Menyambut rentetan tanggal merah di akhir Januari 2025, saya dan istri berniat mengajak anak kami pergi liburan. Sebagai orang tua yang sama-sama bekerja, ini adalah kesempatan yang pas untuk membawanya bepergian dan mendapat hiburan, selain bermain bola dan memetik rambutan yang sedang berbuah di halaman rumah.
Setelah berdiskusi cukup lama, kami sepakat untuk pergi berdarmawisata ke daerah Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Kami memilih tempat ini untuk menghindari lokasi wisata lainnya yang sudah overtourism. Saya dan istri lebih suka tempat yang santai. Namanya juga pergi untuk healing, jangan sampai kami malah stres karena harus terjebak macet dan berenang di lautan manusia.
Pada hari Senin (27/1/25) pukul 09.00 WIB, dengan mengendarai mobil, saya dan keluarga sudah memasuki kawasan Alahan Panjang. Menyusuri jalan yang masih mulus, menghirup udara segar ditemani panorama alam yang hijau dan asri sepanjang jalan.

Bagi saya, kawasan Alahan Panjang sangat nyaman dan tidak terlalu padat pengunjung bila dibandingkan dengan lokasi wisata favorit lainnya di Sumatra Barat. Tujuan kami adalah wisata petik stroberi yang ada di kawasan ini. Mengingat anak kami suka sekali buah merah tersebut, tentu ia akan senang juga apabila bisa memetiknya langsung di kebun.
Dalam perjalanan ke sana kami disambut oleh hamparan perkebunan teh yang hijau. Katanya melihat warna hijau dapat menghilangkan lelah mata dan mengurangi stres akibat bekerja.
Memacu mobil pada kecepatan 60 km/jam sambil mengamati sisi kiri dan kanan jalan, saya melihat sebuah gapura berwarna hitam putih yang menarik perhatian. Gapuranya cukup tinggi dan muat dilewati oleh satu badan mobil. Di atasnya terdapat tulisan “Selamat Datang, Masjid Tuo Kayu Jao”.
Melihat itu saya teringat pada konten berjudul “5 Masjid Terindah di Sumatera Barat” yang muncul di Instagram, salah satunya adalah Masjid Tuo Kayu Jao. Maka saya pikir, setelah memetik stroberi kami harus singgah ke tempat ini.

Masjid Tua dengan Alam yang Asri
Sekembalinya dari memetik stroberi, saya menunaikan hasrat untuk singgah dan melihat Masjid Tuo Kayu Jao. Lokasi di Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok.
Masuk melewati gapura, saya menyetir mobil dengan pelan karena yang dilalui adalah jalan desa padat penduduk. Melewati jalan lurus menurun sekitar satu kilometer, saya bertemu turunan jalan yang cukup curam dan berbelok. Di bawah sanalah bangunan Masjid Tuo Kayu Jao berada. Melihat kondisi medan yang dilalui, saya sarankan bagi yang ingin ke sini untuk menggunakan sepeda motor atau mobil keluarga saja, kendaraan besar seperti bus wisata tampaknya tak bisa masuk dan mencapai lokasi.
Melihat langsung Masjid Tuo Kayu Jao, betul kata video Instagram yang saya lihat itu, masjid ini indah dan membawa suasana dari masa lampau yang damai. Seluruh bangunan terdiri dari material kayu dengan warna hitam yang khas serta atap dari ijuk yang sudah ditumbuhi lumut, memperkuat kesan klasik dari masjid yang dibangun dengan bentuk empat persegi dan atap bergonjong.


Melihat bentuknya, arsitektur Masjid Tuo Kayu Jao jelas dipengaruhi oleh corak Minangkabau. Pada zaman dahulu, masjid ini tidak hanya digunakan untuk ibadah dan syiar Islam saja, tetapi juga sebagai tempat musyawarah tiga jorong (desa) yang berada di sekitar masjid. Masjid ini juga difungsikan sebagai tempat musyawarah untuk menentukan strategi dalam melawan penjajah, bahkan digunakan sebagai tempat penyimpanan senjata rahasia. (Harun dkk, 2019).
Udara di sekitar masjid sangat sejuk. Diramaikan suara aliran sungai yang terdapat di samping masjid, sekaligus menjadi sumber air di sini.
Saya masih berada di masjid hingga azan zuhur berkumandang. Sewaktu mengambil wudu untuk menunaikan salat, dinginnya air terasa sangat segar dan menghilangkan rasa lelah. Tak lama setelah azan selesai dikumandangkan, jemaah mulai datang dan mengisi saf-saf masjid, baik laki-laki maupun perempuan.
Kisah Turun-temurun Berusia Ratusan Tahun
Selesai beribadah, rasa ingin tahu saya tentang masjid ini membuat saya memberanikan diri untuk menyapa imam yang memimpin salat Zuhur berjemaah tadi. Namanya Dani Darmansyah, Imam Nagari Batang Barus yang biasa memimpin salat jemaah disini. Saya awali percakapan dengan menanyakan tahun pendirian Masjid Tuo Kayu Jao.
“Kalau tahunnya itu, sekitar tahun 1419, Pak. Dari cerita nenek ke nenek, masjid ini sudah dibangun oleh leluhur dari zaman dahulu,” cerita Pak Dani.
Kalau dihitung dalam angka, usia masjid sudah sekitar enam abad, tepatnya 606 tahun. Tak ada lagi manusia hidup yang melihat sendiri pembangunan masjid ini, makanya hanya bisa diketahui melalui kisah yang diceritakan secara turun-temurun.
Namun, dalam jurnal Harun dkk (2016) berjudul “Pelestarian Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao di Sumatera Barat”, dituliskan bahwa masjid dibangun sekitar tahun 1567. Jika dihitung, maka usia masjid saat ini kurang lebih 458 tahun.
Kayu yang menjadi material bangunan masjid ini bernama kayu jao. Saya terkagum dengan kokohnya bangunan masjid ketika mengetahui bahwa materialnya tak pernah diganti sejak awal dibangun. Hal ini juga termaktub dalam jurnal Suwito dan Sari (2022), bahwa Masjid Tuo Kayu Jao tetap terjaga keaslian bangunannya tanpa ada perubahan pada struktur dan arsitekturnya.
Meski ada lubang-lubang rayap di badan kayu, ketika dipukul masih terasa kokoh dan kerasnya kayu pada bangunan ini. Ketika disentuh, kayu ini terasa dingin, membuat masjid terasa sejuk. Pak Dani menambahkan, yang pernah diganti dari masjid ini hanya tiang tengahnya saja. Itu pun bukan karena lapuk, melainkan karena tiang yang begitu besar sehingga menyulitkan penerangan di sisi-sisi dalam masjid.
“Ceritanya dahulu, tiang tengah itu adalah sebatang kayu, saking besarnya, baru bisa dipeluk jika ada empat orang dewasa yang berpegangan tangan melingkari tiang tersebut,” kata Pak Dani.
Kandungan Falsafah pada Arsitektur Masjid
Tak puas hanya dengan mendengar cerita dari Pak Dani, saya juga mewawancarai Pak Awal. Nama lengkapnya Aguswal Rianto. Beliau merupakan pengurus masjid ini.
Dengan semangat Pak Awal menceritakan bahwa Masjid Tuo Kayu Jao dibangun oleh Syekh Masyhur. Hal ini juga tertera dalam situs web kebudayaan.kemdikbud.go.id, masjid ini dibangun oleh dua orang tokoh, yaitu Angku Masaur (Angku Masyhur) dan Angku Labai.
Pak Dani menjelaskan setiap bagian pada bangunan masjid dibuat dengan nilai falsafah yang kuat. Tangga, jendela, dan tiang yang ada pada masjid, memiliki jumlah ganjil yang menggambarkan rukun Islam dan rukun salat. Memang kedua rukun ini jumlahnya ganjil, rukun Islam ada lima, sedangkan rukun salat ada tiga belas.
Beralih ke atap masjid, dengan gonjong ciri khas bangunan tradisional Minangkabau yang dibuat tiga tingkat. Ketiga tingkatan ini bermakna Tigo Tungku Sajarangan, yaitu niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Dalam falsafah adat Minangkabau, Tigo Tungku Sajarangan merupakan konsep kepemimpinan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat.
Niniak mamak merupakan pemimpin yang mengatur adat istiadat dan menjaga tradisi masyarakat Minangkabau. Alim ulama bertugas memimpin dalam aspek spiritual dan moral masyarakat, sedangkan cadiak pandai merupakan kelompok intelektual yang memiliki pengetahuan serta wawasan luas untuk memberi saran pembangunan dan kemajuan masyarakat Minangkabau.
Beberapa Kisah Spiritual dari Masjid Tuo Kayu Jao
Mimbar masjid pernah dipindahkan ke masjid yang lebih besar oleh pemerintah. Pak Dani bercerita, pasca mimbar dipindahkan, masjid ini terasa seperti bergetar tiap harinya. Sampai ada jemaah masjid yang bermimpi bahwa tetua masjid marah karena mimbarnya dipindahkan. Akhirnya setelah mimbar dikembalikan ke tempat asalnya, masjid tak lagi bergetar.
Ada lagi cerita dari Pak Awal, masjid ini posisi mihrabnya selalu bergeser mengikuti arah kiblat. Ia meyakinkan hal ini dapat diuji sendiri oleh para jemaah, boleh diukur dengan aplikasi pencari arah kiblat atau alat lainnya. Jika pada masjid lain, pergeseran kiblat membuat karpet harus diubah posisinya. Lain halnya dengan Masjid Tuo Kayu Jao, bangunan masjid akan bergeser sendiri mengikuti perubahan arah kiblat.
Pak Dani menyarankan, jika ingin merasakan sensasi beribadah yang lebih khusyuk, cobalah datang melaksanakan salat malam di sini. Suasana malam yang hening dan sepi, akan membawa kita dalam kondisi yang begitu tenang untuk bersujud dan meminta ampunan pada Sang Maha Pengampun Dosa.
Referensi
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. (2019, 30 Agustus). Masjid Tuo Kayu Jao. [Artikel]. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/masjid-tuo-kayu-jao.
Harun, D. F., Antariksa, & Ridjal, A. M. Pelestarian Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao Di Sumatera Barat. (2016). Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya, Vol. 4, No. 2. https://arsitektur.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jma/article/view/208.
Harun, D. F., Antariksa, & Ridjal, A. M. (2019). Pelestarian Arsitektur Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao Sumatera Barat. Yogyakarta: Maha Karya Pustaka.
Suwito, R. A. & Sari, D. M. (2022). Motion Graphic Masjid Tuo Kayu Jao di Jorong Kayu Jao, Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. DEKAVE: Jurnal Desain Komunikasi Visual Universitas Negeri Padang, Vol. 12, No. 3. http://dx.doi.org/10.24036/dekave.v12i3.118368.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.