Travelog

Belandean, Kampung Tua yang Dilupakan Sejarah

Brum…Brum…Brum, kelok lincah sepeda motor melewati jalan berpori-pori besar yang tidak terawat. Satu kelokan, dua kelokan, kadang diselingi selip ban motor yang tetap memaksa laju jalannya. Aliran sungai di sekitarnya menjadi penuntun menuju kampung tua nan dilupakan. Kampung yang memangku Pangeran Samudera sebelum beliau naik tahta. Mesin motor masih memacu di lintasan yang membuat saya bertanya, apakah tidak ada dana perawatan untuk fasilitas jalan desa? Beberapa kali saya harus berhenti memeriksa ban, rasanya seperti kurang angin dan jalannya motor seperti tidak stabil. Sebelumnya saya sempat browsing dan mendapati berita tentang kerusakan jalan pada 2018, nyatanya sampai 2021 belum ada perbaikan.

Kampung Tua Belandean
Menyusuri Sungai Pitung/M. Irsyad Saputra

Kampung itu bernama Belandean. Kampung yang saya ingat disebut dalam lirik lagu Anang Ardiansyah, sang maestro musik Banjar, selebihnya saya tidak pernah mendengar Belandean dari buku sejarah Banjar. Lirik lagu itulah yang akhirnya membuat saya penasaran untuk melihat sendiri kampung Belandean. 

Secara administratif kampung ini terletak di Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala. Kampung ini dibagi lagi menjadi dua desa; Desa Belandean Muara dan Belandean Dalam. 

Sepanjang perjalanan menuju Belandean Muara, saya melihat deru hilir mudik kelotok menjadi teman perjalanan. Sungai Pitung mengalir samping-sampingan dengan jalan raya yang tidak mulus. Sungai masih menjadi andalan untuk mengangkut hasil panen ke kota, baik menggunakan kelotok besar atau kelotok kecil. Kebanyakan penduduk bertani dan berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah satunya yang saya temui di Belandean Muara yaitu Halidin.

Kampung Tua Belandean
Kelotok yang digunakan untuk keperluan Halidin sehari-hari/M. Irsyad Saputra

Halidin bekerja sebagai petani. Beliau termasuk yang dituakan di Belandean Muara. Rumahnya terletak paling ujung kampung. Sebagai kampung bersejarah, nama Belandean kurang mentereng dibanding kampung lainnya seperti Kuin, Sungai Jingah, namun peran Belandean tak bisa dikucilkan dalam sejarah Banjar. Dahulu Pangeran Samudera sebelum menjadi Raja Banjar pernah bersembunyi di sini dari kejaran pamannya yang ingin membunuhnya karena perebutan tahta kerajaan.

Makam Keramat Sesepuh Kampung

Kampung Tua Belandean
Makam Mantri Jaya Arya/M. Irsyad Saputra

Saya diantarkan Halidin menuju dua buah makam yang dianggap keramat bagi masyarakat. Untuk menuju makam, saya memilih menggunakan kelotok sembari menyisir Sungai Pitung. Makam tersebut terletak tak jauh dari rumahnya. “Makam Mantri Jaya Arya dan Panglima Mahmud,” dalam hati saya membaca plang nama makam. Letak makam berdekatan sekali dengan sungai, kebetulan air sungai lagi pasang, maka tanah makam sebagian terendam air. 

Ada dua buah makam yang diberi cungkup yang menandakan makam tersebut dihormati masyarakat. Banyak kain kuning menghiasi makam Mantri Jaya Arya, seperti kelambu. Menurut penuturan Halidin, makam ini dulunya tersembunyi oleh semak-semak dan seringkali dibersihkan warga secara gotong royong. Ada banyak makam lainnya selain makam keramat karena tempat ini juga menjadi pemakaman warga desa.

Halidin sendiri kurang bisa menjelaskan banyak tentang riwayat dua makam tersebut. “Dari tahun 60an makam ini belum populer, baru sekitar tahun 2000an mulai ramai yang ziarah,” kata Halidi. Cungkup pun dibuat oleh orang-orang yang menghajatkan diri ketika menziarahi makam.

Kampung Tua Belandean
Makam Panglima Wangkang/M. Irsyad Saputra

Saya mengamati nisan Mantri Jaya Arya dengan seksama, bentuk nisannya mengingatkan saya dengan komplek makam Sultan Suriansyah di Kuin. “Malam-malam ada juga kadang yang ziarah, kadang minta bawa saya, kadang juga dengan orang seberang.”  “Sebenarnya aku tahu kisahnya (makam) hanya saja tidak berani menceritakan, sebab andaikan tahu sama zuriat asbahnya baru berani mengisahkan.” “Kita yang ziarah harus hati-hati, jangan sampai salah bawa cerita.”

Saya menghormati keputusan beliau untuk tidak menceritakan lebih lanjut.

Hutan yang Hilang dan Kebun yang Murah

Kampung Tua Belandean
Gerbang Desa Belandean Muara/M. Irsyad Saputra

Selepas ziarah saya diantar Halidin menuju muara sungai. Kelotok yang berpapasan membuat gelombang, mengombang-ambingkan saya ke kiri dan ke kanan. Sebelah kiri dan kanan terlihat areal persawahan dan beberapa pohon besar yang bayangannya merindangkan sungai. Jarak dari makam ke muara mungkin sekitar 7 menit. Saya melihat Pulau Bakut yang merupakan habitat bekantan dari kejauhan. Begitu juga jembatan barito yang terlihat begitu kecil. “Dulu di Sungai Pitung ini juga merupakan habitat bekantan, hutannya sekarang sudah hilang jadinya mereka makin masuk ke pedalaman,” jelas Halidin.

Saya diundang masuk ke rumah beliau untuk beristirahat. Rumah beliau nampak teduh dengan berbagai pohon hampalam sapat dan kuini di depan rumah. Di dalam rumah, Halidin menyuguhkan buah kuini dari kebunnya kepada saya. “Kuini dijual harganya turun sekarang, cuman 300 rupiah per biji, jadinya mending dikasih ke orang atau dimakan sendiri.” Ironi memang menjadi petani, hasil panen dibeli dengan harga murah, uangnya mungkin cuma cukup untuk kebutuhan beberapa saat.

Hasil kebunnya lumayan beragam seperti kelapa, kuini, hampalam. Ikan bisa didapat dengan mudah. Sayur mayur pun bisa memetik sendiri. “Kami makan ga pernah beli beras, lauk, sayur, palingan cuma beli minyak goreng,” paparnya. Alam selalu menyediakan kebutuhan pangan, sandang, papan untuk manusia; tetapi eksploitasi yang berlebihan membuat alam menjadi semakin hancur. “Ikannya ga kayak dulu banyaknya, soalnya sering disetrum sama orang luar,” kata Halidin. 

Selama perjalanan menuju maupun saat di kampung, saya tidak mendapati warga yang memakai masker. Mungkin karena mereka jarang ke luar kota, dan orang lain jarang masuk ke kampung mereka, jadinya tidak mempermasalahkan penggunaan masker. 

Pagebluk “Musiman”

Kalau soal pagebluk, orang-orang kampung kadang menerima “pagebluk musiman” ketika musim buah tiba atau saat air pasang. “Gejalanya ya panas badan, nanti sembuh,” papar Halidin. Musim panas justru disini dingin sebab tidak ada air di bawah panas yang menghantarkan panas. “Kita tuh kedinginan, coba aja tidur di kelotok, pasti panas, soalnya uap air naik.”

Kampung yang awalnya sunyi, dengan penduduk jarang-jarang kini semakin ramai. Banyak orang Belandean yang menikah dengan kampung lain lalu dibawa menetap di sini. Kampung akhirnya menjadi semakin ramai dengan kehadiran mereka. Ada juga desa untuk transmigran yang terletak tidak jauh dari Desa Belandean Dalam. Perhatian akan pendidikan nampaknya tidak terlalu dipedulikan oleh para warga. Kebanyakan hanya bersekolah sampai tamat SMP/SMA, nampak jarang yang melanjutkan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Bagi mereka, biaya pendidikan sama mahalnya dengan biaya hidup sehari-hari. Bagaimana mau memikirkan biaya pendidikan kalau harga panen saja dihargai murah?

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Bertandang ke Mesjid Sultan Suriansyah