Langit dari Bandara Pattimura Ambon hingga Domine Eduard Osok Sorong begitu cerah hari itu. Keluar dari Bandara Sorong, bergegas kucari ojek di sekitar pintu kedatangan agar bisa mengejar kapal ferry di Pelabuhan Kota Sorong.

Dari sana, aku meluncur di atas lautan selama dua jam menuju Pelabuhan Waisai, gerbang masuk Raja Ampat. Tapi perjalananku tidak berakhir di situ—aku terus ke Arborek.

arborek

Bandara Domine Eduard Osok Sorong/Tri Widya Asrie

Sebagian besar penumpang yang hendak ke Arborek tak perlu memutar otak lagi mencari moda transportasi. Sebab, mereka telah ditunggu oleh para pemandu dan perahu-perahu cepatnya masing-masing di dermaga. Sementara aku masih harus mencari.

Aku mencari dan bertanya sana-sini lumayan lama. Akhirnya, sekitar jam setengah enam, aku menemukan pertolongan. Seorang bapak yang dinas di Koramil Sektor Raja Ampat mencarikanku sebuah boat yang akan membawa bahan makanan dan para penumpang asing ke Arborek.

arborek

“Golden sunset”/Tri Widya Asrie

Dua jam waktu yang dihabiskan untuk ke desa itu. Untuk membunuh waktu aku mengajak para penumpang lain untuk ngobrol. Selidik punya selidik, mereka harus mengeluarkan biaya Rp 1 juta/orang untuk sekali penjemputan ke Arborek. I am very lucky then; I don’t have to pay anything!

Plus aku dapat bonus golden sunset di atas laut lepas. Luar biasa sekali. Perjalanan dua jam itu pun masih terasa seperti mimpi.

arborek

Anak-anak berfoto di depan SD Inpres/Tri Widya Asrie

“City tour” Arborek dipandu anak-anak

Keesokan paginya, aku terbangun sambil tersenyum saat menyadari di mana aku berada. Atap kamarku terbuat dari daun. Tiang penyangganya dari kayu yang hanya diikat tali, tanpa paku.

Diajak ke pantai saat “city tour”/Tri Widya Asrie

Aku beranjak ke luar dan duduk di bawah pohon introm. Lalu, anak-anak Arborek mulai cari perhatian dan senyum-senyum padaku.

arborek

Kerang, “Bia,” dan ikan/Tri Widya Asrie

Kuajak mereka bercerita, bercanda, dan berbagi biskuit yang kubeli beberapa hari yang lalu. Kemudian mereka memanggil lebih banyak teman untuk duduk di depan kamarku. Tak berapa lama, sebelas orang anak setempat mengajakku “city tour.”

Bak pemandu profesional, mereka dengan semangat dan percaya diri menunjukkan kepadaku objek-objek penting di pulau itu, dari mulai sekolah, gereja, rumah-rumah mereka masing-masing, kemudian mengajakku memancing dan jalan ke jetty Arborek yang terkenal itu. Keceriaan mereka, ditambah langit biru, air jernih, udara yang hangat, membuat pagi itu terasa sungguh luar biasa!

Kegiatan sehari-hari anak-anak Arborek selain sekolah adalah menghabiskan waktu di pantai yang sedang surut untuk memancing. Tak ada alat-alat canggih ala Mancing Mania. Mereka memancing secara sederhana, hanya dengan tali nilon yang digulung pada botol, dan pisang atau nasi sebagai umpan. Jika tak membawa pancingan, mereka mencari kerang dan bia (siput laut) untuk dimakan.

arborek

Foto bareng anak-anak setempat/Tri Widya Asri

Melihat anak-anak kecil bermain dan bercengkerama dengan teman-temannya, rasa-rasanya aku enggan mengizinkan matahari mengakhiri hari indah di Arborek yang seperti mimpi itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

5 komentar

deli 9 April 2018 - 10:45

kenapa bisa dibantu sama bapak koramil raja ampaat? ku mauuuu T.T

Reply
Editorial telusuRI 9 April 2018 - 16:48

Beruntung banget ya, Kak… 🙂

Reply
Ahmad Suharyadi 11 April 2018 - 15:48

salam kenal untuk arborek,tempat yg indah

Reply
Editorial telusuRI 11 April 2018 - 17:22

Indah banget, Kak. Bumi dan manusianya. 🙂

Reply
Buku yang Mencari Pembaca - TelusuRI 22 Juni 2020 - 09:28

[…] pembacanya. Novel Yann Martel itu ada di antara puluhan buku dan alat tulis yang dikirim oleh Tri Widya Asrie, sahabat dari Bali yang biasa kami panggil Neng. Dia memang giat mengumpulkan donasi buku melalui […]

Reply

Tinggalkan Komentar