Petang menjelang saat mobil yang membawa saya dan rombongan memasuki Weda, pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera Tengah di Maluku Utara, akhir Maret lalu. Suasana lengang menyambut. Hanya satu-dua orang yang tampak di tepi-tepi jalan. Sejauh mata memandang tak terlihat kendaraan lain.
Selayang pandang sama sekali tak tampak kalau daerah ini adalah sebuah pusat kabupaten. Weda sendiri secara administratif masih berstatus kecamatan, dengan beberapa desa yang diharapkan menjadi cikal bakal kota mandiri.
Tanda-tanda keramaian baru terlihat ketika mobil memasuki kawasan pasar, lalu berbelok menuju Desa Were. Permukiman lebih rapat di sini. Orang dan kendaraan ramai lalu-lalang di jalan. Bersebelahan dengan Were adalah Desa Fidi Jaya yang sama semaraknya.
Boleh dibilang Were bersama-sama Fidi Jaya merupakan pusatnya Weda sekaligus nadi Kabupaten Halmahera Tengah. Status Were lebih istimewa karena inilah desa tertua yang menjadi cikal bakal Weda.
Saya mengunjungi Weda bersama Evy Priliana Susanti, seorang traveler cum blogger dari Jakarta, dan adik saya Fajar dari Bogor. Bertiga kami diantar Ibu Nuraini Tomaidi yang akrab dipanggil Ibu Tantry. Nama terakhir merupakan Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Halmahera Tengah. Beliau juga istri mantan Wakil Bupati Halmahera Tengah periode 2013-2018, Soksi Hi. Ahmad.
Weda pernah jadi salah satu pusat komando Trikora
“Cuma di Were ini yang tanahnya asli tanah,” Ko Anda, sopir pribadi keluarga Bu Tantry, menerangkan sedikit asal-usul Desa Were. Selama di Weda, Ko Anda yang mengantar kami ke sana kemari dengan Strada merahnya.
Saya mengerutkan kening. “Maksudnya, Ko?” Ko adalah panggilan untuk laki-laki yang lebih tua di Maluku. Artinya abang.
“Dulu selain Were itu rawa-rawa semua. Isinya air laut dan bakau. Lalu ditimbun tanah, jadi pemukiman seperti sekarang,” Ko Anda menjelaskan.
Weda memang terletak di mulut teluk. Jika kita melihat peta Pulau Halmahera, Weda berada tepat di antara kedua “kaki” huruf K. Posisi yang sangat strategis sekali. Berada di tengah-tengah antara Papua di timur dan Tidore-Ternate di utara, Sultan Nuku dari Kesultanan Tidore menjadikan tempat ini sebagai basis konsolidasi pasukannya saat memerangi VOC ratusan tahun lalu.
Pascaproklamasi, Weda juga memegang peranan penting dalam Komando Trikora yang membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Kerajaan Belanda. Karena letaknya yang menguntungkan, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadikan Weda sebagai salah satu pusat komando penting.
Dari segi geografis, Weda adalah kota transit yang strategis menuju Irian Barat. Ada banyak kapal dari Ternate menuju Weda. Dari Weda pasukan tinggal berlayar selama 12 jam menuju Pulau Gebe, pulau terdepan yang menjadi basis utama Pasukan Gerilya sebelum diseberangkan ke daratan Papua.
Mayor Jenderal Soeharto pernah “ditolak” camat di Weda
Ada cerita lucu terkait peristiwa Komando Trikora di Weda. Suatu hari, seorang perwira berpangkat Mayor Jenderal dari Jakarta datang ke Weda. Sang perwira lalu meminta tumpangan untuk menginap barang beberapa malam kepada camat setempat. Jawaban yang didapat: “Maaf, tidak ada tempat menginap untuk Anda di rumah ini.”
Camat tersebut rupanya tidak tahu siapa tamunya dan memilih tidak mempercayainya. Namun seorang ibu muda berbaik hati menawarkan rumahnya untuk dijadikan tempat menginap oleh sang Mayor Jenderal. Ibu muda itu adalah Bujuna Samdi.
Lalu, siapakah Mayor Jenderal tadi? Namanya Soeharto, perwira tinggi Angkatan Darat yang tengah moncer karier militernya. Ketika datang ke Weda, Mayjen Soeharto berposisi sebagai Panglima Komando Mandala.
Kedatangan Mayjen Soeharto ke Weda bukan tanpa alasan. Secara administratif, Weda yang merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Tidore masuk dalam wilayah Provinsi Perjuangan Irian Barat bentukan Presiden Soekarno. Selain Weda, daerah-daerah Kesultanan Tidore lainnya yang masuk dalam Irian Barat adalah Oba, Maba, Patani, dan Wasile.
Kedatangan sang Panglima tentu juga berkaitan dengan strategi, mengingat sejumlah bawahannya memusatkan pergerakan di Weda. Rantai komando Trikora saat itu membentang dari Makassar sebagai markas besar, lalu ke Ternate, Weda, dan berakhir di Gebe sebagai garis terdepan.
“Torang kasihan saja karena Pak Camat tara kase dorang menginap”
Siang nan terik, Jumat, 30 Maret 2018, Bu Tantry membawa kami ke rumah Nenek Bujuna Samdi. Menurut cerita penduduk setempat, rumah tersebut tak mengalami perubahan apa pun selama puluhan tahun. Kami disambut oleh menantu lelaki sang nenek, sebelum akhirnya Nenek Bujuna keluar menemui kami di ruang tamu.
Mula-mula wajah Nenek Bujuna terlihat bingung, memandangi kami satu demi satu. Dengan langkah perlahan dan tangan berpegangan di punggung kursi, ia menuju sofa merah di tengah ruangan. Saya dan yang lain segera saja mengerubutinya, duduk lesehan di hadapannya, dekat kakinya.
Setelah Bu Tantry memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan kami datang berkunjung, saya segera saja melontarkan pertanyaan pada Nenek Bujuna. Tentunya sembari mengarahkan kamera ke arah beliau, bersiap merekam apa pun yang nanti menjadi jawaban.
“Kenapa Nenek bersedia memberi tempat menginap pada Pak Harto?” tanya saya. Bu Tantry menerjemahkan pertanyaan saya tersebut ke dalam bahasa Melayu dialek Papua Barat bercampur Tidore agar nenek mengerti.
“Saya kasihan saja. Dorang datang jauh-jauh tapi tarada yang kase tampa menginap,” jawab beliau sembari memandang ke arah saya dan Bu Tantry berganti-ganti.
“Nenek tahu tidak kalau beliau itu Panglima Komando Mandala?” tanya saya lagi.
“Tidak tahu,” kata beliau. “Torang kasihan saja karena Pak Camat tara kase dorang menginap, jadi torang kase inap di sini.”
Tentu nenek tak menyangka jika kelak Mayjen Soeharto yang diberinya tumpangan tersebut menjadi presiden. Nenek Bujuna mengatakan, ia sangat terharu dan merasa ikut bangga begitu mendengar kabar Soeharto menjadi presiden. Sejak itulah rumahnya dikenal seantero Weda sebagai “Bekas Rumah Presiden Soeharto.”
Kamar itu masih sama seperti saat ditinggali Soeharto
Nenek Bujuna lalu menunjukkan kamar di mana Soeharto dulu menginap. Letaknya paling depan, di sebelah ruang tamu. Luasnya kira-kira 3×3 meter, dengan satu jendela kecil menghadap halaman rumah. Masa silam orang dari kamar tersebut dapat langsung melihat ke laut, ke Teluk Weda.
Menantu Nenek Bujuna menyebut kamar itu masih sama seperti saat ditinggali Soeharto puluhan tahun lalu. Hanya saja isi perabotan dalam kamar telah berubah karena kini ditempati salah seorang cucu Nenek Bujuna.
“Koil besi tempat Pak Harto tidur masih ada disimpan, tapi sudah patah-patah,” lelaki yang terus mengenakan topi selama menemani kami itu menerangkan saat saya melongok ke dalam kamar bersejarah itu. Koil yang dimaksud artinya ranjang, tempat tidur.
Meski sudah berlalu sangat lama, Nenek Bujuna masih mengingat jelas kebiasaan sehari-hari Soeharto sewaktu menginap di rumahnya. Beliau juga ingat menu apa saja yang paling sering dimasak untuk sang Jenderal.
“Apa komentar Pak Harto mengenai masakan Nenek? Enakkah?” tanya saya lagi.
Nenek Bujuna tersenyum malu. “Enak, katanya,” sahutnya.
Lalu tiba-tiba Nenek Bujuna tertawa geli. Saya jadi penasaran dan kembali bertanya. Rupanya beliau terkenang saat-saat Soeharto mesti keluar agak jauh ke arah rawa-rawa untuk mandi dan buang air besar. Tak ada kamar mandi, tak ada kakus di rumah itu.
Di sela-sela cerita, menantu lelaki Nenek Bujuna masuk ke ruangan dalam, lalu keluar lagi membawa sebuah teko keramik yang tampak retak-retak dengan kedua tangan.
“Ini teko tempat minum Pak Harto. Dulu sempat pecah, tapi oleh nenek disusun ulang jadi begini,” jelasnya.
Teko diletakkan hati-hati di atas meja. Saya dan Mbak Evy bergegas meraih kamera dan menjepret benda bersejarah tersebut. Setelah menggunakan kamera, ganti kamera ponsel kami yang beraksi.
Weda juga pernah dikunjungi Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Tomo
Selain Mayjen Soeharto, banyak tokoh nasional lain yang mendatangi Weda pada masa-masa itu. Menantu Nenek Bujuna menyebut nama Bung Hatta dan Bung Tomo, juga Sultan Zainal Abidin Syah selaku penguasa lokal. Hingga sekarang, secara adat Weda merupakan wilayah penting Kesultanan Tidore.
Presiden Soekarno bersama Ibu Fatmawati datang ke Weda pada 1 Agustus 1957. Sambutan yang diberikan warga Weda terhadap Bung Karno begitu meriah. Sepanjang jalan anak-anak sekolah berjajar mengibarkan bendera merah putih berukuran kecil. Sekelompok seniman dengan aneka tetabuhan tradisional mengiringi para penari wanita.
Persis seperti yang tampak dalam rekaman video milik Arsip Nasional, Nenek Bujuna menceritakan bagaimana Bung Karno dengan suka cita turut berlenggak-lenggok mengikuti irama tetabuhan bersama para penari. Di ujung jarinya terjepit sehelai lenso.
Selepas itu Bung Karno meletakkan karangan bunga di tugu tengah kota. Tugu tersebut kini berada di tengah-tengah taman kota yang dikenal sebagai Taman Fagogoru. Tak jauh dari taman terdapat bekas rumah di mana Bung Karno dan Ibu Fatmawati menginap. Sayang, rumah tersebut sudah dirubuhkan dan berubah bentuk menjadi sebuah mes pegawai.
Matahari semakin mendekati tahtanya. Suara rekaman pengajian dari masjid terdekat mengingatkan waktu salat Jumat hampir tiba. Dengan berat hati saya dan rombongan berpamitan, teriring doa semoga Nenek Bujuna senantiasa sehat.
Selepas menunaikan salat Jumat di Masjid Baiturahman yang berada di perbatasan Desa Were dan Desa Fidi Jaya, kami meninggalkan Weda menuju Pelabuhan Loleo dan menyeberang ke Tidore.
Sesampai di Jawa, saya terus merawat impian kembali lagi ke Weda untuk menggali cerita lebih banyak dari memori Nenek Bujuna Samdi yang kian renta. Sayang, Agustus lalu datang kabar tidak enak: Nenek meninggal dunia.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
5 komentar
Tulisannya mantap, mas Eko! Jadi pengin ke Weda hehe.
Abis dari Weda jangan lupa bagi-bagi ceritanya ya, Kak. 😀
Sama bobot badanku lebih mantap mana, Mas? Hahahaha.
Tulisan anda mengingatkan saya akan kota Weda tahun 1963-1969 saat ayah saya menjabat sebagai Komendan Distrik Kepolisian (dalam struktur lama Komdispol itu dibawah Komrespol/Polres, tetapi membawahi Kosek/Polsek dan Danpos) di sana. Selaku penanggunjawab keamanan dan ketertiban di wilayah tsb, ayah saya tidak pernah menceritakan kehadiran Pak Harto di sana. Maka boleh jadi kedatangan beliau sebelum ayah saya menjadi Dandispol di sana.
Saya mengenal pak Camat (istilah saat itu KPS/Kepala pemerintahan Setempat) yg anda ceitrakan itu. Beliau adalah paman dari Almarhum Dr Abdul Gaffur (mantan Menpora di jaman Pak Harto). Sikap beliau terhadap pak Harto sebetulnya mencerminkan karakter dasar beliau sendiri yg angkuh dan tertutup. Ayah saya pernah mencebloskan pak Camat tsb ke dalam tahanan karena kasus asusila.
Sebetulnya, tidak salah jika pak Camat bersikap demikian. Sebab kondisi Weda saat itu tidak lebih dari sebuah dusun kecil di Jawa. Rumah dinas milik pemerintah yg representatif hanya untuk instasi kepala kecamatan, mantri kesehatan, penilik sekolah (cuma ada 1 SD/SR dng 5 kelas. Kelas 6nya dilanjutkan di Tidore atau Ternate), Kepala Ratelda dan kepala kepolisian (lengkap dengan asrama anggota). Jika kedatangan tamu dinas, biasanya akan diinapkan di rumah pedagang China dan Arab karena bangunan permanen dan memiliki fasilitas lebih baik.
Sebagai catatan tambahan, perlu saya luruskan bahwa saat itu secara administratif kecamatan Weda itu berada di wilayah administratif Kabupaten Maluku Utara atau Propinsi Maluku. Weda tidak pernah menjadi wilayah administratif Irian Barat walaupun Sultan Tidore saat itu menjabat sebagai gubernur Irian Barat. Weda baru menjadi wilayah administratif Halmahera Tengah di awal tahun 70an ketika propinsi Maluku menambah daerah administrasi baru.
Sekian
Terima kasih.
Terima kasih banyak untuk tambahan ceritanya, Pak. Saya dapat membayangkan sendiri seperti apa Weda di tahun-tahun itu, sebab pada saat saya ke sana di tahun 2018 saja, kota ini masih begitu sepi. Kota kabupaten, tapi bahkan jauh lebih sepi dari pusat desa di tempat saya tinggal sekarang di Pemalang. Cuma memang Weda jauh lebih luas.
Terima kasih juga atas koreksinya mengenai pembagian wilayah Weda di masa lampau. Tulisan saya ini hanya berdasar cerita-cerita yang saya dapat sewaktu di sana.