Sore-sore sebelumnya tak pernah lebih buruk dari sore itu. Saya biasanya mengisi waktu sore dengan berolahraga; terus seperti itu, dan saya merasa tidak ada yang salah. Namun, ketika sore tersebut datang, ia menyadarkan saya bahwa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang selama ini selalu ditutup-tutupi dan berusaha untuk dialihkan. Saya muak.

Keputusan akhir: saya akan tetap pergi

Beberapa hari sebelumnya saya sempat menelepon seorang kawan, berbagi cerita. Saya menggerutu, menyalahkan keadaan, dan bahkan sampai mencela takdir. Imbas dari rasa muak yang telah menjalar. Kawan saya sangat memahami hal itu, bahkan sudah sejak lama. Ia hanya menyarankan satu hal.

“Berani minta maaf nggak?”
“Maksudnya?”
“Iya, minta maaf. Kamu kabur, nanti pas sudah pulang, baru minta maaf…“

Brilian, sekaligus gila. Namun, entah kenapa, menerima saran tersebut nyatanya memang membuat saya merasa lega. Saya memang butuh pergi. Saya sudah sangat kurang piknik. Bagaimana tidak, sudah setahun ini, sejak pandemi dimulai, saya baru piknik dua kali. Pertama, ke Pantai Timang bersama keluarga. Kedua, menyusuri Gua Pindul dan Sungai Oya bersama seorang kawan.

Saya sama sekali tidak mengeluh. Masih banyak orang yang keadaannya mungkin jauh lebih tidak menyenangkan daripada saya. Lebih tidak bisa piknik. Akan tetapi, yang menanggung akibat dari semua ini adalah orang-orang terdekat saya sendiri, terutama keluarga. Saya menjadi pemurung, pendiam, tidak menggubris ucapan orang tua, bahkan sampai membentak adik saya sendiri untuk alasan yang sama sekali tidak jelas.

Sehatkan mentalmu, itu yang terpenting

Akhirnya, saya mulai menyusun rencana perjalanan. Perjalanan seorang diri. Membuka dompet dan saldo rekening yang totalnya kurang lebih hanya dua jutaan, kemudian mulai merencanakan agenda perjalanan di Google Calendar. Mulai menimbang dan menimbang, hingga sampai pada sebuah keputusan final. Bagaimanapun, saya akan tetap pergi. Demi kesehatan mental saya, itu yang pertama. Kemudian, yang terpenting, demi keluarga. Saya tidak mungkin terus-terusan bersikap seperti ini kepada mereka. Ini sudah terlalu buruk.

Lalu tibalah sore itu, sore yang membuat pengap satu kamar. Jadwal “kabur” saya sebenarnya lusa, tapi sepertinya sudah tidak bisa. Saya harus segera pergi besok; dan kalau bisa, dengan cara yang baik. Bukan kabur. Apa yang saya alami sore itu benar-benar sudah berada di puncaknya: saya membenci rumah saya sendiri. Saya sudah muak tinggal di rumah. Lihat, sudah sampai separah itu keadaan mental saya. Saya memang butuh pergi.

Jangan kabur, tinggalkan rumah dengan cara yang baik

H-1 keberangkatan, siangnya, semua perlengkapan sudah siap. Saya menaruh semua tas di dalam lemari baju, sengaja saya sembunyikan dulu. Satu roll bag ukuran 25L yang berisi pakaian, dan satu ransel sedang yang isinya adalah tetek bengek perjalanan. Intinya, untuk jaga-jaga.

Roll bag saya selempangkan di punggung, duduk rapi di jok belakang; sedangkan ransel saya gendong di depan, tepat menutupi seluruh bagian depan tubuh saya. Itu rencananya. Ya, saya naik motor.

Sore yang dinanti tiba. Saya hanya bilang kepada Bapak dan Ibu kalau saya mau pergi, sudah. Dan mereka, setelah terdiam beberapa saat, akhirnya mengizinkannya. Mungkin mereka akhir-akhir ini juga sudah paham dan melihat, betapa perubahan sikap saya belakangan ini juga sudah mulai menggelisahkan. Boleh jadi memang ini solusi terbaik—dan itu akan terbukti beberapa hari kemudian.

Saya berpamitan (bukan kabur), lalu bergegas pergi meninggalkan rumah. Belum jauh, tepat di ujung gang, saya mengirimkan pesan WhatsApp ke Bapak, tentang alasan saya pergi dari rumah. Singkatnya, sekali lagi, demi kesehatan mental dan demi kebaikan keluarga.

Bapak saya merespon dengan jawaban positif, memahaminya dengan baik; membuat saya pribadi lega, seolah perjalanan ini memang benar-benar jalan keluar terbaik. Saya meninggalkan rumah dengan perasaan lapang.

Di sore yang kebetulan sedang cerah itu, motor saya melaju membelah keramaian. Keluar dari permukiman, melintasi kota, lalu perlahan menuju perbatasan.

Kawan saya benar; yang saya butuhkan hanyalah piknik. Hanya itu. Saya begitu menghayati kepergian saya kali ini. Bahkan, sembari menatap langit yang sedang cerah-cerahnya, saya sendiri sampai bergumam, “Seindah inikah senja?”

Akui saja, sekolah adalah salah satu tempat terbaik untuk melepas rindu

Tujuan pertama saya adalah Temanggung. Di sanalah kawan-kawan saya berada. Saya adalah lulusan sebuah pesantren di kota itu. Kawan-kawan saya sekarang sudah menjadi musyrif (pengurus). Setahun lebih tidak berjumpa, entah seperti apa bentuk mereka sekarang.

Dari Jogja saya berangkat sekitar pukul 4 sore, dan mulai memasuki kota Temanggung tepat ketika adzan Maghrib. Saya mampir shalat sebentar di Masjid ash-Shahabat, dekat Alun-Alun Temanggung. Sungguh lega rasanya bisa tiba dan shalat di sini lagi. Dulu, kalau hendak ke pondok, saya hampir selalu mampir di masjid ini. Tempat yang sangat cocok untuk rehat sejenak.

Masjid/Helmi Santosa

Selepas shalat, saya segera menaiki motor dan mulai menuju pondok. Pondok saya terletak di Kecamatan Kedu, di tengah-tengah area persawahan—yang pada musim tertentu berubah menjadi ladang tembakau.

Memasuki Kedu, hawa dinginnya yang khas sudah mulai terasa. Saya sangat mengenal hawa dingin ini, sekaligus amat merindukannya (saya mondok di sini lima tahun). 

Perempatan Kedu sudah terlihat di depan mata. Ah, akhirnya. Belok kiri, mulai masuk area persawahan, untuk kemudian melampiaskan semuanya. Di jalanan yang gelap dan sepi itu (sebenarnya ramai jika bukan malam hari), di tengah-tengah hamparan sawah yang tentu saja tidak terlihat, juga di bawah embusan angin malam dan hawa dingin Temanggung, saya berteriak kegirangan. Sangat girang.

“Seperti inikah rindu?”

Seringnya, teman-teman terdekat kita adalah mereka yang “tidak waras”

Motor saya berhenti di halaman salah satu bangunan yang berada di kompleks pondok. Belum ada yang mengetahui kedatangan saya, kecuali seorang kawan—sekaligus kolega. Begitu saya mengabarinya, langsung seketika itu juga dia mengutus Naval (Naufal, Nopal, Gopal, atau apalah), seorang “mantan calon akmil” untuk menjemput dan mengawal saya. Dia adik kelas kami. Salah satu yang paling gila dari sekian banyak teman yang “gila”.

Belum ada tiga meter, di tengah padatnya pemukiman warga kompleks pondok, dan di waktu Maghrib, waktu yang biasanya para santri sedang mengaji; dia langsung berteriak heboh. Kami bahkan belum saling bertatap muka, tapi ia dari kejauhan sudah berteriak begitu hebohnya. Kami bersalaman mantap, beradu dada, berpelukan erat, saling menepuk bahu, dan kemudian saling berceloteh.

Naval membawakan tas saya, melewati para santri yang sedang mengaji di teras masjid, menuju ruang tamu. Kemudian, tak lama, satu per satu kawan-kawan saya berdatangan. Menyalami, memukul, bahkan ada yang tak henti-hentinya menabrakkan badannya ke saya.

Obrolan hangat pelepas rindu pun mengalir setelah itu.

Suasana malam hari/Helmi Santosa

Besok sudah puasa

Usai shalat Isya, beberapa kawan yang sudah memasuki ruang tamu, mulai melihat ponsel masing-masing. Ada sesuatu yang sudah mereka tunggu sedari tadi: pengumuman 1 Ramadan. Saya pun demikian, ikut menanti kabar tersebut.

Baru saja mendapat kabar kalau 1 Ramadhn jatuh esok hari, tiba-tiba datang lagi seorang kawan, kakak kelas. Ketika ia melihat saya yang mengintip keluar dari balik jendela ruang tamu, ia langsung menyerbu masuk. Menabrakkan badan, memukul, dan mendorong saya sampai ke WC.

Ia datang, mengabari kami yang ada di ruang tamu, kalau Ustadz (kepsek) akan mengimami tarawih perdana di masjid timur (pondok ini memiliki dua masjid, letaknya sedikit berjauhan). Jarang sekali Ustadz bisa mengimami tarawih di pondok, karena kesibukannya.

Kawan saya tersebut akhirnya mengajak saya shalat di masjid timur, membonceng motornya. Tiba di halaman masjid (paving block) yang waktu itu sedang ramai-ramainya santri, dengan kampretnya kawan saya itu membawa saya bolak-balik di depan masjid. Membuat para santri yang ketika itu sedang berada di teras, seketika melihat ke arah kami. Malunya bukan main, meski sebagian besar dari mereka tidak mengenal saya.

Hari itu, di pondok, saya menghabiskan malam dengan mengobrol bersama teman-teman.

Apakah perjalanan saya sudah selesai di sini? Tentu belum.

Besok sudah puasa, yang itu berarti perjalanan saya akan dimulai bersamaan dengan dimulainya bulan Ramadhan.

12 April 2021, bersiap menyambut hari-hari yang akan memberi saya sekian banyak pengalaman baru.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar