Malam itu menjadi malam yang penuh cerita. Saya sudah berada di pondok tempat bertugas teman saya, di Kecamatan Margasari. Entah bagaimana teman saya itu menunjukkan jalan mana yang seharusnya dilalui, saya tidak begitu paham dan ambil pusing. Yang jelas, saya sudah sampai, itu yang terpenting. Kami pun menghabiskan malam dengan cerita perjalanan saya, yang membuat teman saya tersebut heran. Nekat dan gila, katanya.
Esok paginya, langit Tegal terlihat cerah. Perlahan terik, lalu berawan. Kurang lebih sekitar pukul 9 pagi baru saya berangkat, setelah berpamitan tentunya. Saya diantar menuju jalan besar, lalu ditunjukkan arah pulang ke Temanggung yang lebih dekat. Lewat Purbalingga. Saya sudah pernah masuk ke kotanya, tapi entah seperti apa pinggirannya. Motor terus melaju.
Dari yang sebelumnya terasa gerah, kini perlahan hawanya mulai terasa sejuk. Saya melaju naik, menuju Guci Gung. Itu adalah sebuah tempat pemandian air panas yang berada di dataran tinggi Tegal. Persis seperti Kaliurang di Jogja, atau Lembang di Bandung. Tahun lalu saya sempat berkunjung ke sini dua kali. Pemandangannya khas daerah dataran tinggi, dengan pemandangan kebun-kebun di sisi kiri dan kanan jalannya. Satu dari sekian pemandangan yang banyak dirindukan orang.
Hujan, panas, lalu hujan lagi…
Saya sudah sampai di daerah pinggiran Purbalingga. Itu yang saya lihat dari Google Maps. Bermodal papan petunjuk arah dan dengan sesekali bertanya tiap menjumpai persimpangan kecil, saya bisa sampai ke sini. Sebenarnya saya juga memasang handsfree di telinga saya sehingga saya bisa mendengar semua arahan dari Google Maps. Namun, karena saya merasa rutenya cukup mudah, saya mematikannya di tengah-tengah perjalanan. Takut kehabisan baterai.
Di daerah Purbalingga yang saya lewati ini, jalannya cukup membuat saya meringis berkali-kali. Menanjak, turun, berkelok, dan di beberapa tempat terdapat banyak lubang besar, bahkan tak jarang ada yang hancur. Saya mengkhawatirkan kampas rem dan ban motor. Kadang motor saya pacu mengebut, lalu tiba-tiba di depan terlihat lubang-lubang cukup besar yang memenuhi lebar jalan. Kalian jelas tahu pasti apa yang terjadi. Menghindar tak sempat, mengerem pun motor masih melaju kencang. Saya menerjang lubang-lubang itu sangat keras. Dan itu terjadi beberapa kali dan di beberapa titik sepanjang jalan, tak hanya sekali. Lubang-lubang itu seringnya tidak tampak dari kejauhan, maka jadilah sebagaimana yang saya ceritakan.
Di sepanjang jalan, sebelum sampai di Purbalingga kota, hujan beberapa kali turun membasahi tubuh. Terasa lumayan menjengkelkan, antara tetap mengenakan mantel atau melepasnya. Akhirnya saya terus saja mengenakan mantel, tak peduli seterik apapun jalan di depan sana. Layaknya hidup yang seringnya penuh ketidakpastian, setidaknya kita sudah bersiap sebaik mungkin.
Tepat adzan Dzuhur berkumandang, saya tiba di Masjid Agung Purbalingga. Lega rasanya. Mengambil waktu sejenak untuk beristirahat, melepas penat, dan mengamati manusia yang sedang beraktivitas.
Usai salat Dzhuhur, saya duduk-duduk sebentar di teras masjid, sebagaimana jamaah lainnya. Beberapa memang sengaja menjadikan waktu salat sebagai kesempatan untuk rehat, berteduh dan menepi sebentar. Langit Purbalingga hari itu biru tak berawan, terik. Hari kedua puasa. Di teras, saya hanya menatap kosong kendaraan yang lalu-lalang di jalan. Sibuk. Melihat itu saya bersyukur saja, karena masih belum diberi tanggung jawab lebih untuk mencari nafkah.
Beberapa menit, saya kembali melesat, menuju Temanggung. Kalau kemarin saya lewat jalur utara, sekarang saya lewat jalur selatan yang katanya memang inilah jalan yang biasa dilewati kebanyakan orang bila hendak menuju Tegal. Lewat kota kabupaten.
Baru sampai di Kabupaten Banjarnegara, hujan kembali mengguyur deras. Sangat deras. Saya sudah persiapan memakai mantel dari tadi. Namun, ketika hujan lebat ini mulai disertai angin kencang, saya memutuskan untuk menepi, berteduh. Saya singgah di sebuah musala kayu yang berada persis di sebelah sebuah restoran. Letaknya ada di kiri jalan. Bangunannya bagus dan terawat. Jelas merupakan tempat singgah yang nyaman untuk orang yang sedang bepergian.
Di dalam, saya hanya membaca-baca berita, menonton highlight sepak bola, dan membalas pesan-pesan yang masuk. Menatap keluar, sepertinya hujan ini akan lama. Dan benar, semakin lama justru semakin lebat. Angin bertiup sangat kencang seolah mengamuk. Apa daya, saya hanya bisa menunggu. Lumayan juga, sekalian men-charge ponsel.
Sudah hampir satu jam dan hujan belum juga mereda. Tapi angin yang bertiup sudah tak sekencang tadi. Waktu yang tepat untuk kembali meneruskan perjalanan, maka saya pun bersiap.
Di sepanjang jalan nasional Banjarnegara, hujan masih turun dengan derasnya hingga saya mendekati daerah Wonosobo-Parakan. Hujan sudah mulai merintik. Lebih menyenangkan dan menakjubkan lagi ketika saya sudah masuk Parakan dan mulai menuruni jalannya. Ternyata sore itu Temanggung cerah, jalanan juga lengang. Sesekali ada truk yang melintas, berpapasan. Setahu saya truk muatan seperti itu, memang berangkat pada jam-jam ini, menjelang Maghrib.
Rabu, 14 April 2021. Senja yang sama seperti ketika saya pertama kali berangkat dari Jogja, cerah bersahabat dan syahdu. Perlahan saya mulai bisa menikmati hidup dan merindukan rumah. Iya, sebagaimana yang sudah saya sebutkan di awal cerita, saya sempat depresi dan amat muak tinggal di rumah. Jadi, kalau ada yang bilang traveling itu menyehatkan, itu benar. Amat menyehatkan dari segala sisinya.
Tapi cerita saya belumlah selesai. Saya masih belum ingin pulang ke rumah. Target perjalanan saya belum tuntas. Bila kemarin saya pergi ke arah barat, besok adalah waktunya saya pergi jauh menuju timur. Demi menemukan makna pulang yang sebenarnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Jangan telusuri biodata saya, lebih baik kita segera berjumpa.