Penyu di fasilitas penangkaran Sindu Dwarawati merupakan hasil tetasan yang dibesarkan selama satu tahun atau lebih sebelum dilepas ke samudra. Telur-telur penyu itu diambil dari sarang mereka di pantai lalu dipindahkan ke tempat penetasan untuk menjauhkan mereka dari bahaya. Alih-alih langsung dilepas begitu menetas, Pak Kadek memilih untuk membesarkan tukik-tukik itu terlebih dahulu. Dia melakukannya bukan tanpa alasan.
Menurutnya, membesarkan anak-anak penyu sebelum dirilis ke laut dapat memperkecil peluang mereka mati dimakan predator. “Tukik yang baru menetas, peluang hidupnya cuma satu per seribu,” jelasnya. Memang, ketika baru menetas, bayi penyu akan merangkak ke laut, berenang cepat-cepat—para ilmuwan menyebutnya swimming frenzy—menghindari mulut dan cakar predator. Oleh karena itu, mereka biasanya menetas saat malam, ketika pasir mendingin dan seolah berbisik pada mereka, “inilah saatnya.”
Selain itu, menurut Pak Kadek, ukuran penyu yang sudah dirasa pas memudahkan proses dokumentasi. “Biar kelihatan kalau difoto, jadi, kegiatan kami jelas,” imbuhnya.
Bagaimana mengatakannya, tetapi saya tidak sependapat. Saya pikir, penyu harus segera mencapai lautan begitu keluar dari cangkang telur. Terlalu banyak intervensi terhadap siklus hidup penyu dapat menjauhkan mereka dari sifat alaminya dan mengubah hidup mereka untuk selamanya. Oleh karena itu, bukankah metode pembesaran ini sangat tidak natural? Seakan bisa membaca pikiran saya, Pak Kadek menjelaskan pendapatnya.
“Penyu-penyu itu pernah kami beri makan berbagai macam dedaunan. Mereka bisa memilih mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak. Siapa yang mengajari? Bukankah itu insting?” jelasnya. Logika sederhana, tetapi saya masih sulit menerimanya. Saya pikir, persoalannya tak sesimpel itu. Saya pernah mengikuti pelatihan konservasi orang utan pada 2013 silam dan mendapati betapa sulit melepas hewan liar kembali ke habitatnya. Mereka harus dilatih supaya bisa menjalani hidupnya sebagai satwa liar. Lebih-lebih, mereka yang direnggut dari habitatnya sejak masa-masa awal hidupnya, seperti penyu-penyu ini.
Mengasuh Tukik di Penangkaran
Hewan yang lahir dan hidup di penangkaran perlu diajari perkara keadaan di habitat alaminya. Penyu-penyu di tempat ini menghabiskan satu sampai dua tahun hidupnya di kolam-kolam dangkal, bubur ikan, dan jam makan rutin layaknya manusia. Banyak ahli meyakini, bahwa membesarkan tukik untuk merilisnya kemudian sama saja dengan merampas bayi-bayi itu dari masa-masa paling menentukan dalam hidup mereka.
Saat merangkak ke laut, tukik tak sekadar bergerak. Mereka merekam lingkungan sekitar—imprinting, kata ilmuwan, mengingat koordinatnya, tekstur pasirnya—barangkali juga aromanya, untuk kembali saat waktunya bertelur kelak. Setelah mencapai lautan, mereka mengembangkan kemampuan paru-paru dan otot-ototnya untuk mengarungi dan menyelami samudra. Pelajaran yang jelas tak diberikan fasilitas penangkaran.
Penyu yang menetas dan tumbuh di penangkaran melewatkan momen-momen penting itu. Besar kemungkinan mereka akan kesulitan hidup di lautan. Mereka terbiasa hidup di tempat yang kondisinya sama sekali berbeda dengan segara. Menurut saya, tanpa habituasi yang tepat, penyu-penyu itu tak akan bisa apa-apa usai dilepas. Kemampuan biologisnya tak berkembang seperti saudara-saudara liarnya. Karena sudah terbiasa dengan manusia, bisa-bisa mereka malah mendekati perahu nelayan dan meminta jatah tangkapan. Ada baiknya memasang alat pelacak dan mengamati kehidupan mereka usai dilepasliarkan. Dengan demikian, efektivitas cara tersebut tak bermodal keyakinan buta belaka.
Sebenarnya, teknik pembesaran telah lama digunakan dalam upaya konservasi penyu. Headstarting, begitu para ilmuwan Barat menyebutnya. Teorinya sederhana, semakin besar ukuran anak penyu, semakin besar pula kesempatannya sintas. Meski sudah banyak diterapkan, beberapa pihak meragukan metode ini lantaran belum ada penelitian yang dianggap cukup valid terkait efektivitasnya. Selain itu, kehidupan penyu di penangkaran jauh dari sifat alami penyu sehingga berpotensi mengubah perilaku dan menjadi sarana penularan penyakit. Lalu, sejauh mana batas intervensi manusia sebaiknya?
Emma Marris dalam bukunya, Wild Souls, menyampaikan kegelisahannya soal itu. Aktivitas manusia di muka bumi dan dampaknya yang masif telah melahirkan suatu tanggung jawab etik terhadap penghuni bumi lainnya. Menurutnya, manusia telah membentuk dunia yang ditinggali satwa liar kiwari. Oleh karena itu, ia percaya manusia punya “tugas” terhadap mereka. Permasalahannya, bagaimana menjaga bentuk tanggung jawab itu tetap seimbang, merawat otonomi mereka sekaligus tetap rendah hati? “Jika kita tak melakukan apa-apa, makhluk nonmanusia menderita. Akan tetapi, jika manusia berbuat terlalu banyak, yang akan terjadi malah dominasi dan opresi,” tulis dia.
Saya mendiskusikan persoalan ini dengan Veryl Hasan, kawan saya yang juga merupakan dosen di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unair. “Langsung lepas begitu menetas dan biarkan alam bekerja,” ujarnya. Sebuah artikel yang terbit di Marine Turtle Newsletter menyebut headstarting hanya tampak ampuh di permukaan, tetapi kenyataannya tidak. Artikel lain yang diterbitkan Turtle Foundation bahkan menyebut tindakan penangkaran yang membesarkan dan menarik pengunjung untuk melihat anak-anak penyu sebagai eksploitasi terhadap tukik.
Meski tampak bisa mengatasi persoalan susutnya populasi penyu, headstarting justru mengaburkan akar masalah yang dihadapi binatang itu, seperti perburuan, perdagangan liar, overfishing, polusi, dan perubahan iklim. Selama masalah-masalah tersebut tak selesai, memulihkan jumlah penyu di lautan sepertinya tak banyak berguna, hanya menyediakan lebih banyak karapaks bagi pemburu liar untuk dijarah. Tidak heran jika banyak pihak mengkritik praktik tersebut. Lebih-lebih jika penyu dijadikan objek wisata berlabel konservasi.
Antroposentrisme Wisata Penyu
Melihat letaknya yang berada di spot wisatawan, sulit untuk tidak berpikir bahwa penangkaran ini juga berfungsi menarik pengunjung. Seperti kebun binatang gratis dengan kotak donasi. Akibatnya, penyu-penyu itu lambat laun akan terbiasa dengan manusia. Tak ada yang mengajarkan mereka untuk menjauhi manusia. Saya bisa mengerti mengapa fasilitas semacam ini mendapat banyak sorotan para pemerhati satwa liar.
Profauna, organisasi yang getol mengampanyekan kesejahteraan satwa liar menyebut penangkaran penyu sebagai bisnis. Dalam situs resminya, mereka mengkritik praktik penangkaran penyu di Indonesia yang rata-rata dibangun dengan biaya minim untuk meraup untung. Profauna bahkan tidak menyarankan wisatawan untuk mengunjungi dan mendukung fasilitas tersebut.
Wisata lepas penyu yang lazim di Bali saya pikir juga perlu direnungkan kembali. Lebih dari satu dekade lalu saya pernah melihat pelepasan tukik di Pantai Kuta. Masih segar di ingatan saya saat bayi-bayi rentan itu diwadahi baskom warna-warni untuk dilepas ke lautan. Seseorang dengan pengeras suara memberi aba-aba agar tak ada yang menghalangi jalan makhluk-makhluk kecil itu menjemput kebebasan. Mereka merangkak, sirip kecilnya mencengkeram pasir, menyambut ombak yang datang, dan hilang bersama gelombang.
Melepas penyu ke laut itu baik, saya tahu. Wisatawan yang ikut melepas tukik ke lautan pasti merasa telah melakukan hal yang benar. Tapi, benarkah? Setelah menetas, tukik akan berpacu dengan waktu. Jika dibiarkan terlalu lama di ember atau baskom demi menunggu waktu rilis yang tepat—atau rombongan wisatawan, energi yang seharusnya digunakan untuk mencapai lautan, melintasi terumbu karang, dan menghindari rahang-rahang lapar, justru akan habis. Akibatnya, saat hendak dilepas, bayi-bayi itu seperti mainan yang kehabisan baterai, menjadikan mereka semakin rentan di lautan. Semua ini membuat saya berpikir bahwa upaya yang sebelumnya saya kira “benar” ternyata tidak juga. Sesuatu yang dilakukan atas nama konservasi, nyatanya antroposentris. Tak cocok dengan pandangan deep ecology Arne Naess. Dan saya kaget saat mengetahui bahwa di tempat lain, yang terjadi malah lebih buruk.
Sepulang dari Bali saya mengobrol dengan kawan lama saya, Thobib Hasan alias Tobi. Tahun lalu ia melakukan penelitian di Belitung dan melihat tukik-tukik dieksploitasi.
“Parah banget, Mas, di sana itu. Kalau mau melepas penyu harus bayar dulu!” ujarnya dengan ekspresif. Bagus, kini wisatawan harus membayar untuk melepas bayi-bayi penyu.
“Oh, ya? Bayar berapa memangnya?” tanya saya.
“Rp25.000 satu tukik! Gila, kan?”
“Ada fotonya, nggak? Coba lihat.” Ia mengambil iPhone-nya dan menunjukkan foto itu.
Pengalaman serupa juga dialami Veryl. Tahun lalu, ia juga mengerjakan sebuah riset di Belitung. Di sana, ia ditawari telur penyu. “Mereka jual telur penyu, tapi ya sembunyi-sembunyi. Aku aja kemarin ditawari. Cuma Rp3.000 satu butir. Murah,” katanya. Menyedihkan, penyu-penyu itu nasibnya sudah malang sejak dalam cangkang.
Melihat berbagai ancaman bagi kelangsungan hidup penyu, rasanya memang masih banyak yang perlu dilakukan demi kelestarian spesies mereka. Tampaknya, sudah menjadi tanggung jawab manusia untuk menjaga eksistensi mereka di muka bumi. Dan memang, sesekali manusia terpaksa harus ikut campur demi kelestarian suatu jenis makhluk hidup.
Penangkaran penyu merupakan salah satu bentuk intervensi manusia terhadap takdir spesies tersebut. Hingga kini, banyak spesies berhasil ditarik dari bibir jurang kepunahan oleh campur tangan manusia. Namun, tanpa pengetahuan dan teknik yang tepat, bisa-bisa niat mulia malah berujung bencana. Saya pikir, ada baiknya meninjau kembali upaya pelestarian penyu yang selama ini dilakukan oleh fasilitas penangkaran, membaca atau melakukan riset yang memadai untuk menguji metode yang dianut. Agar penyu-penyu yang diserahkan ke rahim sang segara, bisa menjadi penyu seutuhnya dan bisa mengarungi takdirnya sebagai satwa liar yang patuh pada kehendak evolusi.
Referensi
Marris, Emma. 2021. Wild Souls. New York: Bloomsbury Publishing.
Phillot, Andrea. P. 2023. Holding and Headstarting Sea Turtle Hatchlings. Indian Ocean Turtle Newsletter No. 38.
Sandi, Bayu, Thomas Reischig, Hiltrud Cordes. 2015. Exploitation of Turtle Hatchlings: How Headstarting Poses an Increasing Problem Sea Turtle Conservation in Indonesia. Poster for 35th Annual Symposium on Sea Turtle Biology and Conservation.
Woody, Jack B. 1991. It’s Time to Stop Headstarting Kemp’s Ridley. Marine Turtle Newsletter 55:7-8.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.