PILIHAN EDITORTRAVELOG

Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep

Siang itu, saat libur tahun baru, saya pergi mengantar ibu dengan motor, bersilaturahmi ke teman lamanya di desa sebelah. Teman ibu itu menyilakan kami duduk di beranda rumahnya.

Betapa pun ia kaya, tetapi ia tak mengubah begitu saja bentuk rumahnya; masih nuansa kuno yang oleh orang Madura disebut Roma Pacenan, rumah dengan fitur beranda yang luas sebagai tempat untuk menjamu tamu. Saya pun bertanya banyak tentang beranda. Teman ibu bercerita perihal beranda.

Percakapan ibu dengan teman lamanya sungguh begitu karib, diselingi tawa dan canda khas masa lalunya yang kadang tidak saya pahami. Keduanya seperti tengah meluapkan rasa rindu yang selama ini tertahan. Semua luap dalam aktivitas bertamu siang itu.

  • Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep
  • Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep

Filosofi Beranda bagi Orang Sumenep

Bagi orang Sumenep, Madura, beranda bukan semata fitur eksterior bangunan untuk orientasi estetik. Juga tidak sekadar transformasi desain fasad dari imaji-imaji artistik. Lebih dari itu, ia adalah manifestasi dari karakter ramah pemiliknya. Lambang rasa empati. Atribut kesolidan yang dicandrakan untuk menunjukkan rasa sosial yang tinggi.

Beranda dibangun sebagai podium kultur guna merepresentasikan spirit kesetiakawanan melalui aktivitas moy-tamoyan (kegiatan bertamu), yang biasanya berlangsung dengan komposisi percakapan seputar aktivitas keseharian. Tentu saja dilengkapi dengan seruputan kopi, hidangan camilan, dan nyala rokok yang mengepulkan asap. Semua larut dalam cakap yang setara, upaya menarik simpul temali ukhuwah, agar kian erat dan kuat.

Di beranda, denah posisi antarkursi tamu ditaja saling berhadap-hadapan, meja berada di tengah-tengah sebagai pola sekat minimalis dengan fungsi pokok sebagai tempat saji aneka suguhan. Sehingga dengan posisi seperti itu, percakapan bisa dimungkinkan untuk lebih energik dan komunikatif karena tamu dan tuan rumah bisa saling tatap atau bermuwajahah.

Bagi orang Sumenep, menatap wajah lawan bicara adalah sebuah etika, agar si lawan bicara merasa betul-betul diresapi, direspons, dan dihormati dengan baik. Kecuali ketika lawan bicara adalah orang-orang yang disegani, seperti kiai, guru, mertua, dan lainnya, maka hendaknya direspon dengan cara menunduk takzim. Demikian beranda bagi orang Sumenep dimaknai sebagai tempat pergulatan beragam bentuk etika guna menghadirkan eksistensi diri sebagai manusia yang berbudaya. Beranda juga sebagai bukti historis untuk menaut temali persaudaraan di tengah konfigurasi wilayah hunian yang terpecah-pecah karena terpisah oleh bentang ladang sebagaimana yang digambarkan Ma’arif (2015: 131).

Dari beranda dan percakapan ringan itulah kemudian muncul gagasan-gagasan brilian, rencana-rencana prospektif, yang bersintesis membentuk muara konsensus dari beragam perspektif. Sebagai masyarakat agraris, topik yang sering diperbincangkan di beranda—terutama oleh masyarakat desa—biasanya lebih pada kupasan perihal pertanian. Obrolan seputar etos dan mekanisme kerja agraris itulah yang menggebukan spirit berdiskusi masyarakat Sumenep kian hidup di beranda. Bahkan di masa penjajahan, beranda jadi sentra komunikasi bagi tumbuhnya embrio perjuangan, yang diimplementasikan jadi perlawanan-perlawanan heroik dalam rangka meredam praktik-praktik kolonial yang mengancam kehidupan bangsa dan negara.

Konon, orang Sumenep yang rumahnya tak memiliki beranda, bisa disimpulkan sebagai orang yang cenderung individualis, kurang membuka pintu untuk aktivitas sosial, dan seperti dengan sengaja membuat garis demarkasi yang berjarak dengan interaksi warga pada umumnya. Maka orang-orang menjadi sungkan untuk bertamu.

Kalaupun misalnya di dalam rumah itu ada ruang tamu khusus, tetapi bagi orang Sumenep, ruangan interior lebih dipahami sebagai wilayah privasi, macam semesta mini bagi aktivitas intern keluarga yang bersifat rahasia, atau sebagai tempat barang-barang yang tak boleh dijangkau publik. Itulah alasan deduktif yang lahir atas pertimbangan konstruksi kultur azali yang dianggap—mendekati—suci.

Kiri: Tuan rumah menyajikan kopi dengan posisi gagang cangkir searah tangan kanan tamu. Kanan: Di Sumenep, rokok yang disuguhkan dengan posisi korek ada di atas bungkusnya, itu pertanda rokok tak boleh diambil, tamu yang paham etika akan mengabaikan rokok tersebut. Berbeda jika korek ditaruh di samping bungkus rokok/A. Warits Rovi

Konstruksi Etika di balik Secangkir Kopi

Tradisi bertamu, kopi, dan beranda merupakan media silaturahmi integratif dari budaya luhur yang memiliki rasa sosial yang tinggi. Aktivitas bertemu dan bertamu dimafhumi sebagai ruang berbagi rasa antarjiwa yang didapuk sebagai pondasi primer dalam membangun hubungan yang harmonis, mempererat tali solidaritas, hingga menciptakan ruang komunikasi yang mutualistis.

Spirit bertemu dan bertamu ini oleh tetua Sumenep—dan Madura secara umum—sampai diabadikan dalam pantun lawas yang biasa diucapkan ketika seseorang dengan orang lain lama tidak bertemu: abit ta’ ajamu, orongnga lencak daja; abit ta’ atemmu, kerrongnga tada’ pada. Isi pantun tersebut jika diayak ke dalam redaksi bahasa yang sederhana akan bermakna seperti ini: kita lama tidak bertemu, betapa beratnya rasa rindu.

Rindu adalah emosi personal yang tumbuh kuat karena adanya faktor keterikatan yang intim antara batin ke batin. Kondisi psikologis ini tumbuh dari embrio cinta yang dahsyat—berbiak sebagai taja substantif dalam menakar dan menakir spirit kebersamaan bahkan hingga pada sendi-sendi yang menjurus ke medan kemanusiaan yang terdalam.

Di sela obrolan hangat yang terus berlangsung, kemudian teman ibu itu menyuguhi kami kopi dan camilan. Betapa hati-hatinya ia menurunkan cangkir kopi dari talam ke atas meja, lantas tak lupa memutar cangkir itu perlahan hingga gagangnya tepat sejalur dengan posisi tangan kanan tamu.

Di beranda, konstruksi etika didemonstrasikan sebagai nilai-nilai luhur yang konkret dan elegan. Hal itu bisa dilihat dari cara tuan rumah menyajikan suguhan. Dimulai dengan menyuguhkan secangkir kopi dengan posisi gagang cangkir tepat sejajar dengan tangan kanan si tamu, dengan maksud agar mudah diminum; menjulur rokok yang bungkusnya sudah dibuka, lengkap dengan korek apinya lalu diletakkan secara berjajar. Sebab, jika korek api ditaruh di atas bungkus rokok, hal itu bagi orang Sumenep dimaknai sebagai larangan agar tamu tidak mengambil rokok itu.

Tuan rumah juga disarankan untuk tidak melihat mulut tamu yang mengunyah makanan agar tamu tak merasa sungkan. Si tamu juga punya senarai etika tersendiri; ia tidak boleh mencicipi suguhan tuan rumah sebelum si tuan rumah menyilakan untuk dinikmati. Si tamu tidak etis memakan suguhan tuan rumah dalam porsi yang banyak seperti di rumahnya sendiri.

Selain itu, si tamu tidak etis berbincang tema-tema jorok saat bercakap-cakap, juga tak boleh bercakap dengan suara dan tawa yang nyaring. Si tamu tidak sopan bila menyantap makanan dengan acuh tak acuh, semisal hanya mengulek-ulek hingga berantakan tapi cuma dimakan sedikit, dan masih banyak etika lain dalam aktivitas bertamu. Intinya, beranda adalah ruang demonstrasi etika sekaligus atribut sensitivitas sosial yang merepresentasikan kecenderungan jiwa luhur pemiliknya.

Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep
Tata letak beranda rumah masyarakat Sumenep di masa sekarang untuk menerima tamu/A. Warits Rovi

Menjaga Ruang Temu di tengah Modernisasi

Namun, pada dinamika roda evolusi yang berputar—etika yang maujud sebagai produk kultur—tak melulu berdiri di umpak yang konstan. Ia secara perlahan bermetamorfosa pada  replika baru, tetapi tetap hadir dalam substansi sebagai rumusan nilai-nilai standar umum antara wajar dan tidak atau benar dan salah. Seiring masuknya desain rumah dengan arsitektur kontemporer, maka dengan perlahan, dalam waktu yang agak lama, warga Madura juga mulai adaptif dengan ruang tamu indoor. Walau di luar itu, hati orang Sumenep sebenarnya juga masih tak bisa menampik suara nostalgia beranda—yang keberadaannya tetap lekat dalam hati—dengan ragam kenikmatan esoterisnya yang tak terduakan.

“Tapi di sini cuma rumahku yang masih setia pada bentuk kuno dengan beranda seperti ini. Rumah yang lain sudah modern. Tanpa beranda. Sekadar teras mini untuk dua kursi ala-ala kota yang cukup menghidupkan suasana mengobrol suami-istri, tak representatif jika untuk tamu. Karena saat ini, anak-anak muda tak lagi suka ngobrol di beranda, mereka lebih memilih kafe-kafe,” ucapnya pada ibu, memantul respons yang semipahit bagi diri saya mengingat saya juga termasuk anak muda. Namun, setelah saya pikir dengan cermat, apa yang ia ucapkan itu memang betul.

Seiring dengan evolusi ruang tamu, di luar telah berkelindan laju perubahan cara bertamu yang bermutasi dari rumah ke kafe-kafe. Titik magnetis spirit bertamu di kafe-kafe sebenarnya tetap sama dengan yang di beranda, yaitu adanya faktor kebiasaan ngopi. Ya, lagi-lagi perihal kopi. 

Mutasi hasrat bertamu dari beranda ke kafe-kafe sebenarnya masih tergolong perubahan evolusi yang wajar. Meski dalam satu sisi sedikit merenggangkan kekariban esensial yang kulturnya diwariskan melalui aktivitas moy-tamoyan di beranda, tetapi bertamu di kafe masih melangsungkan sua jasad yang saling berinteraksi secara tatap muka dan melibatkan komunikasi langsung, sehingga interaksi psikologis masih lebih kuat terbangun. 

Lantas bagaimana dengan evolusi hasrat bertamu generasi Alpha di masa depan? Bisa dimungkinkan layar gawai bakal jadi ruang tamu virtual, kopi sudah malih wujud ke bentuk yang artifisial, dan keakraban akan mewujud dalam takar yang semi, semu, bahkan mungkin maya. Dan saat itulah beranda bakal jadi artefak masa lalu yang abadi dalam folder historis—yang mungkin dirindukan atau malah mungkin ditertawakan. Sebab, pada galibnya, masing-masing zaman memiliki eksistensi dan konstruksi etika tertentu yang tidak statis.

Setelah obrolan dirasa cukup, saya sengaja mengajak ibu untuk pulang dengan alasan tertentu. Sebab, obrolan ibu bagai kapal yang tak kunjung menemukan dermaga, terus berlanjut dan berlanjut. Etika tamu adalah tahu diri; siapa tahu tuan rumah masih ada acara, tamu tak boleh terlalu lama agar rencana tuan rumah tak terganggu.


Referensi:

Ma’arif. (2015). The History of Madura. Yogyakarta: Araska.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

A. Warits Rovi

A. Warits Rovi tinggal di Sumenep, Guru MTs Al-Huda II Gapura yang hobi menulis sastra, seni, dan budaya. Selain menulis di media massa, penyuka makanan "Pattola" ini menerbitkan beberapa buku: “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Kumpulan Cerpen, Basabasi, 2018), "Sepasang Cinta Orang Gila" (Kumpulan Cerpen, Hyang Pustaka, 2023). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020), “Bertetangga Bulan” (Hyang Pustaka, 2022). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia berkesenian di Sanggar 7 Kejora dan Komunitas Damar Korong.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *