Di Pecinan Glodok Aku Mencari Kue Bulan dan Menemukan Gus Dur

Karena daya jelajah masyarakat Tiongkok yang luas, peradaban bangsa tersebut memiliki peran yang besar dalam penulisan sejarah peradaban dunia. Begitu pun di Indonesia. Peran bangsa Tiongkok dan budaya Tionghoanya menjadi bagian yang penting dalam sejarah nusantara.

Salah satu budaya Tionghoa yang berkembang di nusantara adalah kuliner. Ketika masuk ke nusantara budaya kuliner Tiongkok berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan alam dan kondisi sosial masyarakat nusantara. Hasil interaksi dan adaptasi itu dikenal sebagai budaya kuliner Peranakan Tionghoa, menjadi salah satu komponen budaya kuliner nasional Indonesia sekaligus mencerminkan keragaman dan kekayaan kultural masyarakat nusantara.

Kuliner Peranakan Tionghoa itulah yang akhirnya membawaku ke Pancoran, Glodok, dan menyusuri gang yang di kiri-kanannya terdapat rumah-rumah tingkat berfasad tidak terlalu lebar tetapi bisa memanjang belasan meter ke belakang. Menurut cerita, zaman dulu pajak rumah dihitung berdasarkan lebar rumah, bukan luasnya.

Tujuanku kali ini adalah membeli kue bulan, setelah membaca di salah satu portal berita bahwa Festival Kue Bulan tahun ini, 2020, akan jatuh pada tanggal 1 Oktober.

Festival Kue Bulan adalah perayaan masyarakat agraris Tiongkok di pertengahan musim gugur, pada hari ke-15 bulan 8 (Peh Gwee Cap Go) dalam penanggalan masyarakat Tionghoa. Di hari itu, pada bulan purnama, seluruh anggota keluarga berkumpul, berdoa, dan makan bersama sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang didapat sebelum musim dingin tiba.

Ada banyak versi yang akhirmya menjadi legenda asal mula perayaan musim gugur ini.

Legenda Hou Yi dan Chan E salah satunya. Di versi ini diceritakan bahwa dulu bumi dikelilingi oleh sepuluh matahari. Suatu hari kesepuluh matahari bersinar bersamaan, mengakibatkan kekeringan di mana-mana. Kaisar Langit kemudian mengadakan sayembara untuk memanah sembilan matahari dan menyisakan satu untuk kehidupan di bumi.

Seorang pemanah bernama Hou Yi berhasil memenangkan sayembara itu. Ketika Kaisar Langit menanyakan mau hadiah apa, Hou Yi mengatakan hanya menginginkan menikahi gadis yang dicintainya, yaitu Chan E.

Singkat cerita, Hou Yi kembali mendapat hadiah dari Kaisar Langit, berupa pil hidup abadi, karena berhasil memugar istana Kaisar. Tetapi ada syaratnya, yakni pil itu harus dibagi dua dengan istrinya.

Saking senangnya ia ketika suaminya, Hou Yi, menunjukkan pil hidup abadi itu, Chane E meminum semua pil tersebut. Ia pun “overdosis.” Saat ia hendak jatuh ke lantai, secara mengejutkan tubuh Chan E melayang. Terkejut, Chan E menyambar apa saja untuk berpegangan. Benda terakhir yang disambarnya adalah kandang kelinci beserta kelinci putih di dalamnya. Chan E pun melayang bersama kelinci putih di tangan dan akhirnya terdampar di Bulan. Konon, saat bulan purnama ada siluet seorang putri dan seekor kelinci di permukaan Bulan.

Tetapi keajaiban masih berpihak pada mereka. Setahun sekali, pada tanggal 15 bulan 8 penanggalan Tiongkok, akan muncul jembatan yang menghubungkan Bumi dan Bulan sehingga mereka dapat bertemu dan memadu kasih hari itu.

Cerita di atas dikutip dari buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara yang ditulis Aji “Chen” Bromokusumo.


Di Pasar Petak Sembilan, aku menuju toko kue Fay Kie berada di Jl. Kemenangan Raya No. 32, Glodok. Di toko yang telah ada dari tahun 1934 itu aku membeli kue bulan dengan isian durian berbentuk seperti bakpia besar seharga Rp47 ribu.

Dalam Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara dituliskan bahwa jenis tiong ciu pia atau kue bulan yang umum di Indonesia adalah Cantonese-style mooncake, Suzhou-style mooncake, Chaoshan (Tiociu)-style mooncake, dan Ningbo-style mooncake.

Toko kue Fay Kie yang sudah ada sejak 1934/Daan Andraan

Yang kubeli di Fay Kie adalah Tiociu-style. Bentuknya seperti bakpia Jogja tapi berdiameter lebih lebar. Suzhou-style yang bentuknya mirip [sekali] dengan bakpia. Dan memang dari dua gaya kue bulan itulah bakpia Jogja diadaptasi.

Cantonese-style bentuknya lebih tebal dengan kulit berwarna cokelat bermotif. Lebih kenyal dari kulit kue bulan Suzhou-style dan Tiociu-style yang berlapis-lapis.

Kue bulan “Tiociu-style” (kiri) dan Cantonese-style (kanan)/Daan Andraan

Dari toko Fay Kie aku menuju Gedung Candra di Jl. Pancoran, masih di Petak Sembilan. Di lokasi itu terdapat toko kue Sin Hap Hoat. Aku ingin membeli kue bulan Cantonese-style-nya yang terkenal.

Tapi aku tidak menemukan toko tersebut. Bahkan plang tokonya pun juga aku tak jumpa. Padahal dua bulan yang lalu aku masih sempat mengambil foto plang toko Sin Hap Hoat yang menempel di bagian depan Gedung Candra. Sayang sekali, sebab Sin Hap Hoat adalah merk tertua kue bulan. Di kotak kue mereka tertulis angka 1909.

Akhirnya aku membeli kue bulan Cantonese-style di Gang Kalimati yang terkenal dengan toko-toko penjual makanan dan jajanannya. Gang ini bersama Gang Gloria menjadi pusat kuliner dan jajanan khas Pecinan di Petak Sembilan.

Masih di gang itu, aku menikmati sebungkus es liang teh dan cempedak goreng dengan siraman gula cair. Dalam pahit es liang dan manisnya cempedak goreng, bayangan Gus Dur melintas di kepalaku.

Berkat beliaulah—yang sewaktu menjabat sebagai presiden menerbitkan Keppres No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina—ekspresi budaya dan kepercayaan komunitas Tionghoa dapat bebas dilakukan di Indonesia tanpa memerlukan izin khusus.

Dan karena Gus Dur pula aku bisa menulis ini tanpa harus khawatir ada Jeep berwarna hijau parkir di depan indekosku tengah malam buta.

Tinggalkan Komentar