Sore ini jalan sekitar Pasar Benhil sesak oleh bemo, mobil pribadi, dan ojol. Tak jarang saya mesti beradu dengan moda-moda transportasi itu. Maklum saja, sebentar lagi waktu berbuka puasa akan tiba.
Saya sendiri sebenarnya juga sedang menuju tempat untuk berbuka puasa. Hari ini rencananya saya akan berbuka puasa menyantap penganan asal Ranah Minang. Nama makanannya: bubur kampiun. Rumah makan yang akan saya datangi juga bukan spot kuliner sembarangan. Ini adalah salah satu restoran masakan Padang terenak di Jakarta, yakni Bopet Mini.
Akhirnya saya tiba di Jalan Bendungan Hilir Kav. 1A, Jakarta Pusat, di mana Bopet Mini berada. Meskipun bagian depannya sempit, kamu takkan kesulitan menemukan Bopet Mini sebab ada neon box berlatar kuning di atas kanopi depan. Melewati etalase khusus sate Padang, jus dan es buah, serta bubur kampiun untuk dibawa pulang, saya pun tiba di depan meja saji dan ikut antre.
Tiba jam lima, saya perlu antre sekitar setengah jam sebelum sepiring bubur kampiun—dan seporsi sate Padang—terhidang di meja.
Bubur juara ala Amai Zona
Konon, bubur kampiun tercipta dari sebuah ketidaksengajaan.
Alkisah, sekitar tahun 1960-an dulu, pasca-PRRI, sebuah lomba kreasi bubur diadakan di Desa Jambu Air, Banuhampu, Bukittinggi. Dilansir dari Beritagar, kala itu ada seorang peserta yang datang terlambat, yakni Amai Zona. Telat, Amai Zona langsung saja memasukkan beberapa jenis bubur—yang tak habis dijualnya pagi tadi—ke dalam beberapa mangkuk.
Ajaibnya Amai Zona menang. Seketika saja bubur absurdnya itu mendapatkan nama baru: kampiun. Mengetahui cerita ini, kamu pasti bisa menebak bahwa nama kampiun itu merujuk pada kata bahasa Inggris “champion” yang berarti juara. Jadi, bubur kampiun adalah bubur juara.
Namun, sebenarnya bubur kampiun tak hanya hadir sebagai takjil buka puasa. Aslinya penganan ini disajikan untuk sarapan.
Duduk menunggu pesanan di bangku yang berhadap-hadapan dengan meja saji, sambil menunggu azan Magrib saya bisa leluasa mengamati pramusaji yang sedang sibuk membungkus bubur kampiun.
Campuran dari tujuh bahan yang menyatu
Saya hitung-hitung, ia memasukkan tujuh campuran ke dalam plastik— bubur sumsum, ketan putih yang dikukus, kolak pisang dan ubi, bubur candil, bubur pacar cina, srikaya kukus, dan bubur kacang hijau. Makin penasaranlah saya dengan rasanya.
Pesanan pun tiba—seporsi bubur kampiun dan seporsi sate Padang. Sejurus kemudian suara azan berkumandang. Sesegera mungkin saya membaca doa berbuka puasa lalu pelan-pelan mencicipi bubur kampiun.
Ada rasa manis, gurih, dan sedikit asam. Campuran dari ketujuh bahannya terasa benar-benar menyatu bukannya berantakan seperti yang saya kira sebelumnya. Rasanya begitu kaya. Namun kita juga bisa mencicipi rasanya “satu per satu” seperti menikmati aksi solo setiap musisi jazz septet. “Spektrum” sumsum membawa saya pada nostalgia makan bubur sumsum yang dijual mbak-mbak yang dulu suka lewat di depan rumah.
Ketujuh bahan yang menyatu itu membuat seporsi bubur kampiun begitu mengenyangkan. Pantas saja aslinya buat sarapan. Saya sendiri sampai lumayan begah. (Terpaksa saya memberikan jeda pada sistem digestif saya sebelum menyantap makanan lain yang saya pesan, yakni sate Padang.) Ujung-ujungnya saya pulang dengan perut membesar dan tak makan lagi… hingga sahur.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
ajib.. mantap nih,, nyesel kalo nggak nyobain