Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana

Sebagai salah satu bentuk pariwisata, pariwisata kelam atau dark tourism menawarkan pengalaman yang berbeda dibanding wisata sejarah biasa. Ada tragedi, air mata, dan darah dari masa lalu untuk dipelajari, direnungkan, dan dipahami.

Dari tragedi sejarah yang saya pelajari di bangku sekolah, akhirnya saya menjejakkan diri ke Lubang Buaya, sebuah tempat di Jakarta Timur yang sarat dengan sejarah G30S/PKI. Bagaimana kawasan Lubang Buaya menjadi peristirahatan terakhir para pahlawan revolusi yang kematiannya memilukan. Di museumnya, saya melihat rentetan diorama peristiwa pada malam kejadian, ditambah dengan koleksi bekas pakaian para pahlawan revolusi yang masih menyisakan noda darah, bekas peluru, juga sobekan akibat penyiksaan. Di depan patung tujuh pahlawan revolusi yang menghadap langsung ke sumur tempat kejadian, saya termenung.

Apa yang saya kunjungi ketika berada di Lubang Buaya merupakan sebuah pengalaman menelusuri sejarah kelam bangsa kita. Ada aroma kengerian dan ketakutan ketika menyaksikan peristiwa tersebut dari tempat kejadian aslinya. Pengalaman yang saya lihat dan saya rasakan ini dalam istilah pariwisata modern disebut juga sebagai wisata kelam atau dark tourism.

Upacara Rambu Solo
Sejumlah warga mengarak jenazah dalam upacara adat pemakaman Rambu Solo di Sa’dan To’Barana, Rantepao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, 27 Juni 2017. Ritual Ma’pasonglo merupkan ritual arak-arakan jenazah dari Tongkonan (rumah adat Toraja) ke Lakkian (tempat persemayaman jenazah) yang masih dalam rangkain upacara adat pemakaman Rambu Solo(TEMPO/Frannoto)

Istilah dark tourism muncul untuk memberikan definisi berbeda pada kunjungan ke tempat-tempat yang memicu perasaan takut, sedih, tidak nyaman akibat dari suatu peristiwa yang menyeramkan (pembantaian, kematian masal, bencana alam, dan sebagainya). Dalam sebuah buku berjudul Thanatourism: Witnessing Difficult Pasts istilah dark tourism juga disebut thanatourism yang secara definisi kurang lebih menjelaskan perjalanan jangka panjang dengan berbagai motivasi untuk melihat kematian dan penderitaan. Istilah ini populer dalam dua dekade terakhir, dimulai dari Dark Tourism karya Lennon dan Foley, Dissonant Heritage oleh Tunbridge dan Ashworth, Horror and Human Tragedy Revisited, dan The Dark Side of Travel  karya Sharpley dan Stone. Dark tourism sendiri masih menurut Lennon dan Foley adalah buah dari masyarakat modern yang menginginkan semuanya bisa dijual dan dikonsumsi. 

Kita tidak bisa menaifkan diri bahwa dari pariwisata ada pundi-pundi uang yang dihasilkan sehingga negara mendorong jauh pemanfaatan suatu tempat untuk menjadi tempat wisata. Termasuk diantaranya adalah wisata kelam, yang mana wisata kelam dikategorikan oleh Lennon ke dalam 7 bentuk antara lain: dark fun factories, dark exhibitions, dark dungeons, dark shrines, dark conflict sites, dark resting places, dan dark camps of genocide.

Tidak bisa dipungkiri, setiap tempat pasti memiliki banyak kisah untuk diceritakan, termasuk perkara kejadian menyedihkan dan membuat bulu roma berdiri. Sejarah tidak mengenal apakah itu peristiwa memilukan atau menyenangkan, sejarah akan tetap mencatat setiap peristiwa untuk kemudian diwartakan pada masa mendatang. Bagaimana bisa kita menghilangkan peristiwa sejarah yang kelam di suatu tempat, padahal nilai pembelajarannya ada di situ? 

Selalu ada yang tertarik dari segmen kelam dari sebuah tempat. Dalam Dark Tourism: Practice and Interpretation menuliskan, bahwa ketika dark tourism ditambahkan sebagai salah satu bentuk pariwisata, ada perkembangan yang secara potensi dapat membawa turis jenis baru–yang memiliki perhatian besar pada kelemahan dan kegagalan umat manusia.

Berdasarkan penelitian yang berjudul Dark tourism in South East Asia: Are Young Asian Travelers up for It? Mereka  melakukan penelitian kepada para wisatawan asal Asia Tenggara tentang apa yang menarik minat mereka untuk mengunjungi spot wisata kelam. Perhatian besar tercipta karena beberapa faktor: ketertarikan akan sejarah, ingin merasakan atmosfer yang membuat bulu kuduk merinding, ada ketertarikan terhadap budaya, nilai pendidikan, sebagai pengingat akan kejadian lampau, sebagai arena uji nyali, ingin melihat situs secara langsung, melihat atau mendengar peristiwa kematian yang telah lalu.

Namun, apakah dark tourism cukup etis untuk dipertontonkan dan dijadikan komoditi wisata?

Keetisan Dark Tourism sebagai Sarana Wisata

Ada banyak pro dan kontra yang menyelimuti dark tourism sebagai ajang pariwisata. Di satu sisi dark tourism mendatangkan keuntungan dari penyelenggaraanya seperti ekonomi, pendidikan, budaya, dan sejarah. Di sisi lainnya, dark tourism mengindahkan tragedi yang terjadi dan mempertontonkan kengerian dan sisi kelam suatu tempat, yang tentu berkaitan pada perasaan seseorang yang memiliki keterikatan akan tempat tersebut.

Pendapat dari Lennon dan Hooper bahwa dark tourism perlu diidentifikasi lebih jauh oleh akademisi dan pelaku industri soal menanggapi masalah etika yang muncul dalam manajemen dan pemasaran, perlu diskusi lebih lanjut bagaimana dark tourism dapat dimanfaatkan secara ekonomi dengan tidak terlalu mengeksploitasi trauma pada situs tersebut. 

Sharpley dan Stone dalam The Darker Side of Travel, dark tourism memberikan banyak pertanyaan mengenai definisi, namun menurut mereka, ada semakin banyak bukti kenaikan supply dan demand dan akhirnya mendeskripsikan studi mengenai wisata kelam ini sebagai ‘penting dan dapat dibenarkan’. Namun, Stone juga mengingatkan perlu pertimbangan lebih lanjut dan kehati-hatian dalam pemanfaatan situs dark tourism, karena hal ini tidak hanya melibatkan orang-orang yang masih hidup, tetapi juga untuk orang-orang yang telah tiada.

Kuburan Tebing Batu
Wisatawan asing mengambil gambar Tau-tau, patung boneka dari orang yang dikuburkan di tebing batu di kompleks kuburan tebing batu bangsawan suku Toraja di Suaya, Kecamatan Sanggala, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Selasa, 27 September 2016. Di kompleks kuburan tebing batu ini, Puang Sangalla yang merupakan raja pertama Tana Toraja dimakamkan.(TEMPO/Sakti Karuru)

Sedangkan Lovelock pada The Moralization of Flying: Cocktails in Seat 33G, Famine and Pestilence menyatakan bahwa dalam pariwisata ada agensi moral yang dikaburkan oleh konteks neoliberal yang menyajikan struktur di mana perilaku tak bermoral diharapkan muncul dan dihargai. Yang mana, berdasarkan pernyataan ini, Korstanje & George dalam Virtual Traumascapes and Exploring The Roots of Dark Tourism, sepakat bahwa dark tourism adalah hasil korespondensi antara dispositif neoliberal dalam sektor pariwisata.

Pemanfaatan situs wisata kelam tidak dapat dicegah karena pertumbuhan masyarakat modern yang semakin haus akan relaksasi dan pembelajaran. Standar moral bisa jadi berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Yang perlu diperhatikan dalam pro dan kontra mengenai adanya wisata kelam ini adalah kembali lagi pada niat kunjungan. Apabila ada penyelenggaraan wisata model ini, tentu sebelumnya ada kesepakatan oleh berbagai pihak. Terkait norma ketika berkunjung, gunakanlah sesuai standar yang berlaku universal (tidak merusak, tidak berbuat yang dilarang, patuhi semua aturan yang berlaku).

Dark Tourism di Indonesia

Dalam konteks besarnya, menemukan spot wisata kelam di Indonesia tidaklah susah. Penggolongan wisata kelam memang tidak umum dikenal, tapi barangkali sebagian besar dari kita sudah pernah mengunjunginya. Ide wisata kelam di Indonesia tidak sepenuhnya berangkat dari penyajian tempat-tempat menyeramkan sebagai atraksi utama, melainkan lebih menonjolkan sisi sejarah dan budaya yang ada di berbagai belahan Indonesia.

Coba kita tengok, beberapa atraksi wisata yang menampilkan kuburan/makam yang ada di Desa Trunyan, Batu Lemo, dan Passiliran. Kesemuanya menampilkan kuburan sebagai atraksi utama, namun yang lebih disorot adalah bagaimana Bali dan Tana Toraja mempunyai penghormatan yang unik pada orang yang telah meninggal. 

Atraksi wisata yang masuk dalam wisata kelam dengan konteks sejarah diantaranya ada Museum Lubang Buaya, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Makam Juang Mandor, dan masih banyak lagi. Meskipun nuansa pembantaian dan juga kesedihan terasa ketika mengunjungi tempat-tempat di atas, tapi tempat-tempat tersebut lebih memiliki nilai jual sejarah yang tinggi dibanding nilai seramnya yang hanya menjadi pemanis saja.

Ada lagi tempat wisata yang dibangun sebagai peringatan untuk mengenang kejadian bencana  yang terjadi di negara kita. Semisal Museum Tsunami Aceh sebagai bentuk memoar bencana tsunami Aceh yang sempat menghebohkan dunia pada 2004, Bunker Kaliadem yang dibuat pada awalnya sebagai tempat untuk menyelamatkan diri, Monumen Bom Bali untuk mengenang korban-korban yang berjatuhan dari peristiwa Bom Bali, dan lain sebagainya. Selain sebagai pengingat, spot-spot tersebut dibangun untuk menandai peristiwa getir yang kedepannya harus ada antisipasi supaya tidak terulang.

Di beberapa tempat wisata populer seperti Lawang Sewu dan Kota Tua Jakarta juga menyimpan sejarah kelam dengan cerita penjara dan tempat eksekusi para tahanan masa kolonial, tetapi seringkali wisata kelamnya tidak banyak terekspos dibanding dengan arsitektur kolonialnya.

Bagaimana Seharusnya Pemanfaatan Situs Kelam

Hal yang paling sakral dalam mengidentifikasi suatu situs adalah harus melihat keletakkan situs tersebut pada lingkup tempat berdirinya. Semisal, apakah dia masih memiliki arti atau terbengkalai bagi masyarakat sekitar. Wajib hukumnya bagi pemangku kebijakan untuk memperhatikan dampak jangka panjang pariwisata pada masyarakat setempat. Apakah dengan adanya pariwisata khususnya yang merujuk pada wisata kelam akan memperburuk stigma tempat tersebut dengan anggapan ‘angker’, ‘mistis’, ‘horor’ sehingga nanti akan memunculkan narasi baru yang mungkin berimbas buruk pada tempat tersebut (dihancurkan/dirusak).

Ritual adat Ma'nene
Keluarga menyaksikan jenazah leluhur yang telah selesai dibersihkan dalam ritual adat Ma’nene di Kecamatan Panggala, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, 26 Agustus 2017. Ritual Ma’nene merupakan tradisi mengganti pakaian jenazah para leluhur sebagai rasa cinta dari keluarga yang masih hidup. (TEMPO/Sakti Karuru)

Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah branding narasi yang digunakan untuk tidak lebih menonjolkan sisi mistis/horor dibandingkan konteks tempat tersebut (semisal budaya, sejarah, ritus agama, dan sebagainya) karena branding tempat tersebut akan mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap tempat wisata yang sebenarnya mengandung lebih banyak pembelajaran dibanding mitos. Semisal Gua Jepang di Bandung lebih terkenal dengan mitos “lada” daripada sebagai tempat barak tentara dan kerja romusha. Pendapat ini juga diutarakan oleh Muhammad Saddam dalam artikel sebelumnya sebagai bentuk kegelisahannya akan penurunan nilai suatu situs karena terdegradasi nilai horor.

Selebihnya, hal-hal lainnya yang perlu diperhatikan selayaknya sebuah tempat wisata adalah bagaimana memberdayakan masyarakat sekitar agar tidak menjadi penonton di rumah sendiri, pembangunan yang memperhatikan lingkungan agar tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan, dan tidak mengubah bentuk asli suatu benda cagar budaya agar tidak menghilangkan keotentikan dari benda tersebut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar