Saya mengusap lembut sampul paspor yang warna putihnya mulai menguning. Setahun sudah benda ini terabaikan begitu saja. Biasanya akhir tahun kaki saya sudah gatal melangkah beranjak pergi ke luar Indonesia. Menyandang ransel dan ‘menggembel’ di suatu tempat sekedar menikmati atmosfer perjalanan yang berbeda. Saya rindu melewati malam-malam yang melelahkan di bandara saat menanti penerbangan pagi. Berbagi cerita dengan para musafir dan tersenyum hangat pada warga lokal.
Pandemi COVID-19 membuat langkah terhenti begitu saja. Merubah tatanan segala lini kehidupan yang membuat saya, kamu dan kita lelah yang tak terkatakan. Namun dibalik kelelahan dan kejenuhan akan pandemi, saya menemui hal-hal yang luput dalam perenungan saya sebagai bocah yang suka ‘hilang’ dari rumah.
Selama ini rumah bagi saya tak ubah kerinduan akan masakan ibu saya saat melepas lelah dalam melakukan perjalanan. Menuntaskan rindu dalam hitungan hari kemudian beranjak pergi. Rumah juga sebagai persinggahan sementara kala masalah keuangan saya mulai menipis. Seperti itu saya memaknai sebuah rumah. Tak ada kegembiraan berarti kecuali saat dalam perjalanan dan bertemu orang asing.
“Cobalah duduk di depan (toko bapak), biar berinteraksi dengan orang. Biar bisa terbuka pikiran. Ndak mambanam sedalam kamar doh. (Enggak mendap dalam kamar aja),” omel Ibu saya kala awal–awal pandemi saat pulang ke rumah.
Terbiasa di tanah rantau saya melewati sebagian waktu sebagai anak kosan dan menghabis hari–hari dengan melakukan perjalanan, saya cukup asing dengan suasana lingkungan di rumah. Rumah sekedar pelepasan rasa lelah yang membuat saya lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar kala pulang. Menjadi manusia rebahan yang sibuk berkhayal bikin bucket list tempat yang ingin segera dikunjungi.
Ibu saya pun mengenang sikap saya yang berbeda saat ia melewati suatu perjalanan bersama saya kala itu. “Kamu waktu itu cerewet bercerita dengan orang,” ucap ibu saya melihat sikap saya yang lebih banyak diam di rumah daripada berbicara banyak.
Saya menghela napas merenungi kembali tentang diri ini untuk pertama kalinya berada di rumah dalam jangka waktu yang cukup lama setelah sejak usia belasan tahun meninggalkan rumah. Rumah bagi saya masih terasa asing dan yang tersisa dalam ingatan ini adalah rasa masakan Ama, begitu saya memanggil ibu saya.
Perjalanan itu Bernama Rumah
Saya selalu mengumbar kepada orang–orang yang resah dengan kebiasaan saya melakukan perjalanan bahwa perjalanan mengasah sisi humanis saya sebagai makhluk sosial dan meleburkan keegoisan saya sebagai manusia. Cukup beralasan ketika orang–orang di sekitar saya sibuk mempertanyakan tujuan hidup saat mereka yang berada di usia saya sibuk bercengkrama dengan bocah dan pusing memikirkan menu makanan di rumah. Sementara hari–hari saya berkutat pada perjalanan dan destinasi apa yang ingin saya tuju.
Saya selalu berujar bahwa perjalanan yang saya lakukan baik ketika melangkah ke luar Indonesia atau sekedar mengunjungi suatu daerah adalah sebagai pembentukan karakter diri agar lebih baik pada kehidupan sosial. Bagaimana menghadapi perbedaan dengan bijak serta soal kemandirian hidup. Perjalanan bagi saya tak ubahnya sebuah sekolah dan orang–orang yang saya temui adalah mata pelajaran.
Ternyata saya tidak sepenuhnya benar dengan pemikiran egois saya. Saya lupa masih merupakan bagian dari anggota keluarga yang selalu siap menyambut saya dalam keadaan apapun. Saya abai pada kehangatan ruang keluarga dan tawa yang senantiasa pecah dalam kebahagiaan bernama keluarga. Bahwa rumah tidak sekedar masakan Ama yang kerap dirindukan dalam perjalanan.
Pandemi membuat langkah saya terhenti dan kembali berada di rumah dalam waktu yang cukup lama. Perjalanan saya saat ini bernama rumah perlahan mengasah sisi kepekaan saya sebagai manusia. Saya menyadari binar mata kasih sayang ayah saya saat beliau tiba-tiba mengelus lembut kepala saya ketika saya sedang menikmati makan siang. Beranjak dewasa, ternyata di mata seorang ayah, saya tetaplah gadis manja.
Rumah membuat saya banyak menghabiskan waktu dengan Ama ternyata mencubit hati saya akan sebuah kepedulian. Ama menyisihkan sedikit rezeki yang ia dapat untuk berbagi ke kerabat jauh ayah. Dari Ama saya juga belajar tidak ada kata malu untuk belajar kembali pada hal -hal yang terlupakan. Bersama Ama, saya mulai belajar mengaji membaca Alqur’an dengan baik. Ama mendatangkan seorang guru Tahsin yang usianya lebih dari sepuluh tahun dibawah saya.
Saya sempat kehilangan momen tumbuh kembang saat beranjak remaja tanpa kehadiran Ama karena mesti merantau ke tempat nenek. Lebih banyak di rumah, ternyata tak sekedar masakan Ama yang membuat saya berkesan tapi juga celetuk-celetuknya yang mengandung nasehat membuat saya bersyukur pada takdir Allah memiliki ibu yang menakjubkan.
Pandemi membuat saya jadi mengetahui hal-hal yang mengagumkan dari adik saya. Saya menemui sikap bijak dari sosok adik yang terasa seperti seorang kakak dalam bersikap menghadap sosial kehidupan. Rumah yang terasa asing perlahan menguap kala saya mulai memberanikan diri menebar senyum dari balik masker kepada tetangga. Pandemi membuka mata saya akan hangatnya sebuah perjalanan bernama rumah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.