Itinerary

Kebudayaan Tua di Gunung Patuha

Gunung itu bernama Patuha, gunung yang dituakan oleh masyarakat Sunda karena menurut kepercayaan, gunung tersebut merupakan tempat yang sakral, juga populer sebagai tempat untuk bersemedi. Kabut yang turun perlahan seakan menguatkan misteri di tempat ini. Dinginnya lumayan menusuk kulit, mungkin suhu disini berkisar 8-20 derajat celcius.

Gunung Patuha merupakan sisa-sisa Gunung Api Sunda Purba Berdasarkan catatan, gunung ini pernah dua kali meletus. Letusan pertama yang membentuk Kawah Saat pada bagian barat saat terjadi pada abad ke-10 dan letusan kedua yang membentuk Kawah Putih terjadi pada abad ke-13. Pada kawah yang kedua, geologis berkebangsaan belanda, Franz Wilhelm Junghuhn, menerobos segala misteri yang menutupi Gunung Patuha, kegigihan geolog itu akhirnya menyingkap keindahan Kawah Putih kepada khalayak umum. 

Selain karena kawahnya yang indah, ternyata Gunung Patuha dan sekitarnya  menyimpan potensi wisata sejarah yang mungkin orang belum banyak tahu. Beberapa waktu yang lalu tim dari Niskala Institute, mengadakan survei lapangan ke Kawah Rengganis, yang berada di sebelah barat Gunung Patuha.

Niskala Institute adalah sebuah lembaga penelitian non profit dalam bidang penelitian, pelestarian pengembangan sejarah yang didirikan oleh akademisi lintas disiplin ilmu. Lembaga ini bertujuan agar budaya yang telah ada sebelumnya bisa tetap dipelajari oleh generasi mendatang dan menjadi identitas nasional. Fokus penelitiannya sendiri berada di wilayah Jawa Barat.

Gunung Patuha Niskala Institute

Dahulunya, daerah sekitar Gunung Patuha diperkirakan sebagai tempat semedinya sang Bujangga Manik, tokoh Sunda yang berkelana menjadi resi demi mencapai kebahagiaan hidup. Perjalanan Bujangga Manik atau Prabu Jaya Pakuan diabadikan dalam naskah sebanyak 29 lembar daun nipah dan tersimpan rapi di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford. Dalam naskah tersebut menceritakan perjalanan Bujangga Manik menyusuri Jawa sampai Bali. Selain tersebut naskah juga menceritakan kisah percintaannya dengan Putri Ajung Larang.

Naskah Bujangga Manik ini merupakan referensi sangat berharga untuk toponimi tempat-tempat di Pulau Jawa pada waktu itu. Catatan perjalanan masyarakat lokal amat sukar ditemukan pada masa itu, kebanyakan catatan perjalanan berasal dari tulisan asing seperti kronik Cina maupun catatan bangsa barat.

Sebelum sampai ke Kawah Rengganis, ada kebun teh yang akan menyambut di sisi kiri dan kanan jalan. Dengan ketinggian 1628 mdpl, tanaman teh tumbuh subur di sini. Pilihan lainnya yang bisa kita nikmati sebelum pergi ke kawah adalah menyusuri kebun teh. Paling asik dari mengunjungi kebun teh adalah melihat proses pembuatan teh itu sendiri. Menghirup aroma daun teh yang baru dipetik memberikan kesegaran dan relaksasi.

Kawah Rengganis terkenal sebagai tempat pemandian air panas alami. Setiap waktu liburan berlangsung, pengunjung dari berbagai daerah datang untuk sekedar mandi atau dengan tujuan berobat. Kepercayaan masyarakat tentang air panas alami yang memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit sudah mengakar kuat di seluruh bagian dunia.

Konon gatal-gatal maupun jamur akan hilang ketika berendam di air panas alami disebabkan oleh belerang yang terkandung di airnya. Kawah Rengganis yang terbentuk akibat letusan Gunung Sunda Purba sering juga digunakan sebagai tempat semedi, konon dahulu juga sering digunakan para leluhur Sunda untuk mengadakan musyawarah yang membahas mengenai kehidupan masyarakat di Tatar Sunda.

Gunung Patuha Niskala Institute

Dalam survei di sekitar Kawah Rengganis, tim dari Niskala menemukan bahwa kondisi tinggalan arkeologis yaitu punden berundak sudah sampai pada tahap tidak dipedulikan dengan baik. Kondisi pariwisata yang terus menanjak dari tahun ke tahun (sebelum pagebluk) menyisakan tanya, kenapa penataan wisata tidak memperhatikan alur sejarah yang ada di sana? Batu yang tersusun tidak lagi terlihat sebagai punden, beberapa anggota tim pernah kesana pada 2015 membuat sketsa punden berundak, sekarang nampak berbeda dibanding dengan sketsa yang lalu, semua hanya seperti batu yang terserak.

Punden berundak sendiri merupakan salah satu bentuk kebudayaan megalitik yang berbentuk struktur bangunan berteras (berundak) yang semakin mengecil pada bagian atasnya. Pendirian punden berundak ditengarai sebagai bagian dari ritual pemujaan arwah nenek moyang. Biasanya terletak di tempat yang tinggi seperti pegunungan atau bukit. 

Masih berada dalam satu kawasan, terdapat formasi batuan yang diduga para tim Niskala sebagai tempat pemujaan. Aliran air yang mengalir ke arah punden belum bisa disimpulkan sebagai apa, tetapi formasi batuan tersebut tersusun membentuk lingkaran seperti kolam. Di tengah formasi batuan juga terdapat batu tegak, diapit oleh empat batu pelor, dengan kondisi yang sudah patah dan pada bagian utaranya terdapat tebing tinggi.

Gunung Patuha Niskala Institute

Dugaan tim Niskala kembali berlanjut setelah menyusuri sungai sekitar 100 meter dari tempat tadi kembali menemukan formasi batuan yang masih utuh, mereka menduga tempat ini sebagai petirtaan. Ada formasi batuan yang membentuk tangga dengan keletakannya yang masih bisa dilihat. Interpretasi tim menduga tempat ini sebagai petirtaan dengan asumsi bahwa urutan punden-altar-petirtaan yang berurutan kalau dilihat dari sebelah timur dari foto udara.  

Tim Niskala Institut dapat memastikan asumsinya lebih dalam dengan serangkaian penelitian lanjutan. Kelestarian cagar budaya yang telah ada pada suatu tempat tidak bisa kita gantungkan sepenuhnya ke pemerintah. Ada upaya-upaya masyarakat umum untuk merekam serta memelihara cagar budaya agar tidak rusak. Niskala Institut, salah satunya, ingin merangkul semua kalangan untuk turut melestarikan kebudayaan, khususnya kebudayaan Sunda.


Foto: Niskala Institute

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Situs Duplang, Peninggalan Nenek Moyang Zaman Megalitikum