Bagaimana libur lebaran Anda tahun ini? Apakah menyempatkan mudik ke kampung halaman? Atau justru tidak kebagian jatah cuti?
Saya dan keluarga mudik ke Pacitan, tetapi berangkat lebih awal. Sekitar seminggu sebelum lebaran. Hanya dua malam kami di tanah kelahiran ibu. Agenda pokok antara lain menyempatkan ziarah ke makam kakek dan nenek. Tak lupa berwisata sebentar ke bukit Sentono Gentong untuk melihat matahari terbit, lalu berburu oleh-oleh khas sembari bernostalgia masa kecil.
Biasanya kami juga mudik ke Pati, kampung halaman bapak. Ada agenda halalbihalal keluarga besar rutin setiap 4 Syawal di sana. Namun, karena padatnya pekerjaan bapak, kami terpaksa absen tahun ini.
Di Waru, tanah rantau tempat saya tumbuh besar dari kecil hingga bersekolah, tradisi lebaran tak semeriah desa-desa lain. Kebanyakan warga di sini adalah pendatang. Mereka terbiasa bergegas mudik ke kampung halaman, setelah paginya salat id dan silaturahmi singkat antartetangga.
Awalnya saya tak menduga-duga apa pun pada libur idulfitri di rumah orang tua kali ini. Biasa-biasa saja. Namun, secara beruntun di hari yang sama, Tuhan seperti mempertemukan saya dengan sejumlah peristiwa tak terduga. Pertemuan-pertemuan yang menggelitik hati.
Sandal yang Hilang
Saya dan istri, yang sudah sejak awal April pulang ke Sidoarjo, akan ikut salat Idulfitri di masjid kampung bersama ibu dan adik saya. Kecuali bapak, beliau akan mengisi khotbah di masjid tetangga desa.
Takbir berkumandang dari corong masjid selepas Subuh. Salat Id biasanya mulai tepat pukul 06.00 dan kami tiba setengah jam sebelumnya. Sedikit terlambat jika ingin mendapat saf di dalam. Para anggota takmir pun mengarahkan jemaah ke lantai dua. Sebelum mulai salat, takmir mengumumkan informasi pembagian zakat fitrah, zakat mal, dan santunan anak yatim piatu.
Selanjutnya prosesi ibadah berlangsung seperti biasa. Ustaz yang diundang bertindak sebagai imam dan khotib. Ceramahnya membahas soal pentingnya memaknai Idulfitri dengan mengevaluasi diri setelah puasa sebulan penuh. Menurutnya, ujian sejati justru baru akan mulai per 1 Syawal ini sampai bertemu lebaran tahun depan. Sejauh mana kita mampu menahan hawa nafsu layaknya berpuasa Ramadan.
Saya kira ujian hati tersebut akan datang berangsur. Nanti-nanti dulu. Namun, Tuhan sepertinya ingin segera.
Sepasang sandal gunung yang saya pakai dari rumah lenyap. Letaknya bersebelahan dengan sandal jepit adik saya, yang aman-aman saja.
Beberapa jemaah yang tahu hal itu juga terkejut. Mereka berusaha menghibur dan meminta saya mengikhlaskannya.
Apakah saya merasa berhasil lulus ujian? Saya tidak tahu.
Memang sempat kaget, tetapi saya berusaha tenang dan menahan diri untuk tidak mengungkapkan penyesalan. Saya bersyukur masih bisa pulang ke rumah dan menikmati jalan di atas paving kampung tanpa alas kaki.
Adik saya hanya sedikit berkomentar dengan nada bercanda, “Mungkin sebelumnya kurang sedekah.”
Mungkin saja. Sangat mungkin.
Muhammad Soleh
Di antara puluhan tamu yang datang ke rumah, ada dua golongan tamu yang menarik perhatian saya pagi itu.
Tamu pertama adalah Soleh. Ia suka disapa Nopan—yang ia sendiri tidak tahu artinya. Padahal nama aslinya sangat bagus: Muhammad Soleh. Ibu saya juga memuji namanya.
Soleh adalah anak tiri Bu Tin, tetangga beda RT yang sempat membantu merawat nenek saya sebelum meninggal tahun 2019. Ayah kandungnya sudah meninggal dan dimakamkan di Pakisaji, Malang. Sementara ibunya yang berasal dari Jember juga telah lama wafat.
Pria tamatan SD di Jember itu sehari-hari membantu ibu tirinya berjualan es sinom. Keliling Desa Waru hingga Pepelegi dengan sepeda keranjang berwarna ungu miliknya.
Usianya hanya dua tahun di bawah saya, tetapi sampai sekarang belum punya KTP. Dia juga tak ingat tanggal dan bulan lahirnya. “Ngertiku lahir tahun 1993.”
Ibu saya penasaran dan bertanya dalam bahasa Jawa, “Kenapa belum bikin KTP?”
Soleh, yang hari itu berpakaian rapi serba biru dari peci sampai celana, cuma membalas dengan senyum lebar. Sembari jemari kanan mengambil camilan keripik pisang di toples, ia menggesekkan jari-jari tangan kirinya.
“Gak punya modal, Bu,” jawab pria lajang itu.
“Loh, kan bikin KTP gak bayar, Mas,” kata saya.
“Mosok? Nggak mungkin!”
Anehnya, kami tertawa bersama. Seakan-akan paham apa yang sedang kami bahas.
Pengalaman serupa dialami Pak Din, 70 tahun, tetangga kami juga. Ibu cerita kalau beliau baru punya KTP setelah usianya lebih dari setengah abad. Itu pun bayar mahal, entah berapa ratus ribu, karena pihak desa atau kecamatan menganggap Pak Din memang tidak punya data dari lahir.
Sayangnya, kami belum bisa membantu banyak. Kami hanya mendorong agar Nopan, eh Soleh, mau mengurus administrasi kependudukannya. Untuk kebaikan dirinya juga, selain supaya kelak ia tak dipersulit ketika tiba waktunya menikah.
“Aku kiro-kiro sik iso oleh jodoh, kan, Bu?” tanyanya lantang.
Kami tergelak. Ibu saya menjawab, “Ojo mikir nikah sik! Bantu Bu Tin dan daftar KTP dulu!”
Anak yang Putus Sekolah
Sekitar satu jam sebelum Soleh, ada tiga anak-anak yang datang ke rumah kami. Mereka bukan warga di sekitar lingkungan ini.
Saya tidak terlalu ingat mereka orang yang sama atau bukan seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, memang cukup sering anak-anak dari luar kampung berkunjung dari rumah satu ke rumah yang lain. Walau tidak ada satu pun kerabat di dusun ini.
Kami sekeluarga paham bahwa kedatangan mereka untuk mencari “THR”. Uang saku atau uang jajan lebaran. Dan ini tidak masalah, karena sejauh ini mereka cukup sopan saat bertamu.
Begitupun mereka, yang seseorang di antaranya tampak seperti pimpinan kelompok. Tubuhnya ceking, rambut ikal bersemir merah sebagian, dan mencangklong tas selempang.
Anak itu mengenalkan diri dengan nama Tian. Dua bocah laki-laki di sebelahnya adalah teman sekampung. Saya kira awalnya mereka satu keluarga.
Tian sempat berceletuk, “Ya, keluarga, Bu. Tapi beda bapak dan ibu, he-he-he.”
Ia sudah setahun lulus dari SD. Namun, ijazahnya tertahan gara-gara sekolah belum menerima pembayaran ujian kelulusan dan tetek bengeknya.
“Kulo terpaksa medot, Bu. Bapak belum ada uang,” ujarnya lirih. Tian tinggal di Bungurasih Timur, dekat Terminal Purabaya dengan neneknya. Bapak-ibunya tinggal dan bekerja di Blitar. Tak jelas bagaimana kondisi mereka.
Sementara kedua temannya tidak terlalu banyak bicara. Meskipun begitu, satu di antaranya terlihat lahap menyantap anggur hijau yang ibu beli di pasar kemarin. Usianya di bawah Tian, tetapi saat ini masih sekolah.
Lagi-lagi hanya getir dan ketidakmampuan berbuat lebih yang kami rasakan. Seperti halnya Soleh, kami hanya bisa memberi mereka uang saku secukupnya. Dan selipan kata-kata penyemangat, khususnya pada Tian, yang semoga saja masih bertekad kuat melanjutkan sekolah.
Idulfitri sebagai Perjalanan Spiritual
Setiap orang memiliki banyak cara mewarnai Idulfitri. Mudik ke rumah kakek-nenek di desa, reuni keluarga besar, halalbihalal di kantor, belanja pakaian anyar, atau tetap bekerja bagi sejumlah orang.
Yang perlu kita ingat adalah spektrum hikmah idulfitri tidak sekadar momen bermaaf-maafan. Namun, lebih jauh dari itu. Yang baru bukan hanya baju, melainkan juga hati.
Dalam pandangan saya, Idulfitri adalah bagian dari perjalanan spiritual. Idulfitri tak hanya bermakna tekstual sebagai penanda berbuka seutuhnya setelah berpuasa Ramadan. Kewajiban-kewajiban ritual yang menyertainya, seperti zakat fitrah, juga memiliki arti pentingnya kepedulian sosial
Di saat-saat yang kami lalui secara sederhana dan biasa-biasa saja, alam menitipkan kehadiran Soleh bersama Tian dan teman-temannya di rumah. Sejarah kehidupan mereka ibarat suara-suara dari pinggiran yang perlu uluran tangan.
Kita boleh dan tetap berhak berbahagia ketika Idulfitri. Namun, jangan sampai terlalu larut dalam euforia hari raya. Kebahagiaan itu perlu kita bagikan, sekalipun kecil, kepada kawan-kawan kita yang kurang beruntung di luar rumah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.