Travelog

Berbincang dengan Dalang Muda Jogja

Langit November 2019 itu mulai gelap tertutup awan mendung. Sebuah rumah sederhana berwarna putih di Gang Warsokusumo, Mergangsan, Sleman, tampak sepi dari luar. Dari dalam, seorang laki-laki muncul.

Monggo, Mbak. Masuk aja. Maaf seadanya, ya,” ucapnya menyambut kedatanganku.

Ia adalah Gregorius Pradana Ardyamukti. Laki-laki yang akrab disapa Ardy itu salah satu dalang remaja di Yogyakarta. Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya yang panjang menunjukkan identitasnya sebagai seorang seniman. Melihat perawakannya, aku tak percaya bahwa ia masih duduk di bangku kelas XII Bahasa dan Budaya SMA Kolese De Britto Yogyakarta.

Ia mempersilakanku duduk di rumah yang menjadi saksi perjalanannya menjadi seorang dalang sejak usia tujuh tahun sampai sekarang.

“Pertama suka wayang itu kelas 1 (SD), Mbak,” Ardy mulai bercerita. “Awalnya aku dikenalin sama mbahku. Didongengin di jalan. Pas itu (yang) diceritakan tentang Goro-goro. Setelah itu (aku) malah jadi tertarik sama wayang.”

Ardy pertama kali diajar mendalang oleh Ki Wasdi, salah seorang pegawai Taman Budaya Yogyakarta. Sayangnya, keterbatasan waktu sang pengajar membuat Ardy tak lagi belajar mendalang sampai kelas 3 SD. Namun, hambatan itu tak menggerus kecintaannya terhadap wayang dan mendalang.

Sang ayah ternyata mendukung Ardy. Di acara Parade Dalang CIlik yang diadakan di Taman Siswa Yogyakarta, ayahnya mencoba mencari informasi soal pengajar dalang. Usaha sang ayah berbuah. Ia menemukan sebuah sanggar di Kasihan, Bantul, yakni Sanggar Ayodya yang diasuh oleh Ki Juwaraya Alib Biyono. Ardy pun kembali belajar mendalang hingga kelas 1 SMA.

“Ya, emang karena tugas makin banyak. Terus sekarang juga udah mau ujian to, Mbak,” ujarnya. “Tapi nanti abis ujian pengen gabung lagi, sih. Buat refreshing juga. Pengen juga bantuin ngajar di sana.”

Kegiatan mendalang sempat membuatnya ketinggalan pelajaran. Alasannya, sulit untuk membagi waktu. Pengalaman itu dijadikan pelajaran oleh Ardy agar dirinya bisa lebih baik dalam mengatur waktu sehingga tak ada yang terbengkalai.

Ardy kemudian bercerita soal belajar menjadi dalang. Ia [belajar] mendalang seminggu sekali dan setiap pekan ia mempelajari hal-hal yang berbeda. Mula-mula belajar, ia berlatih teknik memegang wayang. Kemudian ia belajar teknik menggerakkan wayang agar terlihat nyata. Lalu, setelah lihai menggenggam dan menggerakkan, ia baru belajar dialog yang ringan-ringan dan nembang. Semakin lanjut tahapannya, pelajaran yang diterima semakin berat.

Untuk menghafal dan memahami cerita wayang, ia membaca buku-buku pewayangan.

Seorang dalang, kata Ardy, akan menampilkan cerita wayang yang selayaknya atau sepantasnya dia tampilkan. Cerita yang diangkat juga harus disesuaikan dengan umur sang dalang. Ardy sendiri sering membawakan Kongso Adu Jago, yang menceritakan tentang adu jago antara manusia dan raksasa, dan Sengkuni, yang menceritakan tentang peperangan memperebutkan takhta di Kerajaan Hastinapura dalam epos Mahabarata.

Bersekolah di lingkup luar seni (Kolese De Britto), Ardy sedikit-banyak mengetahui alasan kenapa anak muda zaman sekarang tidak menyukai budaya, misalnya wayang. Ia perlu tampil beda dan tak membosankan. Karena itulah Ardy biasanya tampil mendalang menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Kisah yang diceritakan pun tak bisa yang terlalu berat. 

Tiga bulan sejak bergabung dengan Sanggar Ayodya, Ardy menyabet juara kedua di ajang Gelar Seni Pelajar se-Kotamadya (Yogyakarta) tahun 2011. Dalam Lomba Dalang Tingkat Nasional yang digelar Universitas Negeri Yogyakarta, Ardy pernah meraih juara ketiga Dalang Anak Tingkat Nasional tahun 2014 (ketika SD) dan juara kedua Dalang Remaja Tingkat Nasional tahun 2015 (ketika SMP). Ia juga pernah meraih juara pertama festival dalang tingkat provinsi dan berkesempatan maju ke tingkat nasional pada perlombaan yang diselenggarakan di Museum BI, Kota Tua Jakarta. Selain lomba, Ardy juga sering menjadi pengisi acara, seperti di Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI), perayaan ulang tahun SMA De Britto, Pasar Kangen, Balai Budaya Minomartani Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Yogyakarta, dan lain-lain.

Ardy membawakan Gandamana Luweng di Pasar Kangen 2018/Istimewa

Saat tampil, entah lomba atau gelaran lain, ardi menggunakan baju kejawen, keprak, dan cempolo miliknya sendiri. Namun, untuk wayang, ia lebih sering meminjamnya dari teman-teman atau sanggar. Alasannya, koleksi wayangnya belum terlalu banyak. Ia baru punya 18 wayang yang terbuat dari kulit kerbau.

Selain memainkan wayang, ia juga menyukai kegiatan seni lainnya seperti macapat, karawitan, dan tari. Ia juga pernah mengikuti lomba macapat dan karawitan tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta dan nasional.

“Kalo belajar ndalang itu otomatis belajar semua dan sepaket, Mbak. Soale di dalang ‘kan belajar akting, belajar nembang, belajar menyesuaikan ketukan gendhing, belajar nari biar bisa mengimajinasikan gerakan nari di wayang. Jadi sepaket, Mbak,” jawab Ardy sambil menggerak-gerakkan wayang yang ia pegang.

Aku melirik jendela dan melihat hari mulai malam. Sebelum pamit, aku ingin mengajukan pertanyaan pamungkas: apa yang ia rasakan selama menjadi dalang? Dengan riang, Ardy menjawab bahwa selama menjadi dalang ia jadi mempunyai banyak pengalaman, kenalan, dan teman. 

“Seperti(nya), di mana pun aku berada, pasti selalu ada yang nyapa, Mbak,” tutup Ardy.

Tinggal di kaki Gunung Wali, tapi tak pernah bosan dengan indahnya dataran tinggi. Gemar memanjakan lensa mata dengan potret indah untuk disimpan.

Tinggal di kaki Gunung Wali, tapi tak pernah bosan dengan indahnya dataran tinggi. Gemar memanjakan lensa mata dengan potret indah untuk disimpan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *