Travelog

Kali Ini Aku Bercerita tentang Ikan Asin

Aku bergegas menghampiri Mega. Dari ujung telepon dia mengatakan telah sampai di depan Stasiun Priok. Hampir satu jam aku menunggu—dua kali ke WC, salat Zuhur, main Mobile Legends, sampai makan mi ayam di depan stasiun.

Hari itu aku janjian untuk ke Cilincing bersama Mega yang baru datang dari Belgia. Ia berniat membantu perpustakaan Kelas Jurnalis Cilik.

Sesampai di Lapangan Bhedenx, Kampung Kerang Ijo, kami menemui Bang Ilyas. Di lapangan yang tampak baru dibangun itulah Kelas Jurnalis Cilik diselenggarakan. Anak-anak usia SD mulai berdatangan, begitu pun kakak-kakak pengajar mereka dari Universitas Terbuka.

Berhubung kelas belum dimulai, kami mencari musala untuk menunaikan salat Asar. Setelah salat kami menuju pinggiran Pantai Kalibaru dengan tanggul setinggi tiga meternya itu. Suasana pesisir Jakarta sore itu tampak ramai. Hangat sinar matahari dengan tiupan angin laut yang lumayan kencang menemani anak-anak bermain layangan dan odong-odong—wahana hiburan modifikasi berupa sepeda motor yang menarik beberapa gerbong—hilir mudik. Sementara di tanggul anak-anak bermain melompat ke laut dan bapak-bapak khusyuk memancing. Di sebelah sana ada ibu-ibu yang sedang mengupas kerang hijau. Tapi, yang menarik perhatianku adalah tempat pembuatan ikan asin.


Ikan asin di sini dibuat dengan cara meletakkan ikan di dalam anyaman bambu berbentuk mangkuk, merendamnya di air mendidih, menaburinya dengan garam kasar, kemudian merebusnya selama beberapa menit di dalam wadah besar berbahan bakar kayu. Setelah ditiriskan, ikan-ikan tersebut dijejer rapi di anyaman bambu panjang yang berada tak jauh dari tempat merebus lalu dijemur.

Baru kali itu aku melihat proses pembuatan ikan asin dengan cara direbus.

Menurut Murdijati-Gardjito dalam Gastronomi Indonesia Jilid 1, ikan asin termasuk lima serangkai sahabat rakyat—lalap, sambal, kecap, kerupuk, dan ikan asin. Masih dalam buku yang sama, Murdijati-Gardjito menulis bahwa pembuatan ikan asin dengan penggaraman dapat dilakukan dengan metode kering (dry salting), basah (wet salting), atau campuran (kench salting).

Metode kering adalah menumpuk secara selang-seling ikan dan garam di wadah kering. Ketika kristalnya bersinggungan dengan kulit atau daging ikan yang berair, garam membentuk larutan pekat kemudian terjadilah proses osmosis yang mengakibatkan air di ikan terserap oleh garam. Pada metode basah, garam dilarutkan dengan air. Tumpukan ikan diberi pemberat agar semua ikan terendam dan proses osmosis serta penggaraman ikan dapat terjadi dengan sempurna. Metode kench hampir sama dengan metode kering. Ikan dicampur dengan kristal garam tapi diletakkan di ruang terbuka (geladak kapal). Tapi, metode kench membutuhkan banyak garam dan tidak cocok dengan cuaca Indonesia, sebab prosesnya lambat sehingga pembusukan rentan terjadi.

Saking asyiknya melihat proses pembuatan ikan asin, kami sampai lupa dengan Kelas Jurnalis Cilik. Ketika kami kembali ke lapangan, kelas telah usai. Akhirnya kami langsung ke rumah Bang Ilyas. Mega ingin melihat dan mengukur ruangan yang akan dijadikan perpustakaan.


Keesokan harinya aku kembali ke Cilincing. Semalam kulihat di Google Maps ada bentukan seperti deretan anyaman bambu tempat menjemur ikan asin dan pasar ikan asin di sisi lain Kalibaru.

Tak sampai sepuluh menit pengemudi ojol memacu sepeda motornya mengantarku dari Stasiun Priok ke Pasar Ikan Asin Kalibaru.

Pada awalnya perdagangan ikan asin di pasar yang telah ada dari tahun 1966 di Jalan Kali Baru Barat IIA dan Jalan Kali Baru Barat 14 ini didominasi oleh pelaut-pelaut Bugis yang kapalnya bersandar di pesisir Kalibaru. Mereka mengambil ikan asin dari daerah Sumatra. Lama-kelamaan makin banyak yang tahu tentang pasar ini. Sekarang, pasar ini menjadi salah satu sentra penjualan ikan asin terbesar di Jakarta.

Walau masih dalam masa pandemi dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) Transisi, pasar ini masih tetap buka.

Hari itu kios-kios masih menggelar kardus-kardus berisi bermacam ikan asin—dari ikan teri nasi sampai bongkahan besar ikan asin jambal roti—hingga ke tengah jalan. Beberapa truk menurunkan peti-peti besar berisi ikan asin. Gerobak pembawa ikan asin hilir mudik. Seorang ibu berlogat Jawa mencoba menawar harga, sang penjual ikan asin melayani dengan logat khas Bugis-Makassar.

Pasar itu terlihat bersih. Tidak ada sampah yang terserak ataupun genangan air. Bahkan gerombolan lalat yang jadi pemandangan lazim di pasar-pasar tidak terlihat di situ. Aku pernah membaca di sebuah artikel bahwa ikan asin yang menggunakan formalin tidak akan dihinggapi lalat. Tapi entahlah. Aku yakin dinas terkait selalu mengadakan pemeriksaan rutin dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya dalam produk-produk makanan.

Dari pasar aku kembali berjalan, menyusuri Jalan Pelabuhan Kali Baru yang memutari teluk kecil yang bagiku terlihat seperti sungai buntu. Di sisi kanan jalan banyak bangunan berbentuk gudang beratap tinggi tempat menjual kayu dengan bermacam jenis dan kegunaannya. Sementara di sisi kiri bersandar perahu-perahu kayu penangkap ikan.

Kurang lebih satu kilometer berjalan, aku menemukan plang besar di gang kecil bertuliskan “Sentral Pengolahan Ikan Asin Gg. Mushola at-Taubah RT-012 RW-04 Kalibaru.”

Tidak seberapa jauh dari mulut gang mulai terlihat hamparan anyaman panjang bambu dan ikan asin yang dijemur. Mirip seperti yang kulihat di Google Maps. Tampak juga beberapa rumah semi permanen dari kayu.

Uniknya, lokasi ini sebagian berada di atas permukaan tanah. Tempat menjemur ikan asin, rumah, dan jalan disangga konstruksi kayu dan bambu. Di beberapa tempat level ketinggiannya berbeda. Bambu dan kayu yang dipakai untuk jalan pun pemasangannya ada yang rapat ada yang renggang. Harus hati-hati melangkah agar tidak terperosok dan jatuh ke tanah yang penuh oleh sampah yang didominasi plastik pembungkus.

Keadaan di tempat itu sangat jauh dari standar kesehatan tempat memproduksi makanan. Ditambah lagi ada sungai kecil dengan air berwarna hijau yang semakin menambah kesan kumuh.

Tapi, setelah aku melihat semua ini, apakah aku akan serta-merta mendustakan kenikmatan sambel teri kacang Warteg Jaksa langgananku?

Tentu tidak!


Kelezatan ikan asin pun tampaknya sudah dinikmati oleh masyarakat Jawa kuno.

Dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, Fadly Rahman menuliskan isi baris teks Prasasti Taji (823 Saka/901 Masehi): “Jumlah yang dihidangkan 57 karung beras, 6 ekor kerbau, 100 ekor ayam, dan aneka masakan yang diasinkan, dendeng asin, ikan kadiwas, ikan gurame, belungkung, telur, rumahan, serta minuman tuak….” Prasasti Taji bercerita tentang prosesi upacara yang dilanjutkan makan bersama ratusan orang yang menjadi saksi berdirinya Candi Dewasabha.

Churmatin Nasoichah, peneliti dari Balai Arkeologi Medan, dalam “Pengawetan Makanan: Upaya Manusia dalam Mempertahankan Kualitas Makanan (Berdasarkan Data Prasasti Masa Jawa Kuno)” yang terbit di Jejak Pangan dalam Arkeologi, menuliskan beberapa prasasti yang juga berisi tentang ikan asin dan daging asin sebagai bahan makanan.

Prasasti Panggumulan I (902 M) menyebut tumpukan ikan yang diasinkan, seperti dendeng kakap, dendeng bawal, ikan asin kembung, ikan layar atau pari, udang, hala-hala, dan telur. Dan dalam prasasti-prasasti setelah tahun itu pun ada juga penyebutan ikan asin dan ikan kering—sebagai proses lanjutan dari mengasinkan ikan—a.l. Prasasti Watukura I (907 M), Prasasti Rukam (907 M),  Prasasti Sangguran (928 M), Prasasti Jeru-jeru (930 M), Prasasti Alasantan (939 M), dan Prasasti Paradah II (943 M). Dalam prasasti-prasasti itu dituliskan kata grih atau gěreh untuk penyebutan ikan asin. Kata itu pun masih digunakan dalam bahasa Jawa. Sedangkan ikan kering yang pembuatannya memadukan teknik pengasinan dan pengeringan disebut ḍeŋ atau ḍaiŋ, artinya dendeng atau ikan yang dikeringkan.

Di masa kolonial ikan asin menjadi salah satu lauk-pauk bagi orang Belanda. Awal abad ke-20, ketika Hindia-Belanda mulai menjadi tujuan wisata bagi orang-orang Eropa dan Amerika, ikan asin masuk dalam sajian rijsttafel yang dihidangkan hotel-hotel mewah di Hindia-Belanda pada saat itu. Rijsttafel mungkin bisa dibilang sebagai atraksi wisata kuliner pertama khas Hindia-Belanda yang memadukan gaya kuliner Eropa dengan pribumi.

Di masa depresi ekonomi yang melanda dunia tahun 30-an, orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia-Belanda memasukkan ikan asin dalam menu untuk mengurangi pengeluaran belanja mereka sebab bahan-bahan makanan asal Eropa melonjak tinggi harganya. Tapi, mereka lebih memilih ikan asin impor dari Singapura dan Bagansiapiapi yang tak mampu dibeli oleh kebanyakan warga pribumi—ini juga untuk menunjukkan bahwa derajat mereka lebih tinggi dari pribumi. Dan ikan itu adalah ikan asin patin atau jambal.

“Jambal asin dikenal sebagai roti jambal yang berarti ikan asin yang cocok dengan roti,” tulis JJ Rizal dalam “Balada Ikan Asin,” Majalah Historia nomor 35/III, terbitan 2017.


Rentang panjang kisah ikan asin itu sekarang terbentang di hamparan luas anyaman bambu tempat ikan-ikan asin dijemur di pesisir Kalibaru.

Pengalaman menyaksikan dan merasakan kegiatan harian para pekerja di tempat pembuatan ikan asin dan Pasar Ikan Asin Kalibaru menjadi pengalaman luar biasa dan sumber pengetahuan berharga bagiku.

Aku tidak ingin semua ini hanya menjadi pengalamanku sendiri. Setelah pandemi pasti aku akan mengajak beberapa teman tur jalan kaki menelusuri tempat-tempat yang telah kudatangi di pesisir Kalibaru. Siapa mau ikut?

Lahir bulan September di Jakarta dan suka baca.

Lahir bulan September di Jakarta dan suka baca.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *