Kenangan di Desa Gung Pinto di Sumatera Utara barangkali adalah salah satu pengalaman tak terlupakan bagi saya. Bulan Oktober tahun lalu, saat penelitian di sekitar Gunung Sinabung, Gung Pinto bukanlah tujuan utama tim riset saya. Namun, untuk memperkaya data, akhirnya kami berangkat juga ke desa itu.
Kami bertujuh naik mobil dari penginapan di Berastagi. Jalanan menuju Gung Pinto sempit dan berkelok. Tanpa peta, kami berhenti beberapa kali untuk menanyakan letak Desa Gung Pinto. Bahkan kami sempat nyasar di desa mati yang menjadi sepi karena erupsi Sinabung. Rasanya seperti berada dalam film Silent Hill!
Akhirnya kami tiba di jalan beraspal yang diapit pohon-pohon jeruk (sebelumnya pemandangan didominasi tanaman sayur). Bang Rei lalu menelepon seseorang. Rupanya ia punya kawan akrab yang tinggal di Gung Pinto.
Kami diminta menunggu di tepi kebun jeruk. Sepuluh menit kemudian kawan Bang Rei itu, Bang Martin, datang dengan sepeda motor. Ia menyuruh kami mengikutinya. Bang Rei bercerita bahwa Bang Martin adalah kawannya saat masih kuliah di Jogja.
Setelah lulus dan jadi sarjana pertanian, ia pulang dan menjadi petani di desanya. Cerita yang jarang saya dengar.
Warung kopi milik biduan
Motor Bang Martin berhenti di depan sebuah warung kopi. Kami turun di sana. Warung itu tak terlalu besar. Bangunannya dari kayu dan hanya diisi oleh tiga meja yang ditemani oleh bangku-bangku panjang.
Ada satu televisi yang menggantung jumawa di sudut ruangan. Di salah satu dinding kayu saya melihat sederet foto yang ditempelkan dengan paku payung. Pemilik warung kopi itu adalah Paten Sembiring alias Sugeng (e nya dibaca taling).
Panggilan Sugeng didapatnya dari seorang transmigran Jawa yang melihat bahwa mukanya mirip orang Jawa.
Selain membuka warung, Pak Paten ternyata juga seorang pemusik. Ia punya grup musik tradisional gendang kulcapi yang kerap tampil di berbagai tempat, salah satunya di lokasi pengungsian erupsi Sinabung.
“Saya nyanyi biar orang gembira, bang,” ujarnya saat mengajak kami melihat foto-foto yang ditempel di dinding. “Jadi [mereka bisa] lupa dengan kesusahan karena Sinabung erupsi.”
Beberapa kali Pak Paten dan grup musiknya mengisi acara di radio komunitas setempat. Mereka bahkan membuka kesempatan bagi pendengarnya untuk me-request lagu. “Kalau saya tidak tahu judul lagunya, saya katakan saja, ‘nanti dinyanyikan di lain waktu, sekarang saya belajar dulu.’” Ia pun terkekeh.
Bernyanyi bersama biduan Gung Pinto
Pak Paten lalu mengambil perlengkapan musik yang sedari tadi tergantung di dinding dekat televisi. Ia mengambil sebuah buku tebal berisi daftar lagu dan juga… foto! Di bawah setiap foto ia menuliskan keterangan, mirip dengan caption di instagram—tanpa tagar tentunya.
Bang Martin yang sedari tadi berbincang dengan Bang Rei berkata bahwa kami tak perlu keliling desa untuk mencari data; ia yang mendatangkan warga desa ke warung itu untuk kami wawancarai. Pak Paten tentu saja senang sebab itu artinya kami bisa tetap di sana untuk bernyanyi bersama.
Saya membuka halaman daftar isi, lalu mulai memilih lagu. Kami bernyanyi bermacam genre, mulai dari religi hingga lagu pop Karo. Pak Paten memainkan kulcapi yang bersenar dua. Kawan saya diajarinya keteng-keteng, alat musik tradisional Karo yang terbuat dari bambu.
Kami pun bernyanyi dengan gembira ditemani kopi, jeruk, dan terong belanda hingga pukul 5 sore. Saat pamit untuk kembali ke Berastagi, kami membawa pulang kenangan manis bernyanyi gembira bersama biduan Gung Pinto, Paten Sembiring.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
2 komentar
Bang martin yg jemput & nganterin itu bang martin sitepu bukan? Kuliahnya di UMY jogja (agro). Klau yg itu, bang martin sitepu temen saya..
Iya betul, bang Martin Sitepu yang kuliah di UMY 🙂