Namanya Sumberbulu, sebuah dusun yang berada di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Desa Pendem Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar. Hawa Sumberbulu adem, serasa di antara dua dunia, tak terlalu dingin dan tak terlalu panas. Konon nama Sumberbulu dinamakan sesuai dengan salah satu sumber air di desa ini, yang mengalir dibawah pohon bulu. Sumber air inilah yang menghidupi masyarakat dan akhirnya menjadi sebuah desa dengan nama Sumberbulu. Sumberbulu yang awalnya hanya desa biasa, mulai berdikari sebagai desa wisata di bawah kerjasama para pemuda.
Titin Riyadiningsih begitu bersemangat menceritakan sedikit kisah dari Sumberbulu kepada saya. Titin, sapaan akrabnya adalah seorang manajer Desa Wisata Sumberbulu. Perintisan desa ini sebagai desa wisata diawali pada 2017. Karang taruna dan para pemuda desalah yang memulai kegiatan berwisata pada desa ini. Para pemuda berdiskusi dengan para mahasiswa yang sempat KKN di desa ini, membicarakan bagaimana cikal bakal desa ini berdiri menjadi desa wisata. Teman-teman Titin semasa kuliah juga turut menyumbangkan pikiran dan menggali potensi dan identifikasi dari Desa Sumberbulu. Semangat para pemuda ini demi membangun desanya patut diacungi jempol. Dua tahun berjalan, secara resmi, desa ini dikukuhkan pada 2019 oleh perangkat desa.
Titin, yang berlatar belakang mahasiswa kesehatan gizi, menyukai kegiatan organisasi sebagai sarana pengembangan diri. Awal mula ketertarikannya dalam pengembangan desa sewaktu mengikuti temannya penelitian di salah satu desa wisata di Yogyakarta. Diskusi dan bertukar pikiran dengan temannya yang jurusan sosiologi, mulai membuka matanya pada dunia pariwisata, utamanya pensejahteraan masyarakat. Desa Pentingsari, dimana temannya melakukan penelitian, adalah desa yang menjadi inspirasinya, karena menurutnya keadaan yang hampir sama dengan desanya sendiri. “Tempat kita hampir benar-benar sama dengan Pentingsari, dari masyarakatnya, gotong royongnya ada, SDM dan lain lain juga sama, kenapa di tempat saya sendiri belum bisa dikembangkan,” ungkapnya.
Diskusi lainnya, antara lain dengan pihak Pariwisata UGM yakni Pak Desta, bersama teman-teman lainnya, meyakinkan mereka untuk terus belajar mengembangkan desanya. “Karena saya kuliah di Yogya, sering ke berbagai desa wisata, di Yogya aja bisa, kenapa di tempat saya tidak bisa,” katanya. Itulah yang memotivasinya untuk mengembangkan desanya sebagai desa wisata.
Desa Sumberbulu menitik beratkan pada community based tourism, upaya ini dimaksudkan untuk membawa pola pikir yang segar pada masyarakat desa dan juga pengunjung. Pengunjung yang berasal dari berbagai macam tempat, dengan terciptanya wisata yang dekat antar masyarakat dan pengunjung akan dapat saling belajar bagaimana memahami keberagamaan dan memaknai kebersamaan. Desa Sumberbulu menawarkan ragam wisata seperti kegiatan pertanian organik, bio gas, peternakan, outbound, kerajinan, dan kesenian. Saat pagebluk merebak, mereka mengembangkan jamu-jamu tradisional yang diproduksi oleh mereka sendiri. Inisiatif masyarakat inilah yang membuat desa ini terus bertahan.
Air yang melimpah menjadi salah satu kelebihan Sumberbulu Salah satu sumber air yang ada di Desa Sumberbulu
Selain itu, bentang alamnya terdapat 6 sendang yang mengalir jernih sebagai sumber air desa. Tak jauh dari desa, terdapat gua yang saat ini belum bisa difungsikan sebagai atraksi wisata. Analisis dari Jejaring Desa Wisata (Jadesta) oleh Kemenparekraf menempatkan Sumberbulu dalam kategori maju dengan nilai 38,85. Baru-baru ini Sumberbulu juga masuk dalam 50 besar desa wisata dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) yang diselenggarakan oleh Kemenparekraf untuk mengapresiasi para pelaku pariwisata khususnya di bidang desa wisata.
Kesulitan tentunya banyak ditemui dalam memulai sesuatu yang baru, begitupun yang dialami oleh Titin. Sumber daya manusia yang tidak merata adalah titik terberat yang harus dirubah. Titin mengungkapkan latar belakang masyarakat desa yang bermacam-macam membuatnya harus berpikir keras dan meyakinkan mereka; ide desa wisata itu adalah perubahan yang bermanfaat.
Lambat laun, pola pikir masyarakat yang tadi sempat menolak, pelan-pelan mulai menerima pariwisata sebagai bagian dari kegiatan mereka. ”Kita sampai pada detik ini karena pengelola desa wisata, dan kekompakan masyarakat dengan kita (pengurus) alhamdulillah sudah mengikuti kita,” paparnya.
Saya salut dengan keinginan para pemuda desa yang pulang kembali ke desa dan membangun bersama. Pemuda-pemuda desa yang merantau, ketika mereka mau kembali ke desa, mereka akan dibekali pelatihan untuk menjadi operator tur. Karang taruna berperan sentral dalam menjembatani berbagai kegiatan anak-anak desa seperti latihan menari dan pemilihan putra-putri Sumberbulu. Kegiatan diskusi antar pemuda desa juga tak kalah menarik, sembari terus berbenah mengenai rencana desa. Titin menegaskan pentingnya keberlanjutan desa wisata pada generasi muda karena merekalah yang akhirnya mewarisi semua kegiatan yang ada di Desa Sumberbulu. Bahkan yang di perantauan tetap bisa memberi kontribusi kepada desa mereka secara daring.
Pagebluk memang memberi dampak terhadap industri pariwisata, tak terkecuali Sumberbulu. Para pengelola Desa Sumberbulu malah menggiatkan diri belajar dari berbagai platform yang diadakan oleh dinas terkait. Inovasi dan buah pikiran selama masa pagebluk tentu saja tidak terhenti, akhirnya lahirlah Kafe Toya Wening yang kesemuanya memanfaatkan para pemuda desa. Jamu-jamu yang sempat disinggung sebelumnya, adalah produk dari pagebluk yang diproduksi oleh ibu-ibu desa. “Respon pasar bagus, jumlah ibu-ibu yang mengikuti program pengolahan jamu juga bertambah, jamu yang dihasilkan selain seduh juga ada jamu celup seperti teh celup.”
5 tahun sudah desa wisata ini berjalan, seiring dengan sumber daya manusia yang semakin maju, pagebluk sudah dihadapi dengan sigap, Desa Sumberbulu sekarang sedang bersiap menghadapi tantangan berikutnya; menyambut antusiasme pariwisata pasca pagebluk. Antusiasme dari masyarakat Indonesia nampak memuncak, meski PPKM masih diterapkan di berbagai daerah di Indonesia, beberapa tempat sudah mulai dipadati dan beberapa tempat sudah membuka pintu untuk wisatawan.
Harapan adalah harapan, Titin juga berharap kedepannya, sumber daya manusia selalu menjadi perhatian lebih dari pemerintah lebih dari sekedar pengucuran dana. Titin menilai nyawa desa wisata itu berada pada sumber daya manusia yang berdikari dan terlatih. Pelatihan dan pendampingan terus menerus sangat diperlukan untuk kelangsungan pariwisata di desa, apalagi Indonesia ingin membangun negeri dimulai dari desa. Ekonomi yang baik berasal dari sumber daya manusia yang baik juga, bukan?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu