Pagi, 5 November 2020, saat ayam jantan dan burung-burung di hutan sedang berbincang, dari rumah dan jalan-jalan berlapis pecahan karang dan batu gunung, terdengar teriakan manusia, “Rai neroakh berut rae megasbo!” Artinya: “Mari semua kumpul!”
Teriakan-teriakan itu berhasil mengumpulkan beberapa orang dari Kampung Rufases, yang kemudian berjalan mendekat ke Kampung Seya. Kedua kampung itu memang bersebelahan saja. Hari itu, pukul 10.00 WIT, akan ada kegiatan bersama Tim Ekspedisi di depan rumah Bapak Kepala Kampung Seya. Sudah jadi kebiasaan di kedua kampung itu untuk berteriak memanggil warga jika ada kegiatan, sebagai pengganti pelantang.
Kedua kampung ini termasuk baru di Distrik Mare, Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Meskipun penataan lahannya sudah dilakukan sejak 2010, baru 2015 keduanya dibangun dengan Dana Desa. Perjuangan para pionir membangun kampung tak bisa dibilang mudah. Komunitas itu sudah berpindah tempat lebih dari sepuluh kali. Tempat terakhir kali mereka bermukim, sebelum di lahan sekarang, selain terlalu sempit untuk dikembangkan, juga rawan longsor.
Moses Nauw, tokoh kampung, bertutur bahwa salah satu alasan dipilihnya lokasi ini sebagai lahan permukiman adalah soal sejarah. “Dulu penyebaran injil setelah dari Ayamaru adalah di tanah ini. Untuk itu kami kembali lagi untuk membangun tanah ini,” jelasnya. Jarak yang hanya sekitar 3 km dari sumber air juga menjadi alasan. Tapi untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari, kampung ini lebih mengandalkan langit. Karena itulah hampir di setiap rumah ada bak terpal sederhana untuk menampung air hujan.
Topografi Distrik Mare yang berbukit-bukit membuat akses menuju kampung ini cukup sulit. Orang-orang mesti siap-siap menghadapi kubangan lumpur serta tanjakan-turunan curam. Hanya mobil-mobil gardan ganda yang sanggup keluar-masuk kampung-kampung. Perlu waktu 8 jam dari Sorong untuk untuk ke Distrik Mare; sewa mobil Rp5 juta pergi-pulang.
Acara pun dimulai. Moses Nauw memulai acara dengan sambutan sekaligus memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang ekspedisi ini sehingga kegiatan dapat berjalan dengan lancar.
“Saya sempat mencari tahu di Google tentang EcoNusa, dan saya lihat ini bagus sekali untuk kita semua yang ada di kampung. Mereka datang untuk memberikan motivasi dan membantu petani. Jadi, kita sebagai masyarakat yang menjadi penggerak untuk melakukan,” terangnya.
Sekitar 30 orang warga kampung kemudian mendengarkan penjabaran Utreks Hembring soal bagaimana mengolah tanah secara tepat guna, tentang pengoptimalan bibit, serta mengenai pengendalian hama.
Dari hasil diskusi diketahui masyarakat sering melakukan ladang berpindah. Beberapa kali pula mengalami gagal panen karena hama tanaman. Mereka sudah menanam secara multikultur, mulai dari tanaman-tanaman lokal seperti ubi, singkong, dan pisang, sampai tanaman yang bibitnya diperoleh dari luar, seperti sawi, tomat, dan cabe. Dalam berladang, mereka mempraktikkan sistem tabur, dengan hanya menebarkan bibit kemudian menunggu hasilnya.
Warga peserta penyuluhan makin antusias ketika tim ekspedisi menyerahkan dukungan berupa bibit sayuran, pupuk organik, dan alat pertanian seperti pacul dan semprotan.
Menurut Beyum Antonela Baru, relawan yang sudah 18 bulan berbaur bersama masyarakat di Distrik Mare, kedatangan bibit-bibit itu sangat membantu. Ini sudah musim tanam dan hasil pertanian dari bibit-bibit yang diserahkan EcoNusa itu dapat dipanen ketika Natal.
Wah, sebentar lagi dong panennya?
Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.