Mang Ade Puncak merupakan sebuah nama yang cukup familiar bagi kalangan pesepeda. Nama ini merujuk kepada sebuah warung nasi di kawasan Puncak Pas, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, yang menjadi posko para pesepeda gunung (MTB).

Meskipun demikian, kini tak hanya pesepeda gunung yang singgah atau menyambangi Warung Nasi Mang Ade. Para pengguna sepeda balap (road bike), sepeda lipat, sepeda touring hingga BMX kerap singgah di Warung Mang Ade. Lebih-lebih pada hari Sabtu dan Minggu maupun hari-hari libur lainnya.

Di dinding depan Warung Mang Ade tertempel ratusan sticker komunitas sepeda dari pelbagai daerah. Pesepeda yang tergabung dalam komunitas sengaja menempelkan sticker komunitasnya sebagai tanda bahwa mereka berhasil muncak ke Warung Mang Ade, yang berada di ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut.

Bagi saya—dan mungkin juga kebanyakan para pesepeda lainnya—yang membuat Warung Mang Ade istimewa adalah karena proses perjalanan ke tempat ini. Menuju Mang Ade dengan cara mengayuh sepeda, bagaimanapun, perlu sedikit perjuangan, ketekunan, dan ketabahan. Pasalnya, mau menempuh dari arah Bogor ataupun dari arah Cianjur, kita mesti siap lahir batin menghadapi sejumlah tanjakan.

Bersepeda Melibas Tanjakan Ciloto ke Warung Mang Ade
Para pesepeda di Warung Mang Ade Puncak (Djoko Subinarto)

Kesempatan Ketiga ke Mang Ade

Saya sendiri sudah dua kali sepedaan ke Warung Mang Ade. Pertama, tahun 2019. Yang kedua, tahun 2021. Dalam dua kali kesempatan itu, saya menyambangi Mang Ade dari arah Cianjur dan kepayahan, terutama saat merayapi tanjakan di daerah Ciherang dan Ciloto. Namun, toh sama sekali tidak membuat menyesal, kapok atau jera. Buktinya, awal Mei 2023 lalu, untuk kali ketiga saya kembali menyambangi Mang Ade.

Sama seperti kunjungan kedua, saya menggunakan sepeda lipat roda 16 inci, yang saya beli dalam kondisi seken seharga Rp300.000. Sepeda ini model single speed dengan kombinasi gear depan dan belakang 44:16. Ini berbeda dengan kunjungan pertama, saya menggunakan sepeda lipat pinjaman dengan ban 20 inci, enam speed, dengan kombinasi gear depan-belakang 48:14–28.

Di kunjungan ketiga ke Mang Ade ini saya juga mengayuh dari arah Cianjur. Saya berangkat sekitar setengah tujuh pagi dari Pasar Gekbrong, Cianjur. Dari depan Pasar Gekbrong, saya meluncur ke arah utara memasuki daerah Padabeunghar, lantas menembus perkebunan teh Tegallega hingga masuk ke wilayah Tugu, Cugenang, dan keluar di Jalan Raya Cugenang–Cipanas.

Awalnya kayuhan masih terasa enteng. Maklum, tanjakannya masih tipis. Barulah saat mendekati daerah Taman Rindu Alam, Ciherang, kayuhan terasa mulai berat. Dari belakang, seorang pengendara RB dengan jersey hijau-hitam mendahului saya. “Ayo, Om!” sapanya. 

“Siap!” balas saya. Saya tak berniat mengikutinya, apalagi mendahuluinya. Sia-sia saja. Road bike yang beroda lebih besar tersebut tentu bukan tandingan sepeda lipat single speed, yang di tanjakan paling banter mampu melaju antara 5–6 kilometer per jam, seperti yang saya tunggangi. Lagi pula saya sudah mulai agak ngos-ngosan melahap tanjakan Ciherang. 

Dari depan Taman Rindu Alam ke arah barat, jalanan masih terus menanjak dan membuat saya makin kepayahan. Kayuhan kaki pun terasa semakin berat. Barulah saat memasuki wilayah Cipanas, jalanan agak melandai. Bahkan ada sedikit bonus turunan beberapa puluh meter. Lumayan, saya tak perlu kerja terlalu keras mengayuh pedal.

  • Bersepeda Melibas Tanjakan Ciloto ke Warung Mang Ade
  • Bersepeda Melibas Tanjakan Ciloto ke Warung Mang Ade

Menyiksa Diri di Tanjakan Ciloto

Lalu lintas di Jalan Raya Cipanas pagi itu belum begitu ramai. Saya sempatkan berhenti sebentar di depan Istana Kepresidenan Cipanas yang megah. Sekadar mengambil beberapa gambar dari luar pagar. Ingin rasanya bisa masuk dan melihat-lihat kondisi di dalam istana. Akan tetapi, mustahil bagi saya. Untuk dapat masuk ke istana sudah pasti perlu izin khusus dan juga harus memiliki tujuan serta kepentingan yang jelas.

Gerbang di samping timur dan gerbang tengah Istana Cipanas tampak tertutup rapat. Adapun gerbang sisi barat sedikit terbuka. Terlihat ada seorang penjaga yang tengah bertugas pagi itu.

Beres mengambil foto Istana Cipanas, saya kayuh lagi sepeda. Dari depan Pasar Cipanas hingga persimpangan menuju Kebun Raya Cibodas, jalanan tidak begitu menanjak. Baru setelah itu, tanjakannya mulai kian terjal. Terutama saat memasuki daerah Ciloto. Tanjakan tersebut bikin lutut cenat-cenut, napas Senin–Kamis, dan paha pegal linu.  Apa boleh buat. Pilihannya toh cuma dua. Jika mau terus ke Mang Ade, nikmati saja siksaan tanjakannya. Jika tidak, ya, tinggal putar balik saja. Kalau kata Gus Dur, gitu aja kok repot.

Dan saya ambil pilihan pertama, yakni menikmati siksaan tanjakan Ciloto agar bisa sampai ke Mang Ade. Demi menyiasati rasa payah saat harus terus menanjak, saya memainkan jurus: kayuh-berhenti-kayuh. Lewat jurus ini, saya paksa diri untuk mengayuh beberapa puluh meter sampai titik tertentu lalu setop beberapa saat. Mengatur napas dan melemaskan kaki, kemudian mengayuh lagi. Beberapa kali seperti itu. Akhirnya saya mampu juga lolos dari tanjakan Ciloto yang memayahkan. 

Dari penanda jarak yang terpasang di pinggir jalan, akhirnya saya ketahui, hanya tinggal dua kilometer lagi saya bakal sampai ke kawasan Puncak Pas. Saya terus kayuh perlahan pedal sepeda dengan sisa tenaga hingga ke tikungan Puncak Pas.

Saya lantas tuntun sepeda dan naik ke tebing Puncak Pas. Beberapa muda-mudi terlihat tengah asyik nongkrong di atas tebing. Beberapa lainnya tengah mengatur pose swafoto untuk mengabadikan diri mereka dengan latar belakang Jalan Raya Puncak nun di bawah sana.

Saya menikmati sejenak panorama Puncak Pas dari atas tebing. Setelah itu, saya turun dan kemudian gowes perlahan menuju Warung Mang Ade, yang jaraknya hanya sekitar 120 meter dari tikungan Puncak Pas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar