Saya dan Nyonya berkendara ke arah timur ditemani mentari sore Yogyakarta yang sinarnya mulai menjingga. Ini adalah salah satu rute favorit kami—jalanan sempit Condong Catur, Gebang, lalu, lewat Tajem, terus ke Purwomartani di perbatasan Sleman, DIY, dan Klaten, Jawa Tengah.
Biasanya kalau lewat rute ini kami akan berhenti di bawah sebuah pohon beringin di Purwomartani untuk menyeruput segelas, atau dua gelas, es dawet. Namun sepertinya kali ini kami melintasi daerah itu terlalu sore. Lapak es dawet legendaris itu sudah kukut.
Sebagai gantinya, kami mampir di sebuah gerobak gorengan depan Indomaret untuk membeli beberapa potong geblek. Dari gerobak gorengan itu kami berkendara tanpa henti ke tujuan utama, yakni Candi Plaosan Lor di pinggiran Klaten, Jawa Tengah.
Saat tiket habis, pengunjung bisa masuk secara cuma-cuma
Sesore itu, Candi Plaosan Lor masih sangat ramai. Kehidupan masih bergulir dengan semarak. Areal parkir masih dipadati sepeda motor dan mobil, warung-warung masih sibuk melayani para pembeli, dan satpam Candi Plaosan masih sibuk menyeberangkan para pengunjung.
Kontras dengan geliat kehidupan di sekelilingnya, Candi Plaosan Lor hanya diam. Kedua bangunan besar yang menjulang itu seperti sedang asyik menikmati siraman matahari sore yang sedang membelai mesra—sebelum ditelan dingin malam musim kemarau yang sebentar lagi akan mengadang.
Di utara sana bagian puncak Gunung Merapi digelitik gemawan yang berputar-putar di lehernya. Barat laut adalah panggung Gunung Sumbing yang juga sedang bergelut dengan awan-awan kecil yang melayang-layang di sekitarnya.
Kami pun segera melapor ke meja resepsionis untuk mengisi buku tamu. Tanpa diduga, sore itu sang penjaga loket membiarkan kami masuk secara cuma-cuma. “Masuk saja, Mbak,” katanya pada Nyonya ketika ditanyai harga tiket. “Tiketnya habis.”
Biasanya, kalau ada tiket, menurut cerita-cerita para pengunjung harus membayar Rp 3.000. Memang tak ada apa-apanya ketimbang harga tiket masuk candi-candi tenar seperti Prambanan, Boko, atau Borobudur.
Salah satu candi paling romantis di Pulau Jawa
Kalau ada kontes candi paling romantis di Pulau Jawa, Candi Plaosan Lor barangkali akan masuk tiga besar. Yang membuatnya romantis bukan hanya reruntuhan puluhan candi perwara dan stupa yang mengelilinginya, atau senja yang memerah itu, tapi juga cerita di balik pembuatannya.
Menurut versi De Casparis, salah seorang ahli yang meneliti sejarah candi ini, Candi Plaosan Lor dibangun pada abad ke-9 oleh Pramodyawardani, putri dari Raja Samarattungga dari Wangsa Syailendra, yang beragama Buddha, yang didukung oleh suaminya, Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya, yang beragama Hindu.
Candi Plaosan Lor yang sebelah utara penuh dengan relief laki-laki, sementara candi yang di utara dihasi dengan relief perempuan. Menurut narasi yang berkembang, kedua candi ini adalah simbol kekaguman sepasang kekasih dari zaman baheula itu terhadap satu sama lain.
Secuil kisah di atas—ditambah nuansa sepia menjelang matahari terbenam—membuat saya membayangkan Pramodyawardani dan Rakai Pikatan sedang bermain petak umpet di antara candi-candi perwara dan stupa yang dulu masih utuh, sambil tersenyum dan tertawa bahagia.
Sekitar satu jam kami berkeliaran di Candi Plaosan Lor, ikut merayakan cinta Pramodyawardani dan Rakai Pikatan. Matahari perlahan turun dan membuat cakrawala berpendar jingga.
Saat sedang asyik mengagumi patung-patung Buddha di sebuah pelataran di belakang, seorang petugas memberi tahu kami bahwa jam berkunjung sudah habis. Kami dan wisatawan-wisatawan lain pun dipersilakan pulang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.