Interval

Menyusuri Sulawesi lewat Buku “Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat”

Sulawesi, bagi saya sendiri masih menjadi misteri meski pulau ini hanya bersampingan dengan pulau saya. Entah kenapa menuju Sulawesi lebih sulit daripada menuju Jawa. Dahulu saya sering sekali mengasosiasikan bentuk Pulau Sulawesi dengan huruf K, imajinasi saya membayangkan pulau-pulau besar di Indonesia dalam berbagai bentuk. Mengobati rasa penasaran saya akan mengunjungi pulau ini, saya membaca sebuah buku yang menggambarkan perjalanan menjelajahi Sulawesi. Cerita yang Datang dari Pulau Berkaki Empat karya Ahmad Yunus merupakan sekelumit catatannya ketika mengunjungi Sulawesi dalam tiga kali kesempatan.

Prolog buku ini menceritakan bagaimana Ahmad Yunus berhasil menghidupkan imaji masa kecilnya mengenai Sulawesi yang dulu hanya bisa dia lihat melalui peta. Kunjungannya dalam beberapa ekspedisi seolah tidak menghilangkan rasa penasarannya akan pulau ini. Bulukumba, Buton, Banggai, Togean adalah nama-nama yang semakin akrab di telinganya selepas menjelajah Sulawesi. Penulis juga menceritakan mengenai Wallace yang sering dilihatnya di Museum Geologi Bandung sewaktu kecil. Wallace juga yang akhirnya menjadi salah satu pemicu dia untuk berani menjelajahi alam Indonesia.

Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat
Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat

Ahmad Yunus sempat menyambangi Palu pasca terjadi gempa besar di penghujung tahun 2018, dia menggambarkan kondisi Palu masih rapuh dengan pemberesan sisa-sisa puing gempa. Sulawesi yang masuk ke dalam ring of fire membuatnya rawan gempa sekaligus unik karena Sulawesi terbentuk oleh proses endogen.

Kisah dari Makassar membuka lembaran cerita di buku ini di Sulawesi Selatan. Penulis menyaksikan teater pertunjukkan I La Galigo. Pengalamannya bertemu seorang bissu yang merupakan pendeta laki yang berjiwa perempuan. Klasifikasinya merupakan gender tersendiri dalam masyarakat Bugis. Namun, sungguh tragis nasib para bissu yang dianggap menyalahi kodrat dan diburu hingga akhirnya mereka menjadi minoritas dalam masyarakatnya sendiri. Yunus juga menikmati berjalan-jalan di sekitar Benteng Rotterdam yang bersejarah dan melihat ruangan -salah satunya ruang pengasingan Pangeran Diponegoro- dan berbicara dengan Zaenal, seorang pelukis yang menggunakan tanah liat sebagai medianya. 

Dalam Genderang Semangat Daeng Serang menceritakan Daeng Serang, seorang seniman musik tabuh yang sudah berusia tua namun tetap enerjik. Daeng selalu bermimpi agar kesenian daerah bisa terus lestari dengan mengajarkannya kepada generasi muda. Daeng juga sudah berkeliling dunia untuk menampilkan keahliannya menabuh gendang. Secangkir Pagi di Pelabuhan Paotere menampilkan kisah Yunus menyambangi Pelabuhan Paotere, satu-satunya pelabuhan tradisional yang masih ada di Makassar. Aneka ragam kapal tradisional terlihat hilir mudik memasuki area pelabuhan. Yunus juga menceritakan bagaimana perdagangan hiu yang masih merajalela padahal hiu adalah salah satu hewan yang sudah dieksploitasi berlebihan.

Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat
Cerita yang Datang Dari Pulau Berkaki Empat

Pada bab selanjutnya Yunus mulai berpindah ke provinsi lainnya, Sumatra Tenggara. Selama di sini Yunus mengunjungi Pulau Muna dalam cerita Pulau Muna: Layangan Rasa Ubi Hutan. Bersama Lahada, sang pengrajin layangan tradisional, Yunus diajak untuk membuat layang-layang dari bahan alami. Tradisi bermain layangan di Pulau Muna disebut Kaghati dan menurut Wolfgong Bick, merupakan permainan layang-layang tertua di dunia. Lanjut ke Pulau Buton, melihat bahasa Ciacia yang berakasra Hangul membuat Yunus takjub padahal keduanya terpisah sangat jauh.

Sulawesi Tengah, Yunus kembali dibuat takjub oleh Danau Poso, Madagaskar di Jantung Sulawesi. Berlanjut ke Gorontalo ada Danau Limboto yang semakin kering, menyusuri Taman Nasional Takabonerate, wisata bahari di Wakatobi, hingga ke Pulau Miangas. Perjalanan-perjalanan tersebut Yunus tuangkan ke dalam kisah demi kisah yang merajut keutuhan cerita Sulawesi.

Cerita-cerita pendek dalam buku ini merangkai satu kesatuan sebagai cerita “Sulawesi”. Kadang saya masih merasa tidak mengikuti perjalanannya secara utuh, terasa hanya sekedar siluet dari perjalanan panjang Ahmad Yunus. Saya sendiri merasa kurang puas dengan cerita yang ditampilkan, rasanya masih terasa di permukaan, mungkin ini karena keterbatasan halaman yang menjadikannya harus lebih singkat.  Mungkin ini juga yang membuat buku ini ada keterangan sketsa pengembaraan di Sulawesi.  Sebagai sketsa, setidaknya dari buku ini kita bisa melihat bagaimana Yunus begitu menikmati pengembaraannya ke berbagai penjuru Sulawesi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Afghanistan dalam Dekapan Agustinus Wibowo