Travelog

Desa Banyuurip

Persiapan perjalanan kami ke sana dibumbui prasangka-prasangka negatif tentang tempat itu. Berbagai hal juga tak henti-henti mencoba menghapus semangat yang dengan susah payah kami bangun.

Bagi saya sendiri yang sudah cukup lama tinggal di Semarang, pindah sementara ke tempat itu sedikit membuat hati resah. Ditambah lagi bayak cerita tidak enak soal daerah itu yang saya dengar dari orang-orang, dari mulai panas yang menyengat setiap hari, air yang susah, sampai keterpencilannya; hal-hal yang terus saya diskusikan bersama teman-teman setiap kali ada pertemuan.

Namun, semua itu tak mampu menghalangi keberangkatan saya dan teman-teman ke sana. Kami berangkat tanggal 3 Januari kemarin dan harus bertahan di sana selama sekitar 45 hari. Bukan untuk liburan, tapi untuk tinggal dan hidup bersama masyarakat, untuk mengabdi dan menerapkan/membagi ilmu yang kami peroleh di kampus: Kuliah Kerja Nyata. Mudah-mudahan segala yang kami berikan dapat berguna bagi masyarakat setempat.

Kebun singkong di Desa Banyuurip/Afifa Lestari

Tempat yang kami tuju adalah Desa Banyuurip, salah satu desa di Kecamatan Margorejo, Pati. Begitu mendengar nama desa itu, saya sebenarnya bertanya-tanya; masa iya ada sebuah desa bernama Banyuurip (desa yang selalu dilimpahkan air dan kesuburan) di Pati yang disebut-sebut selalu susah air?

Pertanyaan saya itu terjawab dalam perjalanan—yang biasanya memang “menampar” kesoktahuan tanpa dasar.

Dari Alun-alun Pati, perlu sekitar 20 menit naik kendaraan menuju Desa Banyuurip. Jalan sedikit menanjak sebab kami memang mesti melewati bukit. Lalu lintas tidak seramai di kota sehingga tentu saja kami tidak harus bertemu dengan kemacetan. Sepanjang perjalanan, mata saya melihat hamparan ladang tebu yang luas. Udara juga sejuk, sama sekali berbeda dari yang kami bayangkan.

Melewati gapura selamat datang Desa Banyuurip, kami disambut hamparan pertegalan jagung dan umbi-umbian yang jadi komoditas perekonomian wilayah itu. Mata saya menangkap sebuah keunikan di ladang Desa Banyuurip, yakni tanaman singkong biasanya dipadukan dengan jagung. Jadi, di desa ini singkong yang berdampingan dengan jagung adalah pemandangan wajar.

Beberapa hari di desa ini, kami larut dalam kekaguman, sebab, selain dikaruniai pemandangan indah, tempat ini begitu asri dan terjaga. Udara segar, yang mungkin susah dihirup di tempat lain, melimpah di desa ini.

Selain itu, meskipun bermukim di daerah rural, masyarakat Desa Banyuurip dan sekitarnya juga punya kemauan tinggi untuk menjaga lingkungan, seperti yang bisa dilihat di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang dimiliki secara bersama oleh Desa Banyuurip dan Desa Sukoharjo. Sampah bagi mereka bukan cuma untuk dibuang. Jika diolah, buangan itu bisa bermanfaat bagi semua orang.

Desa ini diisi oleh orang-orang kreatif. Banyak sekali perajin kayu rumahan di sini. Mereka membuat perabotan berkualitas istimewa seperti meja, kursi, lemari, dan lain sebagainya. Soal harga, silakan mampir sendiri dan bertanya pada para perajin itu.

Prasangka yang menggelayut sebelum saya dan kawan-kawan terjun ke Desa Banyuurip perlahan luntur. Kami betah berada di desa yang asri, jalan kaki menelusuri tegalan singkong dan jagung, mengagumi keelokan alam. Alih-alih “mengajar,” kami justru belajar bahwa sesuatu yang indah tak harus mewah; sederhana juga bisa jadi istimewa, seperti Desa Banyuurip.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Afifa Lestari

Asli Sukoharjo tapi sedang kuliah di Semarang. Menyukai kegiatan sosial yang berhubungan dengan lingkungan.

Asli Sukoharjo tapi sedang kuliah di Semarang. Menyukai kegiatan sosial yang berhubungan dengan lingkungan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *