Dari stasiun Senen, kami bertolak ke Malang, Jawa Timur. Kereta api Matarmaja dengan biaya Rp150.000 per orang, akan membawa kami dalam jangka waktu kurang lebih 16,5 jam perjalanan. Setibanya di kota yang dicap sebagai kota pendidikan tersebut kami bertemu dengan regu pendaki yang juga berasal dari Jakarta, Indra dan Ical.
Setelah makan siang bersama di alun-alun kota, kami menaiki angkot TA atau Tumpang-Anjung Sari, menuju Pasar Tumpang. Di sekitar Pasar Tumpang, kami menyewa basecamp dan menjadikannya tempat menyimpan barang yang sekiranya tidak diperlukan pada saat melakukan trekking atau pendakian. Basecamp tersebut sudah dilunasi di awal bersama tiket dan simaksi yang sekiranya kurang lebih Rp500.000 selama kurang lebih 5 hari untuk 4 orang.
Setelah istirahat sejenak dan melengkapi beberapa kebutuhan lain di pasar tradisional, Pasar Tumpang, kami segera menaiki jip menuju desa terakhir, Ranu Pani. Harga sewa Jeep umumnya Rp650.000 untuk kapasitas 10-12 orang dan memakan waktu 1,5 jam perjalanan.
Ketika sampai di Ranu Pani, kami hanya tinggal daftar kembali atau sekadar melapor dan menunjukkan bukti pendaftaran serta memberikan KTP dan nomor telepon yang bisa dihubungi tanpa harus mengeluarkan biaya karena sudah dilunasi via online dengan biaya Rp19.000 – Rp24.000 per orang.
Bertolak dari Ranu Pani kami mulai berjalan kaki sejauh 3 km mengikuti jalur yang telah dibuat khusus ke arah Landengan Dowo yang disambut dengan perkebunan maupun persawahan serta tanjakan-tanjakan kecil yang lumayan menguras tenaga. Perjalanan dari Ranu Pani ke Landengan Dowo bisa memakan waktu 1,5 jam.
Lalu, kami berjalan kaki lagi sejauh 3 kilometer menuju Watu Rejeng yang bentang alamnya sudah memasuki hutan rimba dan perbukitan. Perjalanan ini juga memakan waktu sekitar 1,5 jam.
Dari Watu Rejeng kami lanjut lagi sejauh 4,5 km ke Ranu Kumbolo dengan estimasi waktu 2 jam perjalanan naik turun bukit-bukit kecil yang memakan banyak tenaga, tidak heran jika di setiap pos kami akan rehat sejenak. Di jalur ini giliran Ivan yang kondisi tubuhnya melemah. Asmanya kambuh yang membuat kami harus berkali-kali harus rehat di jalur pendakian dan pada akhirnya tiba di Ranu Kumbolo ketika magrib telah usai.
Di danau indah tersebutlah kami bahu-membahu membangun tenda di tengah suhu yang dingin serta gelap yang indah dikarenakan di angkasa terlihat jelas bintang-bintang bertaburan yang nyaris tidak pernah ditemukan ketika berada di Jakarta. Indah sekali, seperti berada di tepian Danau Telaga atau Danau Lindu di Sulawesi Tengah.
Seusai memasak dan makan malam bersama, kami segera beristirahat karena sudah terlalu lelah. Kali ini, giliranku yang kondisi tubuhnya tidak baik, aku diserang demam. Menggigil kedinginan, untung saja Rey sigap lalu segera mengobatiku. Ia takut jika aku diserang hipotermia.
Setelah makan siang, perjalanan kembali kami lanjutkan. Danau di belakang kami semakin terlihat indah ketika melihatnya dari jalur Tanjakan Cinta. Mitos yang beredar di kalangan pendaki, apabila mendaki di jalur pendakian ini tanpa istirahat dan menengok ke kanan serta kiri, maka kisah percintaan yang diimpikan bisa terkabul.
Faktanya, aku hanya bisa merasakan capek dan haus. Tapi soal Ranu Kumbolo yang semakin indah dilihat dari puncak bukit Tanjakan Cinta, itu nyata.
Setelah puas menikmati sajian alam tersebut, kami segera turun menyusuri Oro-oro Ombo, yang merupakan rumah dari tumbuhan Verbena Brasiliensis. Sayang, bunga yang jika mekar berwarna ungu mirip bunga lavender itu sedang tidak mekar. Verbena memang merupakan semak tahunan yang tumbuh dari Januari hingga Agustus. Verbena Brasiliensis berpotensi merusak ekologi karena bunga ini menyerap air sangat banyak dan cepat membuat daerah di sekitarnya kekeringan. Jika perkembangannya tidak dikendalikan, Verbena dikhawatirkan akan menguasai habitat dan menggeser tanaman asli Oro-oro Ombo, juga mengganggu ekosistem.
Sekitar setengah jam kemudian rombongan kami akhirnya tiba di Cemoro Kandang dengan ketinggian kurang lebih 2500 mdpl. Di kawasan ini terdapat spesies bunga daisy.
Kemudian kami lanjut lagi berjalan naik turun bukit selama setengah jam menuju Jambangan di ketinggian 2600 mdpl. Di wilayah ini bunga edelweis terlihat tumbuh liar layaknya tumbuhan lain. Lalu, sesuatu yang membuat hati semakin bergetar ketika melihat Mahameru dari kejauhan, ia terlihat gagah, aku terpesona.
Di Jambangan kami bertemu dengan pendaki lain dengan tujuan yang sama. Salah satunya ialah rombongan polisi asal Makassar yang tengah melakukan ekspedisi pendakian bersama yang ternyata di pandu oleh Mas Rochman Pembelot, pendaki yang terkenal dengan ekspedisi 0 rupiah. Puas menikmati suguhan keindahan yang ada, kami lanjut berjalan sejauh 3 km menuju Kalimati.
Pos ini berada di ketinggian 2700 mdpl. Terdapat sebuah bangunan serupa dengan yang ada di Ranu Kumbolo. Saat itu yang berkemah di Kalimati cukup ramai, beberapa tenda berdiri dengan warna yang berbeda-beda. Di Kalimati terdapat sumber mata air bernama Sumber Mani, butuh waktu berjalan sekitar setengah jam pulang pergi untuk menuju sumber mata air tersebut. Disarankan pendaki tidak ke Sumber Mani sendirian apalagi pada malam hari karena di wilayah ini masih banyak binatang buas berkeliaran. Sebelum gelap tiba sudah harus berada di area tenda.
Selesai makan malam bersama, kami segera masuk ke tenda karena udara di luar semakin dingin. Lebih dingin dari ruang kantor berpendingin udara. Karena lelah, kami tertidur cukup lelap dan bangun pada pukul 1 pagi. Inilah pendakian sebenarnya. Tidak ada lagi kata landai seperti yang sudah dilewati sebelumnya.
Rey dan Ivan sempat mengucapkan kata-kata mundur. Dalam artian, cukup di Kalimati saja. Tidak usah Mahameru. Ivan terlihat ragu, aku pesimis melihat semangat redupnya. Dia semacam racun akan bara semangatku sendiri. Sementara, aku dan Toni yakin bisa berdiri di Puncak Semeru. Seperti yang kita tahu, pendakian resmi Gunung Semeru sebenarnya hanya diizinkan sampai Kalimati. Lebih dari itu, risiko harus pendaki tanggung sendiri jika terjadi sesuatu yang bisa jadi kurang mengenakkan.
“Tidak akan kubiarkan siapa pun yang merusak impianku!” batinku.
Seusai berdoa bersama, semua pendaki siap untuk summit attack. Setengah jam kemudian, sebelum menembus batas vegetasi, Ivan semakin menunjukkan hal-hal yang seharusnya ia tidak melakukan pendakian. Tiga menit berjalan, istirahat sampai lima menit. Begitu seterusnya, sementara udara semakin dingin dan angin mulai bertiup kencang.
Ia memintaku untuk segera membawanya turun, tetapi tentu saja aku tidak mau. Usia yang lebih tua tujuh tahun dariku membuatnya seolah menganggap aku pemuda yang tidak bertanggung jawab dan terlalu mementingkan diri sendiri.
Jujur, aku merasa bersalah, tetapi selain impian, aku mempunyai alasan yang jelas mengapa memilih untuk tetap naik ke puncak. Ia marah besar, tubuh tak berdaya itu ditolong oleh seorang pemuda baik hati, Ical, ia berkorban demi keselamatan dan kebaikan bersama. Aku merasa berhutang budi terhadapnya.
Sekali lagi, ini bukan hanya soal impian besar atau kesetiakawanan. Memang benar, puncak sebenarnya adalah pulang dengan selamat. Tetapi, pilihan dia sendiri yang membuatku lebih memilih puncak. Andai saja, dari bawah, dari tenda ia memilih untuk tetap tinggal. Mungkin, itu lebih terhormat ketimbang menyusahkan banyak orang di jalur pendakian. Perlahan air mata ini jatuh, jatuh bersama embun dan gerimis di dedaunan. Rasa bersalah ini akan kusimpan selamanya.
Sementara Rey dan Toni sudah jauh di atas sana, mereka sudah melewati batas vegetasi. Indra menguatkan aku. Di antara rasa takut dan kesedihan yang baru saja dilalui, kami akhirnya berhasil melewati Arcopodo.
Kabarnya, di wilayah ini pendaki sering menemukan patung tak kasat mata. Hanya pendaki beruntung saja yang bisa melihatnya. Aku dan Indra terus naik, Rey menunggu kami sementara Toni sudah jauh di atas sana.
Melihat aku dan Rey sedang serius dalam obrolan, Indra segera meninggalkan kami.
Rey bertanya, “Zar, apa Ivan baik-baik saja? Oh iya, kalau berhasil berdiri di puncak sana, apa yang akan kamu lakukan setelahnya?”
“Seharusnya sejak tadi di Kalimati, dia sudah menyerah. Jadi tidak ada pihak yang dirugikan. Aku merasa bersalah sekaligus berhutang budi kepada Ical. Untuk itu, aku berjanji setelah ini aku akan lebih mencintai alam ini.”
“Maksudmu? Dengan cara apa? Aku saja tidak yakin akan berhasil berdiri di sana. Kita sama-sama terlihat payah.”
“Aku bersumpah akan berhenti merokok. Demi nafas yang sesak dan kepentingan menyelamatkan bumi dari asap rokok,” pungkasku.
Aku dan Rey saling terus berjalan hingga tiba di Mahameru. Aku langsung bersujud syukur. Air mata kembali menetes. Haru biru di Mahameru. Aku dan Rey berpelukan. Aku tidak membawa wanita perkasa itu ke atapnya Pulau Jawa ini, dialah yang membawa dirinya sendiri. Dia bangga, aku pun demikian.
Sejenak merenung, inilah saat yang tepat. Maka kubiarkan mereka semua turun lebih dulu, sementara diri ini berjalan pelan menuju bibir kawah Jonggring Saloko.
“Demi impian yang telah terwujud ini, wahai pemilik Jonggring Saloko, aku bersumpah akan berhenti merokok demi keselamatan diri dan bumi dari asap rokok!” Pekikku.
Beberapa saat kemudian kawah itu seakan bergetar dan mengeluarkan asap seakan menerima sumpahku. Aku ketakutan.
Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhir di sini karena menghirup zat racun yang berasal dari kawah tersebut. Takut hal itu terjadi kepadaku, aku segera menyusul turun. Padahal hati masih betah di Mahameru.
Setiba di Kalimati, aku segera menemui Ivan yang sedang bersantai di atas hammock lalu segera meminta maaf dan mentraktirnya air minum dan buah semangka segar. “Mendaki gunung adalah sebuah perjalanan spiritual, tidak bisa direkayasa. Sejak turun dari Mahameru, aku putuskan untuk berhenti merokok.” — Etzar D Sastra.
“Mendaki gunung adalah sebuah perjalanan spiritual, tidak bisa direkayasa. Sejak turun dari Mahameru, aku putuskan untuk berhenti merokok.” – Etzar D Sastra.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.