnya tidak bisa berdiam diri di rumah. Karena tidak ada yang mendengarkan ceritanya, ia memilih untuk menulis saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta