Walau bukan penganut salah satu agama dari kebudayaan Tionghoa, tetapi aku selalu menantikan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya. Kemeriahan suasana menjelang Imlek di Glodok ataupun pertunjukan Barongsai dan Tatung yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa Krendang, Jakarta Barat ketika perayaan Cap Go Meh selalu menarik perhatianku.

Aku mulai mengacak tumpukan bukuku. Mencari bahan bacaan menarik bertemakan Imlek dan Cap Go Meh, selain tentang kemeriahan Glodok dan pertunjukan Barongsai. Di buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia karya Alwi Shahab—jurnalis senior dan pencerita terbaik tentang sejarah Betawi dan Jakarta—aku menemukan bacaan tentang tradisi membawakan ikan bandeng dan kue cina untuk calon mertua dari calon menantu sebelum Imlek.

Sementara di buku Kuliner Betawi Selaksa Rasa & Cerita dari tim Akademi Kuliner Indonesia, menceritakan tentang akulturasi budaya di kehidupan masyarakat Betawi yang multikultur dan berlangsung dalam kurun waktu lama sampai melahirkan tradisi lebaran gaya Jakarta yang “berwarna”. Sebutan “lebaran” sebagai perayaan agama membuat banyak lebaran di Betawi.

Di Islam, selain Lebaran Idulfitri dan Iduladha, ada juga Lebaran Anak Yatim di tanggal 10 Muharram. Di komunitas nonmuslim ada istilah Lebaran Serani yang merupakan sebutan untuk perayaan Natal. Istilah Serani mungkin berasal dari kata Nasrani. Begitu pun sebutan untuk pindang serani, yang merujuk pada pindangnya orang Nasrani. Makanan ini menjadi ciri khas pada saat Natal di komunitas warga Betawi keturunan Portugis di Kampung Tugu. Sementara untuk perayaan Imlek disebut Lebaran Cina dan pindang bandeng menjadi salah satu makanan yang wajib dihidangkan. 

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Sampul depan buku karya Windoro Adi di situs Gramedia Digital/Gramedia

Jejak Kekerabatan Multietnis dari Seekor Bandeng

Membaca fakta itu aku mulai mencari lebih jauh tentang hubungan ikan bandeng dengan perayaan Imlek. Akhirnya aku menemukan kalimat “Sepekan menjelang Imlek tiba, pertigaan Rawa Belong ramai oleh pedagang dan pembeli ikan bandeng…” di buku Batavia 1740 — Menyisir Jejak Betawi tulisan Windoro Adi.

Aku pernah beberapa kali ke Rawa Belong yang terkenal dengan Pasar Bunganya itu. Terakhir ke sana, aku menyusuri daerah ini dari halte busway Slipi Petamburan 2 sampai ke Pasar Bunga Rawa Belong. Dari penelusuran itu aku mendapati beberapa bangunan tua berikut ini:

  1. Gedung Tinggi Palmerah. Bekas kediaman Andries Hartsinck, seorang pejabat VOC, yang sekarang menjadi kantor Polsek Palmerah. Gedung ini dibangun tahun 1790-an bergaya arsitektur Indische dengan ciri khas pilar besar di bagian depan, langit-langit yang tinggi, serta jendela dan pintu besar.
  2. SD Negeri Palmerah 07 Pagi. Bangunan yang dibangun tahun 1936 ini dulunya gedung sekolah Tionghoa, Kwa Ming School.
  3. Kelenteng Hian Thian Siang Tee Bio. Kelenteng yang telah ada dari abad ke-19 ini berdiri di dekat Pasar Palmerah.

Rawa Belong juga terkenal sebagai kampungnya para jawara. Istilah ini mungkin berawal dari zaman Andries Hartsinck menjadi tuan tanah di Palmerah sampai Grogol. Penyebutan Palmerah berasal patok (paal) berwarna merah sebagai penanda batas tanah dari Andries Hartsinck. Dengan tanah seluas itu, Andries Hartsinck membutuhkan penjaga yang disebut centeng dan mandor. Kampung di depan Gedung Tinggi dikenal dengan nama Kampung Kemandoran. Kemungkinan dahulu daerah itu menjadi tempat tinggal para mandor dan centeng, jawara-jawaranya Andries Hartsinck.

Si Pitung, tokoh legenda masyarakat Betawi pun diceritakan lahir di Rawa Belong. Bahkan makamnya bisa ditemukan di depan gedung Telkom, Jl. Palmerah No. 80. Di buku Iwan Mahmoed Al-Fattah, Pitung (Pituan Pitulung): Jihad Fi Sabilillah Para Pejuang Menyelamatkan Jayakarta, menjelaskan Pitung bukan nama orang, melainkan nama kelompok yang terdiri dari tujuh orang jawara yang membela kaum lemah dari penindasan kaum kafir penjajah. Salah satu aliran silat khas Betawi, Silat Cingkrik, juga berasal dari Rawa Belong dan makin menguatkan frasa kampung jawara di Rawa Belong.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang ibu memilih bandeng yang akan dibeli di lapak bandeng Rawa Belong, Pamelah, Jakarta Barat/Daan Andraan

Mencari Bandeng di Rawa Belong

Tiga hari menjelang Imlek, dengan menumpang ojek daring, aku menuju ke Rawa Belong. Sehari sebelumnya aku telah mencari info tentang lokasi para penjual ikan bandengnya. Motor pun berhenti di pertigaan Jl. Rawa Belong dan Jl. Sulaiman. Lapak-lapak penjual ikan bandeng yang hanya ada ketika menjelang perayaan Imlek ini berjejer di sisi jalan. Lapak tersebut begitu sederhana. Hanya terbuat dari meja kayu yang di empat sudutnya ada tiang bambu sebagai penyangga atap yang terbuat dari plastik, dan di atas meja berderet-bertumpuk ikan bandeng.

Setelah berkeliling, aku berhenti di salah satu lapak. Pak Ujang, nama bapak penjual bandeng bercerita tentang tradisi “Nganter Bandeng”. Hantaran bandeng ini biasanya dilakukan oleh calon menantu kepada calon mertua. Bandeng yang dibawa dalam bentuk besar sebagai tanda keseriusan dan ketulusan. Bandeng ini kemudian dimasak pindang oleh calon menantu perempuan dan dihidangkan ke keluarga calon mertua laki-laki. Tradisi warga Betawi tersebut kemudian diadopsi oleh orang-orang Tionghoa waktu itu dan menjadikan bandeng sebagai sajian Imlek.

Mengutip dari warisanbudaya.kemendikbud.go.id, J. J. Rizal mengatakan sajian ikan bandeng untuk Imlek hanya ada di Indonesia dan tidak ada di Tiongkok. Orang Tiongkok di Batavia pada saat itu menyerap bandeng dari kultur Betawi sejak abad ke-17. Dalam jamuan makan tatkala Imlek, bandeng disajikan di akhir sebagai lambang dan harapan rezeki berlimpah di masa mendatang. Makin besar ukuran ikan, maka makin besar pula rezeki yang akan diperoleh di masa mendatang.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang calon pembeli dari atas motornya mengamati tumpukan bandeng jumbo di salah satu lapak Rawa Belong/Daan Andraan

Tradisi “Nganter Bandeng” Kini

Seorang Ibu yang sedang membeli ikan pun ikut nimbrung di percakapan kami. Zaman dahulu apabila ada ikan bandeng yang digantung di pagar rumah, itu menandakan ada seorang gadis yang belum menikah di rumah tersebut dan siap dipinang. Apabila bandengnya hilang, berarti ada seorang pemuda yang tertarik dengan sang gadis. Di masa sekarang, kalau ada yang menggantung ikan di pagar bukan diambil oleh pemuda yang akan datang melamar sang gadis, tetapi dicomot oleh kucing oren yang kelaparan, cerita sang ibu sambil terkekeh.

Tradisi “Nganter Bandeng” untuk menyenangkan hati mertua pun mulai pudar. Namun, ibu itu menambahkan pandangan menarik. Membeli dan memasak pindang bandeng pada saat Imlek, yang kemudian dimakan bersama-sama atau diberikan kepada keluarga yang lebih tua, masih menjadi tradisi yang mengakar di masyarakat Betawi di Jakarta.

Hal paling unik di lapak para penjual bandeng ini adalah ukuran bandeng yang jumbo. Pak Ujang mengatakan, ikan-ikan ini memang dipelihara sampai berukuran besar dan dipanen untuk dijual menjelang Imlek. Tambak di daerah Cilincing dan Tangerang menjadi sentra pemasok bandengnya. Sementara di lagu Penjual Ikan yang didendangkan Lilis Suryani saja, penyanyi lawas tahun 1960-an, bercerita tentang penjual ikan bandeng yang mengambil ikannya di empang Muara Karang.

Aku pun membeli dua ekor bandeng jumbo seberat tiga kilogram dengan harga Rp240.000 di lapak Pak Ujang. Di atas ojek daring yang mengantarku pulang, anganku dipusingkan, akan ke mana ikan-ikan bandeng ini kuberikan. Pasangan saja tidak punya, apalagi calon mertua!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar