Jalan berliku, terjal, dan berlubang itu akhirnya bermuara di Desa Sapit, Lombok Timur. Disambut konfeti air hujan, saya dan Syukron diajak Bang Take ke salah satu dari banyak berugaq yang ada di desa itu.

Di sana, kami disambut oleh Pak Arshad yang menawarkan minuman untuk menghangatkan badan, “Selamat Datang, Mas. Mau ngopi atau [minum] teh?”

desa sapit

Memilih biji kopi/Syukron

Sebentar saja, kopi dan gorengan hangat terhidang di berugaq—mengepul-ngepul. Hawa dingin Desa Sapit yang datang bersama hujan jadi agak sedikit berkurang. Sambil menyantap hidangan, kami mengobrol dengan warga Sapit yang ada di sana.

Kopi yang sudah membudaya di Desa Sapit

Minum kopi sudah menjadi tradisi turun-temurun di Desa Sapit. Dalam acara apa pun, kopi selalu menjadi suguhan wajib yang menemani hidangan lain. Orang-orang tua di sana minum kopi seperti minum obat, tiga kali sehari, yakni di pagi hari, siang, dan malam.

desa sapit

Memilih biji kopi/Syukron

Kopi pun bukan sekadar minuman untuk santai, namun juga teman ketika sedang bekerja. Saking ketergantungannya dengan kopi, beberapa orang warga mengaku bahwa mereka akan merasa sakit kepala apabila minum kopi terlambat dari jadwal biasanya.

Soal kopi pun mereka pilih-pilih. “Kalau kita orang tua mana bisa ngopi dengan kopi kemasan yang dijual [di warung-warung itu]. Tidak ada rasanya. Makanya kita buat sendiri secara tradisional,” ujar Amaq Anton yang punya kebun kopi di Blok Dupe.

desa sapit

Menyangrai kopi sapit/Syukron

Penduduk Desa Sapit memang bukan hanya konsumen kopi, mereka punya perkebunan dan sudah sejak lama membudidayakan kopi di Lombok Timur. Namun, sebagai salah satu produsen kopi robusta di Lombok, nama Desa Sapit masih belum begitu tenar dan nilai jual kopi sapit belum tinggi.

Barangkali salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan petani kopi di Desa Sapit tentang kualitas kopi. Menurut cerita para petani, selama ini mereka hanya menjual basah pada tengkulak—tentu saja hal itu tidak menguntungkan bagi mereka. Alhasil, sampai sekarang mereka belum memiliki akses terhadap pasar kopi.

desa sapit

Biji kopi yang telah disangrai/Syukron

Tak terasa sudah beberapa jam kami duduk di berugaq. Anton, sang pemilik homestay tempat kami akan menginap, telah datang menjemput. Kami pamit lalu mengikuti Anton menelusuri gelap dan tirai hujan yang rintik-rintik.

Melihat Gunung Rinjani dari Blok Dupe

Keesokan paginya kami pergi ke Blok Dupe menumpang motor. Jalan yang harus kami lalui lumayan sulit, sebab hanya setapak kecil berbatu yang sebagian dicor secara swadaya oleh masyarakat.

desa sapit

“Green bean,” “roasted bean,” dan “ground coffee”/Syukron

Kami berkendara ke sana sambil menyaksikan warna pagi. Sesekali, kami berpapasan dengan petani yang berjalan membawa cangkul dan air. Kiri-kanan, persawahan menghampar ditopang pematang. Tak jarang pula kami melihat kerbau. Di kejauhan sana, Puncak Dewi Anjani melambai-lambai meminta dihampiri.

Lima ratus meter sebelum Blok Dupe (sekitar 700 mdpl), kami harus meninggalkan motor dan melanjutkan petualangan dengan jalan kaki. Gonggongan anjing penjaga kebun kopi sedikit mempercepat langkah kami agar segera tiba di titik paling menarik Blok Dupe.

desa sapit

Gunung Rinjani tampak dari Desa Sapit/Syukron

Akhirnya kami tiba di sana. Lokasi menarik yang saya maksud adalah hamparan tanah lapang di ketinggian, yang dari sana kamu dapat menyaksikan pemandangan apik Gunung Rinjani. Untuk memanjakan wisatawan, dengan bergotong-royong warga membangun rumah pohon setinggi sekitar delapan meter.

Tapi rasanya tak perlu saya memanjat rumah pohon itu. Dari sini saja pemandangannya sudah memukau. Tak menunggu lama, saya keluarkan kamera, kemudian tak henti-henti memencet rana.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

2 komentar

deli 18 April 2018 - 14:51

eaaaaaa… bikin puisi dong ded

Reply
Editorial telusuRI 19 April 2018 - 12:05

Ntar ganti nama jadi Dedi Anwar lagi. 🙂

Reply

Tinggalkan Komentar