Musim penghujan memulai giliran jaganya. Sebagian menyambutnya dengan bersukaria menikmati air yang tumpah dari langit, ada pula yang bersedih karena musim basah diawali banjir, sebagian lagi menerima kedatangannya dengan bernostalgia. Saya masuk golongan yang terakhir disebut.

Mungkin kopi yang saya seruput ini yang bikin gara-gara. Ia menstimulasi memori lawas tentang saya dan dia, sosok yang sampai saat ini masih mau bersanding dengan saya meskipun diri ini penuh kekurangan. Tulisan ini spesial saya persembahkan untuknya. Saya akan bercerita apa yang saya rasakan setelah satu tahun putus kontak dengannya kemudian dipertemukan kembali di kaki atap Jawa Barat: Ciremai.

Ciremai menjadi lokasi reuni kami berdua setelah putus dengan tidak baik-baik. Saya sendiri tak tahu apa yang bikin saya mau-mau saja mendaki bersama seseorang yang dahulu sudah saya sakiti hatinya. Percayalah, beban perasaan tak melulu hanya mengimpit mereka yang tersakiti. Orang-orang yang menyakiti pun merasakan juga, dalam bentuk penyesalan yang datang terlambat, bersama harapan untuk bisa mengulang kembali semuanya meskipun angan itu tak berbalas. Perasaan saya campur aduk di kaki Ciremai.

Jalur Apuy kami pilih untuk mendaki Ciremai. Kelompok kami terdiri dari lima laki-laki dan seorang perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah mantan saya. Beliau primadona dalam tim, layaknya ratu yang dijaga oleh para pengawalnya. Namun, yang patut digarisbawahi, dalam pendakian itu dia tetap memilih saya sebagai pengawal pribadinya. Sejak awal mengenal hobi mendaki, kami memang selalu bersama. Hati boleh berkecamuk, namun bahasa tubuh rasanya memang tak bisa berbohong.

Berfoto bersama di gerbang pendakian Gunung Ciremai/Istimewa

Pendakian kami mulai jam 8 pagi seusai menyantap nasi uduk yang jadi bonus Simaksi. Semua tentunya masih dalam keadaan bersemangat, entah bersemangat untuk mendaki atau semangat untuk merundung kami berdua. Kawan-kawan kami itu mungkin heran. Setahun tak saling memberi kabar, bisa-bisanya kami mendaki bersama. Saya tak peduli ocehan mereka; sudah terbiasa. Ketimbang mendengarkan mereka, lebih baik saya memandang wanita yang sudah lama tak saya temui itu. Sekelebat, saya merasakan harapan untuk balikan. Namun buru-buru saya redam. Saya sadar bahwa luka yang saya tinggalkan terlalu dalam.

Tak terasa sudah satu setengah jam kami berjalan dan tiba di Pos 1 Arban. Seperti di gunung-gunung Jawa Barat pada umumnya, vegetasi di trek yang kami lewati masih rapat oleh pepohonan. Saya mengambil jarak agak jauh karena ingin merokok. Beliau tidak suka asap rokok.

Sembari menyesap Gudang Garam, pikiran saya melayang mencari cara membangun komunikasi intensi dengan dia. Dalam pendakian ini saya menjadi sweeper. Dia hanya berjarak dua langkah di depan saya sepanjang pendakian. Beban di lutut pun berlipat menjadi dua: beban bawaan dan beban masa lalu. Beban masa lalu mungkin lebih dominan.

Pada kenyataannya, komunikasi intens itu urung terbangun. Sepanjang perjalanan, setiap kali istirahat, saya hanya sibuk menyesap Gudang Garam, sementara ia sibuk mengatur napas. Dua kesibukan yang bertolak belakang memang. Mustahil untuk bercakap-cakap panjang.

Canda tawa membuat perjalanan sampai Pos 5 Sanghyang Rangkah menjadi tak terasa. Tiga pos sebelumnya—Pos 2 Tegal Pasang, Pos 3 Tegal Masawa, dan Pos 4 Tegal Jamuju—lewat begitu saja. Vegetasi di Pos 5 masih hutan yang rapat. Kalau dimirip-miripkan, Sanghyang Rangkah barangkali serupa Alun-alun Suryakencana dalam versi yang lebih panjang.

Kami mendirikan tenda di sana tepat jam 4 sore. Dua tenda kapasitas empat-orang dalam sekejap berdiri kokoh. Dalam hati, saya membatin agar tidak setenda dengan dia. Tapi, perundungan kawan-kawan rupanya tak cuma dalam bentuk ocehan. Lebih sadis lagi, mereka mengerjai agar kami berdua setenda. Terus terang, dalam hati saya senang. Tapi saya tak tahu apa yang ada dalam hatinya. Bagi saya itu anugerah, baginya mungkin musibah. Dan saya tak bisa membayangkan berada dalam posisinya: melewatkan malam dengan lelaki yang dulu pernah menyakitinya.

Acara masak-masak selesai dengan cepat. Jam 8 malam kami semua sudah masuk ke dalam sleeping bag masing-masing. Kelelahan membantu kami memejamkan mata lebih cepat—terlebih kami harus muncak jam 2 dini hari. Saya dan dia masih tak banyak bicara. Saya cuma bisa bernostalgia masa-masa kala kami sedang mesra-mesranya—bersama-sama menusuk pasak di ujung tenda, menyeduh kopi sambil mendengar dia bercerita. Dalam hubungan itu, saya cenderung menjadi pendengar. Namun, sekalinya cerita tentang saya sampai ke dia, hubungan kami kandas.

Alarm berbunyi jam 1 dini hari. Sebagai tukang sapu merangkap tukang masak, saya bergegas menyetel kompor, menyiapkan sarapan sebagai sumber energi sebelum ke puncak, juga bekal untuk disantap di puncak nanti. Pada satu momen, saya terdiam menatap dirinya yang masih terlelap dengan wajah tanpa pulasan riasan. Saat itu terpikirkan oleh saya kenapa kami berdua menutup hati bagi orang lain; kami telah sama-sama tahu baik dan buruk masing-masing. Rasanya sudah terlalu lelah untuk menjalin hubungan dengan orang baru. Waktu tiga tahun sebelum kandas bukan waktu yang sebentar.

Saya tepis pikiran itu dengan membangunkan kawan-kawan. Sembari menunggu mereka mengumpulkan nyawa dan mengisi perut, saya keluar tenda untuk menyesap Gudang Garam sembari melihat bimasakti yang terpampang jelas di atas kepala, yang membangkitkan momori kala saya dan dia menatap bintang-bintang yang sama kala bertandang ke Pondok Salada.

Ketika bersiap-siap memulai perjalanan ke puncak Gunung Ciremai/Muhammad Husen S.

Tepat jam 2 dini hari, teman-teman telah siap untuk muncak. Kami berkumpul mengatur rencana lalu berdoa. Tak apa-apa naik gunung tanpa doi, asal jangan tanpa doa.

Ciremai saat itu sangat dingin, mungkin setara kulkas sayur di dunia dapur. Sembilan derajat Celsius. Meski gelap dan dingin, kami tak patah arang untuk muncak. Posisi masih sama. Saya di belakang menjadi tukang sapu, dia tak jauh di depan saya. Baru setengah jam berjalan, dia sudah menggigil kedinginan, terutama di bagian telapak tangan. Dengan sigap saya memberi sarung tangan yang saya pakai. Anak-anak sekarang mungkin akan menuduh saya bucin. Tapi saya cuma tak tega melihat dia kedinginan. Lagipula, jika persoalannya tak ditangani dengan baik, perjalanan tim akan terhambat, bukan?

Berjalan dalam gelap dan napas yang terengah-engah membuat kami semua jarang bicara. Sampai Goa Walet, kami berjalan dalam hening. Rupanya tempo kami terlalu cepat sampai-sampai salah seorang di antara kami sesak napas. Sedari awal saya sudah menduga bahwa tidak semua dari kami akan bisa mencapai puncak Gunung Ciremai, sebab gunung ini bukanlah gunung yang ramah bagi pemula. Teman saya yang sesak napas itu kami telentangkan dengan posisi kaki lebih tinggi ketimbang kepala. Saya beri Oxycan kepadanya lalu kami menunggu sampai napasnya kembali teratur.

Sembari menunggu teman itu mengatur napasnya, kami berunding soal bagaimana melanjutkan pendakian itu. Akhirnya kami memecah tim menjadi dua yang masing-masing terdiri dari tiga orang. Logistik kami bagi dua pula. Saya dan dia dan teman yang kesusahan mengatur napas itu satu tim.

Teman kami itu ternyata masih bersemangat untuk melanjutkan pendakian. Kami pun kembali berjalan. Tentu saja dengan lebih santai. Tapi, sekejap saja tim depan sudah tak tampak lagi di mata.

Sekitar setengah jam sebelum puncak, wanita yang saya jaga itu mulai pucat. Setelah meminta istirahat, ia langsung muntah. Sebagaimana laki-laki pada umumnya, tentu saya sigap menangani hal itu. Guratan oranye di langit saya jadikan penyemangat baginya untuk meneruskan pendakian. Sedikit lagi sampai. Dalam hati saya menaruh respek kepadanya. Dia memang bukan pendaki yang berjalan cepat, tapi dia tak putus-putus menyambung semangat. Selama mendaki bersamanya, tak pernah saya dengar dia mengeluh meskipun saya tahu beban di kerilnya tidaklah enteng. Jika lelah ia biasanya cuma tersenyum sambil menyesap Madurasa.

Akhirnya, dengan lutut yang mulai goyang diuji trek berbatu sebelum puncak, sampailah kami di atap Jawa Barat, tepat jam 7 pagi. Di sana kami berdua mulai berkomunikasi secara intens. Rasa yang muncul karena tiba di puncak menutupi rasa sedih akibat hubungan yang kandas. Kami sama-sama duduk terdiam memandang lautan awan di depan sana. Itu mungkin adalah lautan awan pertama yang dia lihat. Binar di matanya bercerita dengan jelas rasa tak percaya bahwa dia sudah menjejakkan kaki di atap Jawa Barat. Dan mungkin dia lebih tak percaya lagi dengan kenyataan bahwa dia mencapai puncak bersama orang yang pernah menggoreskan luka di hatinya.

Di puncak Gunung Ciremai/Istimewa

Cerita selanjutnya tentu saja adalah tentang berswafoto. Bagian itu mengalir apa adanya. Kami sama-sama tak malu untuk berfoto berdua. Pikir saya, rasakan saja dahulu momen itu. Perasaan setelah turun gunung urusan belakangan. Kami mengobrol lepas saling tukar canda tawa, sembari menyantap bekal roti yang sudah tak jelas bentuknya, mengingat kisah-kisah pendakian lama, seakan-akan lupa bahwa cerita-cerita itu kami buat saat masih sama-sama belum menanggung luka.

Seturun dari puncak, komunikasi saya dengan dia mulai membaik. Saya masih tak habis pikir apakah kami berdua memang harus dibawa dulu ke atap Jawa Barat hanya untuk saling membuka diri kembali?

Setahun selama putus kontak, dia menyibukkan diri dengan kegiatan di kampus, sementara saya menyelesaikan gunung-gunung di Jawa Barat sembari membawa memori luka. Mungkin, selama setahun itu, saya dan dia tanpa sadar sama-sama mencari pengganti yang sepadan. Namun perasaan tidak bisa berbohong. Ke mana pun tenda saya bawa, pada akhirnya ia akan kembali ke tempat berkemah yang sama. Bagi saya, dia laksana Suryakencana. Tak perlu pemandangan megah, hanya tanah lapang dengan kabut tenang, tapi membuat saya nyaman.

Jikalau kamu membaca ini, terima kasih telah memberi kesempatan kedua. Hingga saat ini.

Tinggalkan Komentar