Satu bulan perjalanan ke Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur menyisakan kenangan tak terlupakan. Tidak akan cukup diceritakan dengan sekat-sekat jejaring maya yang tersedia.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri
Ketika kembali dari Merabu ke Tanjung Redeb sore (16/10/2023), tim ekspedisi Arah Singgah TelusuRI menumpang mobil Asrani. Ester ikut serta. Kebetulan Asrani memang akan mengikuti acara deklarasi damai calon kepala kampung se-Kabupaten Berau. Calon lainnya dari Merabu, yaitu Doni Simson, Delfi Oley, dan Elisabet Ida Saloq sudah berangkat terlebih dahulu paginya.
Sepanjang 103 kilometer awal atau hampir tiga jam sampai tiba di Warung Tower 2, Gunung Sari, Merasa, Asrani yang menyetir. Selepas makan, saya diberi kesempatan mengemudi di sisa 70 km menuju hotel tempat kami akan menginap di Tanjung Redeb. Kurang lebih dua jam perjalanan, saya benar-benar merasakan betapa menantangnya jalan poros Samarinda—Berau tersebut.
Saat berkendara malam harus fokus karena badan jalan sempit, naik turun, berkelok-kelok, banyak lubang, dan minim penerangan. Tidak terhitung ban mobil harus kejeblos lubang dalam karena saya yang belum paham medan kurang antisipasi. Belum lagi truk-truk besar berseliweran dan kadang melaju dengan kecepatan tinggi. Kabut tebal kadang-kadang turun ketika berada di tengah hutan.
Rute seperti itu sudah sangat sering dilewati Asrani dan orang-orang Merabu lainnya. Saking seringnya, mereka seperti hafal tikungan, tanjakan, maupun titik-titik jalan yang rusak berat. Tidak terkecuali arah sebaliknya, dari Merabu ke Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur. Tatkala dahulu belum beraspal sepenuhnya, mereka bisa terjebak berhari-hari di jalan karena buruknya jalan. Antrean panjang terjadi saat menunggu giliran melalui jalur yang berlumpur atau ada tanah longsor di musim hujan.
Asrani dan orang-orang Merabu sudah amat kenyang dengan bertahun-tahun bersabar menunggu kehadiran negara lewat pembangunan infrastruktur jalan. Aksesibilitas memang belum sepenuhnya merata seperti Pulau Jawa, termasuk akses jaringan listrik dan telekomunikasi. Namun, Asrani mengatakan, “Kami ini sebenarnya merasa beruntung hidup di dua zaman. Zaman susah ketika fasilitas serba terbatas, lalu zaman sekarang yang sudah lumayan maju.”
Tim TelusuRI saja benar-benar bersyukur masih bisa mengakses listrik dan sinyal ketika singgah delapan hari di Merabu. Meski tidak tersedia sepanjang hari, tetapi rasanya cukup dan sesuai kebutuhan. Kami sebagai orang dari luar kampung, merasa beruntung tidak harus naik ketinting menyusuri sungai berhari-hari, seperti masyarakat Merabu alami beberapa dekade lampau. Tatkala Merabu benar-benar bagaikan planet lain yang tidak mudah dijangkau siapa pun.
Dan kini, di tengah tantangan yang belum menyentuh kata usai, di saat upaya menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan perlindungan hutan masih berlangsung, kekhasan alam dan budaya Merabu telah memikat banyak orang untuk berkunjung.
* * *
Meski berbeda situasi, tetapi semangat senada juga diusung orang-orang hebat yang kami temui di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Siak, Bengkalis, dan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Jargon “Masyarakat Sejahtera, Hutan Terjaga” yang disuarakan Kepala Balai Besar TNGL, Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut., M.P. berlaku untuk siapa pun dan di mana pun.
Sampai sekarang saja, pembicaraan kami dengan para narasumber masih terekam jelas dalam ingatan. Empat topik utama dalam ekspedisi ini, yaitu restorative economy (ekonomi restoratif), social forestry (perhutanan sosial), renewable energy (energi terbarukan), dan climate justice (keadilan iklim), menjadi pintu masuk sisi-sisi lain yang tak terduga.
Para mahout Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan, Joni Rahman, Budiman, Sudiono, Katio, dan Cece Supriatna, terus berjuang menjaga sembilan gajah sumatra dari ancaman konflik dan penyakit Elephant endotheliotropic herpesvirus (EEHV). Rutkita Sembiring, mantan penebang kayu ilegal, tak henti berkeliling mengampanyekan pelestarian hutan dan ekowisata.
Bobi Chandra dan segenap karyawan Ecolodge Bukit Lawang masih berkomitmen menerapkan kaidah-kaidah ramah lingkungan di tengah tantangan lingkungan dan stigma. Pengabdian tim SMART Patrol yang dipimpin Misno belum mengenal kata lelah menyisir hutan demi keutuhan kawasan TNGL.
Dari pelosok Besitang, seorang Hatuaon Pasaribu akan selalu menyuarakan pertanian berbasis konservasi lewat jengkol, petai, durian, cempedak, rambutan, dan aren. Tak surut nyali sekalipun rekan-rekan lainnya tergoda uang cepat hasil praktik mafia tanah.
Penduduk perdesaan di tepian Sungai Subayang, baik di dalam maupun luar kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, berupaya melestarikan jejak adat Kekhalifahan Batu Songgan sekaligus menggali potensi-potensi ekonomi alternatif yang berkelanjutan. Mencari titik temu yang saling memberi manfaat antara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau dengan pendampingan lembaga masyarakat sipil.
Generasi muda Siak terus berinovasi lewat ikan gabus dan produk-produk lokal berkualitas demi restorasi gambut dan masa depan Siak Hijau. Di seberang Selat Malaka, Samsul Bahri, Hasnur Rasid, Herna Hernawan, Indra, dan orang-orang Teluk Pambang bergerak di tengah terik dan ancaman illegal logging untuk konservasi 1.001,9 hektare hutan mangrove.
Lalu Merabu, kampung kecil yang dirintis etnis Dayak Lebo di tepi Sungai Lesan, yang bersandar pada kawasan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat, menjadi penutup cerita-cerita harmoni manusia dan alam dalam Arah Singgah 2023.
* * *
Tidak kurang dari 8.700 kilometer kami tempuh selama sebulan ekspedisi. Aneka ragam transportasi, mulai dari pesawat terbang, mobil, bus, motor, dan perahu kami naiki untuk berpindah dari satu tujuan ke tujuan lain. Menemui lebih dari 30 narasumber lokal di tiga provinsi, Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dengan berbagai macam latar belakang.
Namun, Arah Singgah lebih dari sekadar utak-atik mengumpulkan angka-angka statistik. Arah Singgah sekaligus menjadi ruang tim TelusuRI untuk berkontemplasi. Kami tidak hanya memperluas jangkauan cerita-cerita itu kepada pembaca, tetapi juga mengendap sebagai bahan perenungan kami sendiri.
Mengingat keterbatasan yang ada, tidak semua kisah tertuang di ruang-ruang kolaboratif, situs web, maupun media sosial. Walaupun demikian, kami yakin suatu saat cerita-cerita tersebut akan menemui waktu dan tempatnya sendiri. Setidaknya dalam bingkai jiwa yang sama, kesejahteraan hidup manusia yang selaras dengan alam sebagai sumber kehidupan.
Rasanya satu bulan terlampau sebentar untuk sebuah ekspedisi yang panjang dan berat. Terlalu banyak wacana, keinginan, bahkan janji-janji kami yang harus ditebus kala nantinya diizinkan kembali ke tempat-tempat nan jauh itu. Kami akui, keterikatan batin yang terjalin dengan orang-orang lokal yang luar biasa tersebut tidak akan mudah dilupakan begitu saja. Namun, kami percaya ini bukanlah akhir dari perjalanan. Kami baru saja membuka pintu untuk awal perjalanan berikutnya.
Semoga kita semua belajar dari perjalanan ini. Sampai jumpa di ekspedisi Arah Singgah berikutnya! (*)
Foto sampul:
Mauren Fitri, project leader Arah Singgah 2023 melintasi Jembatan Nini Galang yang membentang di atas Sungai Batang Serangan. Jembatan ini menghubungkan kawasan perkampungan dengan Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Langkat, Sumatra Utara/Deta Widyananda
Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.