Masyarakat setempat menyebutnya, Batu Runciang. Alasan klise itu muncul berdasarkan bentuk permukaan batuan yang runcing-runcing.
Berawal dari temuan salah seorang warga lokal di tahun 2014, kini Batu Runcing yang memiliki corak purba itu masuk ke dalam daftar objek wisata kategori geopark nasional—di bawah payung situs Geopark Silokek.
Berdasarkan penelitian Batu Runcing sudah ada sejak 299 juta tahun silam. Batuan yang tidak lazim itu, konon adalah karang yang menyembul ke permukaan akibat pergeseran lempeng tektonik di masa yang tidak diketahui. Oleh karena kontrasnya bentuk dan corak, Batu Runcing bagaikan rempah-rempah yang mengundang daya tarik wisata.
Bersama lima orang Kawan, saya menyambangi Batu Runcing mengendarai sepeda motor. Dari tepi jalan lintas Sumatra, tertulis di plang berjarak 3,5 km ke arah dalam dengan akses jalan yang sudah beraspal. Batu Runcing letaknya cukup tinggi. Berada di ketinggian kurang lebih 600 mdpl.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan. Objek wisata Batu Runcing hanya direkomendasikan untuk kendaraan sepeda motor atau mobil roda empat yang telah dipastikan dalam kondisi prima. Sebab jika tidak, cukup dikhawatirkan dengan kondisi kontur yang terjal, menanjak, berbelok dan ada sebagian belum sepenuhnya di aspal.
Meski statusnya adalah objek wisata, Batu Runcing belum sama sekali menetapkan biaya retribusi. Begitu pula untuk biaya parkir atau sekadar uang kebersihan. Bahkan selama berada di kawasan saya dan lima orang Kawan tidak menemukan satu pun pengelola selain masyarakat yang lalu-lalang. Termasuk warung yang kadang buka, kadang tidak.
Tepatnya Batu Runcing berada di Dusun Sungai Cocang, Desa Silungkang Oso, Kecamatan Silungkang. Masuk ke dalam wilayah administratif Kota Sawahlunto. Imbasnya Batu Runcing masuk kategorisasi situs warisan dunia di UNESCO. Untuk masing-masing timbulan yang dimiliki Batu Runcing paling tinggi yakni 30 meter.
Batu Runcing pagi hari yang sepi kala itu, menyuguhkan kabut tipis layaknya negeri di atas awan. Apalagi panorama bukit barisan yang saling berbaris menambah kesan estetis bentangan alam Sumatra.
Jika jeli, ketika matahari mulai meninggi dan kabut kembali ke peraduan. Nun di sudut jauh wisatawan biasanya akan melihat sepenggal puncak Gunung Sago di Payakumbuh.
Mengenal Potensi Budaya
Selain dari corak purba batuan karst Batu Runcing sebagai daya tarik utama. Wilayah Dusun Sungai Cocang juga memiliki kearifan lokal yang tak kalah menarik—mulai dari tenun songket hingga alat musik tradisional yang bernilai.
Alat musik tradisional itu adalah talempong batuang. Sama seperti alat musik tradisional lainnya dari Minangkabau; talempong. Hanya saja talempong batuang dibuat dengan bahan dasar bambu pilihan. Kemudian dipahat menggunakan teknik mencongkel, bilah-bilah bambu kemudian dibentuk ruas-ruas kecil sebagai tempat keluarnya bunyi.
Bunyi atau nada nantinya, akan menghasilkan suara-suara berbeda. Tidak sembarang orang memang yang mampu menciptakannya. Nah, satu-satunya orang yang mampu ialah almarhum Umar Malin Parmato, sesepuh yang sudah melakoni sejak dari buyutnya dahulu. Bahkan bukan saja alat musik tradisional, ia pun turut menjaga kelestarian tradisi marunguih.
Berdasarkan penjelasan tetua kampung, tradisi marungui dikenal dengan sebutan ratok silungkang tuo. Marunguih, berangkat dari akar tradisi akibat adanya persinggungan antara manusia dengan inyiak atau harimau. Harimau yang dimaksud bukan arti sebenarnya, melainkan seseorang yang sudah meninggal kemudian kembali ke dunia dalam wujud yang lain—menurut kepercayaan setempat.
Secara historis marunguih ialah kearifan lokal yang kini sudah dilupakan. Hal ini karena keberterimaan masyarakat yang berseberangan dengan norma sosial. Dalam praktiknya marunguih dilakukan untuk meratapi peristiwa kematian lalu berkembang menjadi kegagalan, kepedihan, kesuksesan dan percintaan—yang diratapi pada kuburan atau rumah-rumah tua yang sunyi.
Sejak perkembangan teknologi dan kemajuan zaman, tradisi marunguih sepenuhnya hilang. Begitu pula alat musik tradisional Talempong Batuang yang tidak memiliki regenerasi selain anak dari Pak Umar sendiri. Untuk kelestarian, ada upaya-upaya dinas terkait agar talempong batuang yang masuk ke dalam inventarisasi berharga tetap terjaga.
Masih dalam satu kawasan, saya menyempatkan singgah ke salah satu rumah pengrajin tenun Silungkang. Tak ada aktivitas yang saya dapati di sana selain alat tenun dan seorang Amak—Ibu. Kepada Amak tersebut saya bertanya mengapa tidak ada aktivitas bertenun. Ungkapnya, “Bahwa kami menenun hanya paruh waktu saja dan tidak menetapkan jam khusus.”
Tenun atau songket telah ada di Silungkang sejak ratusan tahun silam. Rata-ratanya, aktivitas bertenun didominasi kaum perempuan. Hal ini berangkat dari kondisi geografis, fenomena sosial dan budaya matrilineal. Selain itu juga untuk menyanggah perekonomian secara matang akibat budaya merantau kaum lelaki.
Proses pembuatan tenun cukup kompleks. Jika menggunakan mesin manual, satu kain tenun selebar kain sarung biasanya akan selesai dalam waktu satu bulan. Harganya pun beragam, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung dari tingkat kesulitan dan bahan benang yang dipilih.
Selama duduk bercengkrama, saya turut memperhatikan ruang-ruang yang dipilih untuk proses pembuatan tenun. Ada yang menggunakan ruangan khusus semipermanen dan atau ruang kamar tidak terpakai. Untuk pasar biasanya pengrajin tenun di kawasan Batu Runcing, Dusun Sungai Cocang bisa menjual langsung ke pelanggan atau toko-toko yang sudah tenar seperti INJ atau Songket Aina.
Sisi Lain Bentang Alam Batu Runcing
Menjelang matahari terbenam di ufuk barat, saya dan beberapa kKawan masih belum mau beranjak pergi. Saya memilih duduk berbincang sambil menikmati segelas kopi dan makanan ringan.
Sore itu, Batu Runcing kami akhiri dengan obrolan renyah. Di sela-sela saya sempat mengutarakan bahwa tempat seindah ini amat disayangkan jika tidak ditindak dengan cepat dalam hal pengelolaan sebagai objek wisata ‘berstandar’ layaknya objek wisata yang sudah memakai sistem ticketing, guide, berbasis local wisdom dan memiliki sentra oleh-oleh.
Berangkat dari panorama bukit barisan yang menawarkan sudut pandang berbeda. Serta lekuk lembahan sejauh mata memandang yang memanjakan setiap siapa saja yang menyaksikan. Saya berpendapat perlunya perhatian khusus dan pembenahan potensi. Mengangkat kembali kearifan lokal dan memberdayakan masyarakat sekitar.
Bahkan belakangan bulan pernah suatu waktu saya melihat sebuah spanduk bergambar masterplan pengembangan wisata Batu Runcing di dinding warung. Agaknya ada sikap optimis yang hendak dikedepankan oleh beberapa pemangku kebijakan, namun entah mengapa sore itu saya tidak melihat lagi spanduk demikian.
Akhirnya setelah kopi tandas dan makanan ringan ditelan habis, saya dan beberapa Kawan beranjak meninggalkan Batu Runcing yang belum ada perubahan. Segala cahaya kebudayaan yang pernah bersinar pada masanya, yang dikenal luas skala nasional dan mengundang daya tarik peneliti hingga ahli antropologi, saya camkan dan simpan baik-baik dalam hati; semoga globalisasi tidak lekas menggerusnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa disapa Raja, kini ia berdomisili di Jogja sebagai mahasiswa. Kadang suka jalan-jalan, kadang menulis cerita perjalanan. Di sela-sela kesibukan, Raja menekuni dunia kepenulisan di ruang kreatif Jejak Imaji dan tengah mengembangkan Komunitas Kolam Baca di kampung halaman.