“Mbak. Rebung’e, Mbak!”

Seorang wanita paruh baya, dari balik deretan baskom berisi rebung, menawarkan dagangannya kepada saya yang baru saja tiba di Pasar Gang Baru, Semarang. Komoditas yang dijualnya adalah bahan baku lumpia, makanan khas Semarang. Rebung-rebung polos itu kelak akan dibaluri bumbu rahasia oleh para artisan lumpia.

Karena bukan peracik lumpia, secara halus saya tolak tawarannya.

Saya terus berjalan menelusuri gang sempit pasar yang berada di Pecinan Semarang ini. Mata saya jelalatan menyapu sisi kanan-kiri yang dipenuhi beragam komoditas—makanan, obat tradisional, sampai perlengkapan ritual masyarakat etnis Tionghoa.

pasar gang baru
Manisan, obat-obatan, dan rempah di Pasar Gang Baru/Mauren Fitri

Di sudut pasar yang hanya ramai antara jam 5 sampai 10.30 pagi ini, saya berjumpa lagi dengan teman-teman rombongan yang ternyata sedang asyik mencicipi jamu jun. Dipikir-pikir, wajar saja mereka tampak antusias menikmati minuman khas Kota Semarang itu. Akhir-akhir ini, jamu jun memang sudah agak sulit dijumpai.

Buat kamu yang belum tahu, jamu jun terbuat dari tepung beras dicampur dua belas rempah. Namun, tak seperti jamu kebanyakan yang pahit, jamu jun manis, sebab dilengkapi dengan gula Jawa.

Nama “jun” tak ada hubungannya dengan sitkom “Jin dan Jun” yang sempat populer tahun 90-an dulu. “Jun” adalah bahasa Jawa dari wadah tanah liat mirip kendi yang jadi tempat menyimpan jamu yang sudah semakin langka itu.

pasar gang baru
Bahan-bahan jamu jun/Mauren Fitri

Menurut sang penjual, khasiat jamu jun adalah meningkatkan imunitas tubuh. Jadi, jamu yang satu ini cocok sekali disantap kalau kamu sedang masuk angin.

Dari jamu jun, saya melanjutkan penelusuran. Di satu tempat pandangan saya tertuju pada bahan makanan yang menggantung di depan rumah lawas. Sekilas, bentuknya seperti balon-balon panjang. Penasaran, saya pun mendekat untuk mengamati lebih lekat. Saking antusiasnya, saya sampai kaget ketika pundak saya ditepuk seseorang.

“Ada yang bisa saya bantu, Dek?” ia bertanya. Melihat saya yang kebingungan, ia berinisiatif memberikan informasi, “Ini bahan untuk sosis—sosis daging babi.”

pasar gang baru
Usus babi sedang dikeringkan/Mauren Fitri

Kami pun berkenalan. Paman itu bernama Bambang. Ia bercerita bahwa sudah sejak tahun 1970-an ia memproduksi sosis babi.

Dengan antusias ia membawa saya tur kecil-kecilan. Di dalam rumah milik Paman Bambang, yang ternyata juga digunakan untuk berjualan, ada paman lain yang sedang sibuk membuat sosis babi. Waktu saya tiba, ia sedang membersihkan usus babi di sebuah ember hitam besar. Dengan cekatan, ia lalu memompa usus itu terus mengikat kedua ujungnya. Kalau sudah begini, usus itu siap dijemur untuk dikeringkan.

Paman Bambang bercerita bahwa usus itu akan diisi dengan daging cincang yang sudah dibumbui dan digoreng. Lalu, usus-usus yang sudah diisi dengan daging cincang itu akan direbus sampai matang. Supaya “bungkusnya” tidak pecah saat direbus, sosis itu ditusuk-tusuk dengan garpu.

Ini adalah pengetahuan baru bagi saya.

Beberapa potong gandos hangat/Mauren Fitri

Saya pun undur diri dari kedai Paman Bambang dan kembali mengitari Pasar Gang Baru. Ternyata masih banyak bahan makanan lain yang dijual di sini. Saya melihat berbagai macam bakso—udang, sapi, ikan. Ada pula kekian dan hekian yang menjadi bahan capcay, kue basah dan kue kering, buah, sayur, dan hasil laut.

Selain bahan makanan—dan jamu jun—di kawasan Pasar Gang Baru kamu juga akan menemukan kuliner-kuliner menarik seperti es gempol Pleret (ala Bu Riyanti), es cincau, lontong pecel, gandos, dan sayur asin khas peranakan.

Kapan-kapan, sempatkanlah blusukan ke Pasar Gang Baru. Percayalah, banyak sekali hal menarik yang bakal kamu dijumpai di sana.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar