Interval

Dulu dan Kini-nya Pendaki Gunung

Beberapa kali dan bukan sekali saya temukan perdebatan tentang pendakian gunung dulu dan kini, setidaknya di grup Facebook yang member anggotanya menyentuh puluhan ribu bahkan lebih. Tak jarang pula hal itu menimbulkan perdebatan, perselisihan, hingga memancing ketersinggungan dari beberapa orang.

Gunung Kembang
Gunung Kembang/Sandy Miftah

Dulu: “Zaman saya naik gunung nggak ada tuh bawa speaker portable, katanya mau menikmati alam dan mencari ketenangan tapi kok bawa speaker dan bikin risih tenda tetangga?”

Kini: “Zaman dulu kan nggak ada speaker portable, coba kalau dulu udah ada, mungkin bawa juga!”

Dulu: “Saya naik gunung pake jeans aman-aman aja, ga ada repot harus celana inilah, bahan itula, resiko lah.”

Kini: “Udah banyak celana yang dijual dan mendukung untuk kegiatan mendaki gunung. Secara bahan lebih aman juga untuk dipakai mendaki gunung.”

Dulu: “Saya naik gunung pakai sandal jepit bahkan bisa dan aman sampe muncak. Sekarang kok ribet ngurusin sepatu dengan merk, bahan, dan bla bla bla.”

Kini: “Pakai sendal jepit naik gunung ga aman, terlalu berbahaya dan beresiko. Lagian udah banyak juga sepatu gunung yang harganya terjangkau dan lebih aman untuk dipakai naik gunung.”

Dulu: “Kalau mau naik gunung, kami harus ikut diklat dulu. Belajar dulu, bahkan latihan dulu. Seenggaknya belajar memahami dan mengerti resikonya, lalu mempersiapkan supaya resikonya bisa diminimalisir.”

Kini: “Itu kan dulu, pas gunungnya sepi. Sekarang gunung udah rame, udah banyak juga yang rombongan yang ngajak barengan, bahkan ada pendakian open trip dan ada pemandunya.” 

Dulu: “Naik gunung dulu tuh buat nikmati alam, kalau udah turun bagi-bagi pengalaman dan cerita. Sekarang lebih sibuk pamer foto.”

Kini: “Ga Cuma pamer foto, ada yang buat konten juga. Bisa jadi media sharing juga kontennya, kalau dulu udah ada kamera di ponsel, kayaknya bakal sama aja.”

* * *

Sedikit contoh yang mungkin mewakili. Tidak sepenuhnya begitu, namun beberapa hal yang tertangkap kurang lebih begitu. Ada perbandingan yang terjadi dan membedakan satu sama lain di dulu dan sekarang.

Pada dasarnya mendaki gunung bukanlah hal yang baru, bahkan sudah ada dari jauh-jauh hari. Dan yang membedakannya hanyalah tentang kepentingannya. Ada masa kunjungan ke gunung untuk penelitian, ada pula masa di mana ke gunung menjadi pelarian dan persembunyian, saat zaman penjajahan misalnya. Berkembangnya waktu berkembang pula kepentingannya, mulai dari tujuan berolahraga yang ekstrim hingga mungkin menyentuh titik kunjungan wisata.

Area Camp Gunung Sumbing
Camping areaGunung Sumbing/Sandy Miftah

Ada yang pernah bercerita, seiring tren yang berkembang pesat dalam satu bidang, terlebih ketika unsur industri dan bisnis masuk ke dalamnya. Maka akan beriringan pula dengan bergeser dan terkikisnya nilai serta esensi di dalamnya.

Pendapat yang tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, namun tidak serta merta juga dapat disalahkan. Karena terkadang memang benar begitu fenomenanya, apalagi saat yang disentuh adalah sisi nilai dan esensi. Ketika itu cenderung bergeser maka mereka yang mengalami, mempelajari, dan membaginya akan sedikit bersuara atau berteriak atas kondisi tersebut. 

Memang benar jika zaman akan terus berkembang dan beriringan dengan perubahan, dan hal itu akan memberikan warna tersendiri dalam perjalanannya. Ada kemasan yang membuatnya menjadi lebih menarik, dan ada hal-hal yang akan menguntungkan banyak orang. Perkembangan pendakian gunung hari ini setidaknya memberikan dampak secara ekonomi bagi beberapa orang. Mulai dari penyewaan alat outdoor, sarana transportasi, hingga warga di sekitar basecamp yang ikut terlibat.

Namun seiring perkembangan itu pula seharusnya ada beberapa hal yang harus dijaga, terlebih tentang hal-hal yang berhubungan dengan identitas dan makna dari pendakian gunung itu sendiri. Benar jika dulu tegur sapa adalah hal yang lumrah ditemukan, bahkan saat tidak kenal sekali pun. Dan sekarang mungkin terkesan lebih cuek dan lebih acuh pada mereka yang di luar rombongannya. Dan hal itu terjadi karena gunungnya mungkin sudah terlalu ramai atau terlalu banyak orang, sehingga ruang untuk bertegur sapa justru menjadi lebih sempit.

Gunung Sumbing
Gunung Sumbing/Sandy Miftah

Dulu, mungkin jarang juga ditemukan kasus teman pendakian ditinggalkan sendirian di jalur saat sakit dan tidak fit. Ajakan naik gunung pun mungkin tak sesederhana yuk, yak, kuy, cabs, dan gas. Saat referensi lebih terbatas, maka mencari informasi dan persiapan justru lebih mendalam. Dan hari ini, bukankah sumber referensi dan informasi justru lebih luas? Tapi fenomena yang terjadi justru terkesan semakin sulit orang-orang menemukannya.

Menerima perkembangan mungkin suatu kewajaran, pertanda hidup memang dinamis dan kita adaptif dengan kondisi. Namun menjaga nilai beserta esensi di dalamnya adalah pilihan, menjadi bentuk usaha dan upaya, agar keduanya tetap beriringan dan saling menyeimbangkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
10 Gunung ‘Sumber Cerita Mistis’ di Indonesia, Berani Mendaki?