Alkisah, jaman dahulu hiduplah seorang abdi dalem istana yang menyingkir ke pedalaman akibat adanya perjanjian giyanti yang memecahkan mataram menjadi dua kesultanan yang berbeda; Ngayogyakarta dan Surakarta. Dia memutuskan untuk membuka lahan baru sebagai sebuah perkampungan di daerah pucung. Abdi dalem tersebut terkenal sangat ahli dalam membuat wayang.
Lambat laun lahan yang tadinya kosong mulai terisi oleh para pendatang yang ingin belajar cara membuat wayang ke abdi dalam tersebut. Lama-lama daerah tersebut semakin besar dan bergabung dengan desa-desa lainnya menjadi desa yang bernama Wukirsari. Sang abdi dalam mendapat amanah oleh sang sultan untuk tetap melestarikan wayang sebagai bagian dari kebudayaan Jawa, hingga sampai sekarang desa tersebut terkenal sebagai desa pengrajin wayang.
Begitulah kisah awal mula Wukirsari yang dituturkan Demy, ketua pengelola Desa Wisata Wukirsari kepada saya. Wukirsari, sebuah desa yang bertempat di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul memiliki luas 15 km dan terdiri dari 16 dusun. Desa ini terletak sejauh 17 km dari Yogyakarta. Suasananya masih rindang, banyak pohon-pohon yang masih bisa ditemukan di kawasan ini. Hawanya pun sejuk, berbeda dengan Kota Yogyakarta yang sudah mulai panas akibat banyaknya kendaraan bermotor.
Inisiasi Desa Wisata Wukirsari sebagai desa wisata dari sebelum 2014 sudah ada, tetapi pengerjaan yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan membuat program ini harus berakhir.
Seakan-akan tanpa ada kejelasan untuk menjadi desa wisata, pada 2014 para sesepuh bersama Bayu Bintoro yang waktu itu menjabat sebagai lurah meresmikan kembali program desa wisata yang disponsori oleh Bank BCA. Anak-anak muda banyak berperan dalam keberlangsungan desa wisata hingga hari ini.
Perjuangan Menjadi Desa Wisata
Mas Demy menerangkan awal mula perintisan Wukirsari sebagai wisata melalui perjuangan yang berat. Saat itu desa belum punya fasilitas gedung apapun, dengan berat hati, terpaksa harus menumpang gedung PAUD yang terletak di Dusun Karangasem. “Karena kita baru pertama kali kebentuk, akhirnya kita numpang joglo PAUD, kebetulan sentra pengrajin wayang juga berada di dusun tersebut,” papar Demy. Promosi gencar dilakukan demi menarik pengunjung datang.
BCA akhirnya memberikan bantuan berupa infrastruktur berupa pembangunan joglo, gedung pertunjukkan, toilet, dapur, serta tempat makan yang didirikan di lahan yang disediakan pemerintah desa seluas 7000 m2. Dalam kurun waktu 2014-2016, pengelola Wukirsari menggunakan fasilitas joglo PAUD. “Pagi dipakai buat sekolah, siangnya baru kita bisa menerima tamu,” kenang Demy.
Pernah suatu ketika kunjungan tamu yang ingin menginap di Desa Wisata Wukirsari , Demy dan kawan-kawan kalang kabut soal penginapan, maklum mereka belum pernah menerima kunjungan tamu yang menginap.
“Kami memberitahu tamu dari sekolah bahwa kami belum berpengalaman untuk menyediakan homestay, tetapi tamu tidak masalah, akhirnya kami bisa menyediakan homestay.”
“Pengalaman itulah yang akhirnya kami bisa menangani tamu yang banyak dan homestay,” tambahnya.
Pada tahun 2016, ketika pembangunan infrastruktur sudah rampung, kegiatan mulai dialihkan ke joglo baru. Awal mula homestay pun hanya ada 5 buah rumah yang bersedia dijadikan homestay, lama-lama yang berminat menjadikan rumahnya sebagai homestay semakin banyak. Masyarakat awalnya enggan menjadikan rumahnya sebagai tempat singgah, penyebabnya berbagai macam dari minder dan takut berinteraksi. “Cerita dari mulut ke mulut berkembang, Ah seneng nih aku di datengin tamu di rumah,” akhirnya banyak yang mau ikutan” ucap Demy. Sekarang homestay di Desa Wisata Wukirsari sudah berjumlah 25 dan akan terus berkembang kedepannya.
Anak Muda Tonggak Perubahan
Anak muda selalu identik dengan semangat dan hal-hal baru. Rhoma Irama menggunakan istilah “darah muda” untuk menggambarkan remaja-remaja yang penuh semangat berapi-api. Pemuda Desa Wisata Wukirsari juga bersemangat dalam membangun desa mereka. Salah satu kegiatan yang melibatkan para kawula muda adalah Sendratari Gatotkaca Kalajaya.
Sendratari yang ditampilkan di sini akan menjadi ciri khas penampilan desa. Demy menceritakan kegigihan pemuda-pemuda desa dalam belajar ke Sendratari Ramayana Balet yang ada di Prambanan. Mereka benar-benar belajar dari nol selama 4 bulan konsisten. Ada sekitar 60 orang yang terlibat dalam latihan ini. Akhirnya pagebluk COVID-19 mulai masuk dan menghentikan kegiatan ini sama sekali.
Pandemi memang memukul paling dalam pada sisi pariwisata. Orang-orang menjadi jarang bepergian jauh dan lebih memilih di rumah saja. Sampai saat ini pagebluk di Indonesia belum mendapatkan penanganan yang efektif, walau program vaksinasi sudah mulai digalakan.
Desa Wukirsari memutar otak untuk tetap menjalankan pariwisata saat pagebluk: melalui daring. “Kita sempat bikin virtual workshop dengan sekolah yang menjadi langganan kami di Jakarta, acara selama dua hari, barang peraga kami kirim dari Yogyakarta, dan dipandu lewat daring,” ujar Demy memaparkan kegiatan desa saat pagebluk.
Wayang dan Kehidupan
Dalam penjualan wayang kulit, Wukirsari awalnya tidak mengandalkan pemasaran kolektif tetapi para warga memilih memasarkan barang sendiri-sendiri. Pemasaran masing-masing ini dirasa kurang efektif, kemudian mereka menjadi satu di desa wisata. Showroom yang dibangun bisa digunakan untuk menampung produk wayang.
Wayang di desa ini dibuat dari kulit kambing, sapi, dan kerbau. Kulit kambing terbilang cocok untuk wayang souvenir yang berukuran kecil. Sifatnya yang lembut, tipis, dan berwarna putih. Kulit sapi bagus digunakan untuk bahan dasar wayang, kulit sapi bisa dibelah menjadi tiga, harga akan menjadi lebih murah tetapi menurunkan kualitas wayangnya. Yang terakhir kulit hewan yang paling bagus adalah kulit kerbau. Ketebalan dan kekuatan kulit kerbau diatas kulit sapi dan tahan di segala cuaca. Pembuatan wayang di Wukirsari masih mengandalkan tenaga manusia demi keotentikan.
Warga mulai merasakan dampak ekonomi dari menjadi desa wisata. Warung-warung mulai bermunculan untuk melayani kebutuhan pengunjung. Bagi para pengrajin wayang, mereka bisa nyambi jadi pemandu untuk kebutuhan wisata.
“Dulunya mereka ada yang keluar desa menjadi buruh pabrik, dengan desa wisata mereka akhirnya mendapat penghasilan dari lingkungan mereka sendiri,” terang Demy.
Tentu ini sebuah kemajuan yang pesat, mengingat ketimpangan pemasukan antara masyarakat kota dan desa, yang akhirnya memicu urbanisasi besar-besaran. Sayangnya pagebluk tidak berhenti memberi serangan.
Demy, masih dengan suara yang jelas terdengar dari seberang pulau, berujar ingin melanjutkan sendra tari yang sempat terhenti karena pagebluk, melestarikan wayang bukan cuma dibebankan tanggung jawab kepada Desa Wisata Wukirsari selaku para pengrajin, tapi kesadaran masyarakat luas bahwa kebudayaan itu milik kita, milik Indonesia.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.