Sepulang dari menyambut matahari terbit di Sentono Gentong, Pringkuku, saya mengajak ibu dan istri mampir sebentar ke Tamperan. Sebuah pelabuhan perikanan di pinggiran kota Pacitan. Saya ingin menapaktilasi kunjungan pertama enam tahun lalu, serta menyaksikan geliat nelayan di sana.
Dari tempat parkir mobil, kami berjalan ke tepi dermaga. Pandangan saya langsung tertuju pada seseorang yang sedang duduk di atas bolder, besi pancang penambat tali tambang kapal. Pria bertopi itu seperti termangu sendirian, memandang ke arah gudang penimbangan dan bongkar muat ikan.
“Sugeng enjing, Pak. Baru pulang atau mau berangkat melaut?” tanya saya dalam bahasa Jawa halus. Saya jabat tangannya yang agak kasar. Tangan-tangan khas pekerja keras seperti petani dan kuli bangunan.
“Nunggu jadwal bongkar muat, Mas,” jawabnya menelunjuk ke gudang tadi, “paling jam delapan atau setengah sembilan.”
Saya melihat jam di layar ponsel, sudah pukul 07.20. Masih cukup waktu untuk ngobrol dengan Pak Taye.
“Nama panjangnya siapa, Pak?”
“Ya, cuma ‘Taye’ itu, Mas. Ha-ha-ha!”
Hasil Tangkapan Terbatas
Buruh nelayan asal Pekalongan itu adalah satu di antara sekitar 30-an anak buah kapal (ABK) Bintang Mas Perintis, yang baru saja berlabuh setelah seminggu melaut. Kapal berbobot 65 Gross Ton (GT) tersebut membawa hasil tangkapan ikan sebanyak empat ton.
Saya tidak melihat satu pun tuna yang terjaring. Bukan musimnya, katanya. Padahal tuna tergolong komoditas mahal, bisa mencapai Rp65.000 per kilogram. Kata Pak Taye, yang mendominasi adalah ikan jenis cakalang dan teropong. Harga jualnya berkisar Rp5.000-6.000 per kilogram.
“Itu kalau kondisi baik, Mas. Kalau pas jelek bisa anjlok banget, hanya dihargai Rp2.000 per kilogram,” jelas bapak lima anak itu.
Seharusnya kapal jenis 65 GT memiliki kemampuan berlayar lebih jauh dan lama. Jarak terjauh yang bisa dicapai sekitar 90-100 mil, setara 150 kilometer dari tepi pantai. Bisa melaut hingga 15 hari pergi-pulang. Durasi selama itu berpotensi memperoleh tangkapan ikan mencapai 20 ton.
Namun, peraturan yang berlaku melarang kapal di atas 30 GT menggunakan bahan bakar subsidi. Mereka harus membeli solar jenis Dexlite di SPBU umum di luar pelabuhan.
Pembatasan tersebut turut berdampak pada lamanya berlayar dan target penghasilan. Belum lagi cuaca ekstrem tatkala musim badai. Tak jarang Taye dan teman-temannya terpaksa gigit jari, karena hasil tangkapan jauh di bawah target yang diharapkan.
Upah Tak Sebanding
Saya penasaran dengan pendapatan yang Pak Taye peroleh. “Dari empat ton, panjenengan dapat upah berapa, Pak?”
“Paling aku dapat 100 ribu bersih, Mas. Kalau mau dapat lumayan, sekitar 300 ribu, setidaknya harus dapat 7 ton,” jelasnya.
Saya agak terkejut. Secara nalar, itu adalah angka yang kecil sekali. Dalam pikiran saya, ikan laut jauh lebih bernilai dari peluh nelayan. Juragan kapal masih punya aset untuk dijual jika ekonomi sulit, sedangkan buruh nelayan kadang tidak memiliki apa-apa.
“Kalau dapat di bawah 4 ton pernah, Pak?”
“Sering, Mas.”
Taye menggelengkan kepalanya. Bukan isyarat membantah, melainkan tak ingin membayangkan kondisi seperti itu. Menggambarkan perjalanan panjangnya menggantungkan hidup dari air yang asin. Dari pesisir Muara Baru, Jakarta, hingga Muncar, Banyuwangi.
“Kalau boleh tahu, bagi hasil dari tangkapan di bawah 4 ton berapa, Pak?”
Sempat menghelas napas agak lama, Taye menjawab, “Gak dapat apa-apa, Mas. Hanya rugi tenaga.”
“Itu tidak sebanding, Pak,” kata saya.
“Ya, begitulah, Mas.”
Pilu dan Asa di Balik Laut Membiru
Obrolan pagi kami berlangsung singkat. Sepuluh menit saja. Pak Taye minta pamit karena panggilan bongkar muat tiba. Jadwal penimbangan dimajukan lebih cepat. Kapal Bintang Mas Perintis mendapat giliran pertama.
Petugas pelabuhan sudah siaga di meja kecil, mengawasi alat timbangan. Para kuli angkut juga bersiap dengan sebatang bambu panjang untuk mengangkut drum biru berisi ikan. Ikan yang sudah ditimbang akan dibawa ke gudang khusus penjualan. Di sanalah nanti titik awal warga sipil membeli ikan incaran mereka.
Langkah Pak Taye tampak gontai. Saya menatap punggung lelaki bersuara lantang itu. Bukan bajunya yang saya pandang, melainkan perenungan getir yang melintas begitu saja.
Dari puncak bukit Sentono Gentong, cekungan Teluk Pacitan terlihat memukau. Kapal-kapal nelayan begitu kecil di kejauhan. Seperti mainan perahu otok-otok. Buih putih ombak bergulung dengan kecepatan berbeda. Angin membawanya kencang ke pesisir Teleng dan Pancer, tenang ke dermaga Pelabuhan Perikanan Tamperan. Kabut putih tipis melayang di permukaan lautnya. Pemandangan biru khas pesisir, kontras dengan daratan dan permukiman yang bernuansa kehijauan.
Keindahan itu ternyata menyimpan cerita pilu. Taye hanyalah secuil dari ratusan buruh nelayan bernasib serupa. Pengisi “rantai kehidupan” terendah dalam sistem. Terdepan mempertaruhkan nyawa, tertinggal dalam hak hidup lebih layak.
Pipi saya rasanya seperti tertampar. Di tengah kondisi yang tidak memberikan hasil sepadan, Taye masih tersenyum. Seolah-olah menunjukkan isyarat bahwa uang bisa dicari lagi lain hari. Empat anak yang sudah mandiri dan seorang bungsu yang masih sekolah, cukup menunjukkan betapa kerasnya ia bekerja.
Di atas geladak kapal lusuh itu, Taye dan ABK lain mengangkat ikan dari tempat penyimpanan dengan penuh senda gurau. Terdengar gelak membahana, mengisi obrolan bersahutan khas bapak-bapak.
Apakah mereka sedang menghibur diri dengan upah kecil hari itu, atau sengaja menertawakan hidup?
Entahlah. Saya hanya bisa berdoa semoga Tuhan mengaruniai mereka usia panjang dan kesehatan. Serta, harapan agar memiliki pegangan yang cukup agar menikmati masa pensiun dengan tenang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.