Travelog

Belajar Merawat Kebudayaan dari Festival Peken Pinggul Klaten

Minggu Legi (10/3/2024), masyarakat Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten merayakan festival budaya bernama Peken Pinggul. Peken Pinggul merupakan sebuah festival yang diadakan oleh masyarakat Melikan dengan tujuan utama nguri-nguri budaya Jawa untuk mencoba melestarikan berbagai tradisi.

Jauh sebelum festival Peken Pinggul hari itu, saya dan kawan-kawan memutuskan untuk berkunjung sehari sebelum acara dimulai. Mereka berangkat dari Jogja, Sabtu sore (9/3/2024) pukul 15.00 WIB. Estimasi perjalanan dari Jogja ke Klaten hanya sekitar 1 jam. Sementara saya harus ke Semarang dulu untuk menjemput pacar saya, baru meluncur ke Klaten.

Kami akan menginap di salah satu rumah warga yang pernah digunakan untuk tempat tinggal teman seorganisasi yang pernah KKN di sana. Namanya Abi atau akrab dipanggil Irul. Ia sudah berangkat lebih dulu untuk melihat serangkaian acara sebelum Peken Pinggul. Kebetulan kami datang bertepatan dengan ulang tahun ke-5 Peken Pinggul.

Setibanya kami di Melikan, Irul sudah mengenakan pakaian pesa’an khas Madura yang dipadupadankan dengan kaus hitam. Lengkap dengan celana berwarna senada, blangkon, dan sebatang cerutu. 

Saat Irul bertemu kami, ia berkata, “Seko omah warga, hayo rene melu nang omahe pak Tugiman (Dari rumah warga, ayo ikut ke rumah Pak Tugiman).” Kami pun memutuskan beristirahat di sana. Tanpa diminta, kopi, teh, dan rokok diberikan Tugiman secara sukarela. 

Perbincangan cukup panjang hadir sore itu. Irul sebagai mahasiswa yang berkecimpung di bidang sejarah cukup fasih menjelaskan serpihan-serpihan sejarah di Melikan. Tugiman, yang memang penduduk asli Desa Melikan, turut menyahut untuk memberikan perspektifnya mengenai sejarah dan kebudayaan lokal. 

  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten

Keunikan Ragam Kuliner Peken Pinggul

Setelah semalaman beristirahat bersama kawan-kawan yang lain, keesokan paginya, kami bersiap menuju tempat berlangsungnya festival budaya Peken Pinggul. Kami hanya perlu berjalan kaki karena lokasinya yang tak terlalu jauh. Tepatnya di samping sungai yang berada di tengah-tengah Desa Melikan.

Awan gelap membuat pagi itu sedikit dingin. Matahari pun ikut terlambat bersinar. Oleh karena itu, suasana perdesaan sangat asri dengan pepohonan yang masih rindang. Bekas hujan semalam menambah hawa awal hari kian menusuk kulit. 

Sesampainya di lokasi, Peken Pinggul sudah tampak ramai. Padahal waktu baru menunjukan pukul 07.00. Para penjual terlihat sibuk melayani para pembeli. Tak mau menunggu lama, kami segera menukarkan sejumlah uang menjadi koin gerabah untuk melakukan transaksi.

Di Peken Pinggul, metode transaksinya memang menggunakan koin gerabah. Cara mendapatkannya, saat masuk ke lokasi Peken Pinggul, akan ada sebuah stan yang terbuat dari bambu. Di sana penjaga menjereng koin-koin tersebut. Sebutir koin nilainya sama dengan Rp2.000.

Tak menunggu lama, saya pun menukarkan sebanyak 10 koin gerabah untuk menikmati kuliner di sana. Hasilnya saya mendapatkan soto dan teh hangat senilai tiga koin. Harganya yang cukup murah tidak mengurangi rasa dari soto tersebut. Selain terjangkau, yang menjadi daya tarik dan menggugah selera adalah penggunaan gerabah sebagai mangkuk soto dan gelas teh. Ini memberikan kesan tradisional yang kental. 

Setelah kenyang, selanjutnya saya mencoba menu lain yang mengingatkan saya saat masih sekolah dasar, yaitu es goreng. Jajanan ini membawa saya ke kenangan masa lalu. Jika dulu saya membelinya dengan harga seribu rupiah, di Peken Pinggul saya bisa menikmatinya dengan harga satu koin. 

  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten

Kenikmatan wisata kuliner tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah menilik lebih jauh, ternyata masih banyak kuliner yang sudah jarang ditemui, tetapi bisa dicicipi lewat Peken Pinggul. Salah satunya adalah getuk, yang terbuat dari singkong bercampur gula. Kudapan khas Jawa tersebut sangat populer di kalangan masyarakat desa. Rasanya yang manis dan mengenyangkan dipadu dengan kelapa parut sangat cocok untuk menjadi menu sarapan.

Usai kenyang dengan asupan soto, teh, getuk, dan es goreng, saya berangan makanan penutup adalah hal yang pas untuk pagi ini. Dari awal saya datang ke Peken Pinggul, saya sangat ingin menikmati makanan tradisional bernama sawut. 

Meskipun terbuat dari singkong, tekstur dari sawut sangat lembut dan mudah dicerna. Penganan ini memiliki rasa manis alami yang berasal dari singkong, serta taburan gula yang bercampur dengan gurihnya parutan kelapa. Tanpa pikir panjang, saya pun langsung membelinya dengan dua koin. 

Sebenarnya masih banyak kuliner yang bisa dicoba, misalnya dawet ayu, telur gulung, dan cilor. Bahkan tak hanya makanan olahan yang dimasak, Peken Pinggul juga menjual buah, seperti salak dan manggis. Namun, sayangnya perut dan dompet saya tak mampu mengakomodasi semangat berlebih dari wisata kuliner ini. 

Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
Sawut, kudapan jadul yang saya nanti-nantikan sejak sebelum berangkat ke Peken Pinggul/Aldino Jalu Seto

Belajar Pengembangan Desa dari Peken Pinggul

Setelah menelusuri dari ujung ke ujung, saya melihat banyak keunikan dari Peken Pinggul. Selain jajanan pasar yang sangat dekat dengan saya semasa kecil, Peken Pinggul juga menghadirkan panggung kesenian yang diisi oleh masyarakat Desa Melikan sendiri, seperti karawitan. 

Dalam sebuah obrolan dengan Sri Lestari, sekretaris KUBe (Kelompok Usaha Bersama) yang membantu pelaksanaan Peken Pinggul, mengungkapkan alasan mengapa Peken  Pinggul hanya diadakan setiap Minggu Legi. 

Legi [dalam bahasa Jawa] itu [artinya] manis. [Legi] diambil mungkin biar laris manislah. Kalau Peken Pinggul, [kata] pinggul diambil dari ‘pinggir tanggul’,” terangnya. Adapun arti dari peken adalah pasar.

Akan tetapi, tidak setiap Minggu Legi ada panggung pertunjukan yang ditampilkan. Pementasan tersebut hanya dilakukan untuk merespons momentum-momentum besar agar keunikan di Peken Pinggul tetap terjaga. 

“Kalau biasanya kita cuma dagang. Kadang ada yang senam, kalau Hari Ibu kita adakan lomba apa [yang setema], [atau] agustusan. Kita sesuaikan dengan momen di bulan tertentu. Kalau tahun kemarin sebelum [pandemi] COVID-19 ada arak-arakan, bisa buka [dokumentasinya] di Instagram,“ jelas Lestari. Ia juga menambahkan kalau dulu para peserta harus pakai baju kebaya, lurik, caping, dan menggunakan bahasa Jawa.

Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
Kelompok karawitan Desa Melikan sedang pentas di panggung Peken Pinggul/Aldino Jalu Seto

Lima tahun lalu Dani Utomo, pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Desa Melikan, memikirkan cara agar para penerima PKH ini dapat sejahtera lewat usahanya sendiri. Lantas ia bersama ibu-ibu anggota PKH mulai berembuk membuat sesuatu yang unik dan lekat dengan tradisinya.

“Awalnya itu dari ibu-ibu yang menerima bantuan PKH. Kita bikin acara apa yang bisa menambah pemasukan, paling tidak, [bisa] bermanfaat dari bantuan-bantuan yang diterima itu ben dapat penghasilan. Ya, itu, dari kelompok PKH dirasa kok ramai dan unik akhirnya banyak yang gabung,” ungkap Dani.

Peken Pinggul memberikan kesan di benak saya. Tak hanya makanannya yang enak, tetapi imajinasi mengenai desa yang hidup dengan swadaya dapat direngkuh. Hasil yang didapatkan Peken Pinggul pun tak main main. Menurut keterangan salah satu pengurus, Peken Pinggul mampu menarik minat 500–1.000 orang dalam sehari. 

Lewat Peken Pinggul saya melihat potensi Melikan bagi masyarakatnya sangat besar. Apalagi ditambah dengan masih suburnya kebudayaan lokal di desa. Jika masyarakat merawat kebudayaannya, tak menutup kemungkinan kebudayaan tersebut dapat menghadirkan nilai-nilai tersendiri bagi perawatnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Aldino Jalu Seto adalah bolang (bocah petualang) yang tinggal di kota Boyolali. Ia suka bermain sepak bola. Sekarang ia sedang tidak sibuk, silakan kontak dia di Instagram @aldhinojaluseto untuk berbagi kesibukan.

Aldino Jalu Seto adalah bolang (bocah petualang) yang tinggal di kota Boyolali. Ia suka bermain sepak bola. Sekarang ia sedang tidak sibuk, silakan kontak dia di Instagram @aldhinojaluseto untuk berbagi kesibukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menilik Kota Tua Kalianget