Travelog

Tembakau Garangan: Pengetahuan Lokal Masyarakat Dieng (2)

Belum puas berkunjung di sekitar Pasar Induk Wonosobo, saya memutuskan untuk melaju ke daerah Dieng. Dataran tinggi yang menjadi pusat pariwisata Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Menurut tutur informasi yang saya terima, masyarakat Dieng memiliki tradisi dan pengetahuannya sendiri terkait tembakau garangan. Selain memang Dieng terkenal sebagai lahan yang cocok untuk menanam tembakau.

Saya melaju dari arah kota selama satu jam untuk sampai ke Dieng. Jarak yang saya tempuh tidak terlalu jauh. Namun, arus lalu lintas yang begitu padat dan kontur jalan menanjak membuat saya cukup lama menghabiskan waktu di jalan.  

Ketika sampai di kawasan Dieng, saya cukup kewalahan dengan suhu rendah yang menusuk kulit. Saya sampai harus memakai dua jaket sekaligus. Maklum, saya terbiasa hidup di pesisir sehingga cukup kaget dengan kondisi tersebut.

Seorang pemuda gimbal bernama Fizi sudah menanti-nanti kehadiran saya. Sebelumnya saya sudah menjalin kontak untuk berkunjung ke tempatnya. Fizi adalah sosok yang ramah. Ia kerap memaksa saya menginap di rumahnya, lantaran kondisi tubuh saya yang tidak memungkinkan untuk pulang saat itu juga.

Tembakau Garangan: Pengetahuan Lokal Masyarakat Dieng (2)
Tembakau garangan khas Dieng, Wonosobo/Mohamad Ichsanudin Adnan

Beda Tembakau Garangan dari Pasar dan Dieng

Selama berada di rumahnya, saya sempat memerhatikan ayah Fizi khusyuk melinting tembakau garangan. Saat itu kami sedang seru-serunya membicarakan tentang bola, karena apalagi bertepatan dengan momen Piala Dunia FIFA Qatar 2022. Saya pun tidak mau kalah menunjukkan tembakau garangan yang saya beli di toko Pak Tanir sebelumnya.

Ketika saya mengeluarkan tembakau itu dari tas kecil saya, sontak mereka terkejut. Mereka tidak menyangka bila ada orang dari luar Wonosobo yang mengenal komoditas tersebut. Saya sendiri mengaku kalau mengenalnya baru-baru ini, bahkan melintingnya pun masih kaku.

Jika mengamati lebih lanjut, tembakau yang saya beli di pasar ternyata memiliki bentuk dan wujud berbeda dengan jenis tembakau yang masyarakat Dieng miliki. Tembakau yang ada di pasar cenderung berbentuk sampai gepeng agar tidak kemasukan angin. Waktu penyimpanannya pun bisa sangat lama sehingga bentuknya menjadi kotak dan sulit untuk melinting tembakau garangan tersebut. Adapun tembakau yang belum masuk ke pasar cenderung terurai dan mudah sekali melintingnya. 

Ayah Fizi mengaku mendapatkan tembakau dari petani yang berada di Kecamatan Kejajar. Daerah tersebut juga merupakan lokasi yang tepat untuk mencari garangan, karena banyak dari warganya yang masih menanam tembakau. Sementara di daerah tempat tinggal Fizi, lahan tembakau sudah beralih menjadi komoditas lainnya, seperti carica, kentang, dan tanaman sayur lainnya. 

Tembakau di Kejajar terbilang cukup murah daripada membelinya di pasar. Hal tersebut karena proses jual beli yang berhadapan langsung dengan petani. Tanpa perantara sama sekali. Meskipun demikian, tembakau tersebut cenderung masih terurai sehingga daya simpannya tidak selama yang ada di pasar..

Pengetahuan Lokal Tembakau Garangan Dieng

Saya yang terbilang belum lama mengenal garangan, sontak mengajukan beberapa keresahan lain mengenai tembakau yang saya pegang ini. Belakangan saya kerap menjadikan tembakau garangan sebagai rokok utama, menggantikan rokok bungkusan yang bisa saya beli di warung. Sejak mengonsumsi tembakau garangan, saya jadi tidak doyan dengan jenis rokok bungkusan yang beredar di pasaran.

Akan tetapi, saya malah bingung dengan jenis tembakau yang satu ini. Tak hanya proses melintingnya yang susah, tembakau ini juga cenderung tidak mudah untuk dibakar. Sampai-sampai sisa minyak di korek saya habis hanya untuk mengisapnya. Setiap kali berhasil saya isap, bara yang keluar malah cepat meredup. Tak ada pilihan selain terus-menerus mematikan api.

Menurut ayah Fizi, sumber masalah yang saya alami terdapat pada proses meraciknya. Tembakau garangan membutuhkan kemenyan agar bisa menciptakan rasa yang halus. Namun, kita mesti melakukan proses penaburan kemenyan dengan cermat. Jika kemenyan terlalu banyak, maka tembakau akan sulit untuk terbakar. Bila terlalu sedikit, tembakau jadi sangat menyiksa tenggorokan. Maka menabur kemenyan harus secara merata dan jumlahnya tidak terlalu berlebihan.

Selain dari proses peracikan, teknis memantik api ke tembakau juga harus diperhatikan. Berbeda dengan rokok atau jenis tembakau lain yang hanya butuh sekali pantik, tembakau garangan perlu beberapa kali memantik api dalam waktu yang cukup lama. Tujuannya agar kemenyan pada tembakau dapat terbakar secara sempurna. 

Namun, jangan kaget bila bara apinya malah menjadi makin besar. Dan tidak perlu repot-repot meniup api, cukup biarkan sampai berangsur padam. Nyala api yang besar muncul karena proses pembakaran kemenyan. Kemenyan yang terbakar secara sempurna akan mati dengan sendirinya. Jika mematikan api secara sengaja maka proses pembakaran tersebut belum benar-benar membakar kemenyan.

Selain itu, waktu dan suasana batin ternyata juga berpengaruh terhadap rasa yang tembakau itu hasilkan. Saya akui tidak begitu paham alasan yang masuk akal di balik faktor tersebut. Namun, selama saya mengisap tembakau garangan, fenomena ini kerap saya jumpai dalam keseharian. Maka dari itu, guna menciptakan rasa yang baik perlu juga memerhatikan suasana. Mungkin juga karena suasana batin yang buruk, sehingga membuat proses peracikannya jadi tidak sempurna.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Kerap dipanggil sebagai Suden, kini tinggal di Yoyakarta dan sedang menempuh pendidikan panjangnya di menfess Twitter.

Kerap dipanggil sebagai Suden, kini tinggal di Yoyakarta dan sedang menempuh pendidikan panjangnya di menfess Twitter.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kebijakan Cukai Rokok dan Eksploitasi Petani Tembakau di Temanggung