Amsterdam: Dari Ingatan dan Kayuhan

by Sarani Pitor Pakan

I

Kanal-kanal itu seperti berbau rempah dalam ingatan yang sangat jauh.

Ketika saya berjalan di sisinya, di pedestrian yang disusun dari batu-batu bata berwarna entah merah atau cokelat, yang terbayang adalah kapal-kapal yang merapat ke pesisir Banda, atau pulau-pulau lain di Maluku, dulu sekali.

Bagaimana kota-kota diciptakan, dan jalan-jalan dibangun, dan rumah-rumah didirikan di negeri dunia pertama ini? Dengan rempah-rempah yang wanginya mengandung eksotika dan nilainya mengundang eksplorasi?

Amsterdam, misalnya. Saya mengingat suatu sore musim panas di sekitaran Amstel. Saya berjalan kaki santai bersama seorang teman, menikmati hari yang hangat dengan setengah liter bir, lalu disusul es krim, dan sisanya obrolan-obrolan tak paralel tentang abc dan xyz. Itu hari Minggu dan jalur sepeda tak terlalu sibuk.

Lalu, seorang anak imigran bermain di luar rumahnya. Ibunya mengawasi. Kami melewati anak berambut keriting itu dengan senyum yang tanggung. “Di negeriku, saat melewati anak kecil seperti tadi, aku pasti akan mengelus-elus rambutnya. Tapi tidak di sini,” kata saya, mengomentari kejadian yang baru berlalu.

Rokin area, Amsterdam
Areal Rokin, salah satu bagian paling tua di Amsterdam/Kyana Dipananda

“Seharusnya seperti itu. Sehingga anak-anak adalah tanggung jawab setiap orang. Tapi tidak di sini,” balas teman saya, dengan melankolia yang sering muncul ketika kita membahas selatan/utara, tapi dengan nostalgia tentang yang tak terjadi. “Seharusnya” adalah kata kunci. Seharusnya tak ada rempah, renung saya.

Jalan-jalan di sisi Amstel, sore itu, begitu melenakan. Sepoi angin seperti datang dari negeri yang lain, seperti memberi kabar dari tempat-tempat di seberang Atlantik nun jauh di sana, mungkin Karibia atau Afrika. Saya jadi teringat rumah.

Entah bagaimana caranya. Tapi, setiap berjalan kaki di atas pedestrian Amsterdam, termasuk siang itu, saya selalu membayangkan rempah: cengkeh, pala, dan rupa-rupa wangi dari tenggara sana, yang diangkut dengan kapal-kapal raksasa ke Rotterdam atau Hamburg, dan berakhir di kios-kios pedagang di hari pasar.

Jalan kaki, mungkin, adalah semacam laku pedagogis, yang melaluinya kita memangkas jarak ontologis dengan tanah. Sehingga kita jadi satu dengannya. Dan kita jadi memahami relasi-relasi dengan rumah, tanah, dan bumi yang selama ini kabur.

Pula, lewat berjalan kaki saya belajar memahami ulang tentang apa itu kolonial dan poskolonial, seraya memperbarui tubuh poskolonial saya yang selama ini telanjur diguyur ontologi-epistemologi dari utara, seraya membayangkan kelindan-kelindan sejarah yang rumit yang selama ini gagal dibahasakan dengan jernih di sekolah.

Weesperplein, Amsterdam
Sudut Weesperplein, kawasan pusat kota Amsterdam/Kyana Dipananda

Kanal dan rempah: keduanya material, tapi juga metaforis. Saya menyerap utuh dua-duanya saat berjalan kaki di sekitaran Amstel sore itu.

Di depan supermarket Albert Heijn, saya berpisah dengan teman. Dia punya janji potluck dinner bersama teman-temannya. Katanya, dia ingin membeli beberapa rempah untuk bahan masakan nanti malam. Saya mengamatinya masuk ke dalam supermarket. Lalu matahari terbenam di punggungnya.


II

Setelah hampir dua, tiga tahun hidup melakukan komutasi bersama manusia-manusia acuh yang menyisir rambut, mengunyah roti, dan mengangkut kulkas bahkan berciuman sambil mengayuh pedal, aku berkesimpulan: Belanda dan kota-kota pada pundaknya hanya dapat dinikmati sepenuhnya dari atas sepeda.

Aspal merah adalah persoalan keistimewaan, tidak semua tempat punya itu. Tidak juga pada kota di mana aku lahir, besar dan akhirnya pergi.

Di sini, jarak pun tidak lagi dibaca lazim dalam hitungan kilometer, namun berapa lama waktu tempuh dengan sepeda, yang sungguh tidak adil mengingat tiga puluh menit mereka bisa jadi lima puluh menit bagi aku yang berkaki pendek.

amsterdam
Sepeda-sepeda terkunci di pinggir sebuah jembatan di Amsterdam/Kyana Dipananda

Tubuh sejujurnya bukanlah satu-satunya pembeda antara aku dan mereka. Ada hal-hal yang jauh lebih dalam dari kulit yang lebih gelap dan kepala yang lebih hitam. Meski aku sadar pula bahwa berbeda tidak selalu lebih buruk. Konsep sang lain (otherness) menjadi kabur terasa; meski kerap kali sadar akan perasaan inferior yang menyerang di saat lengah dan lelah, ada banyak hal yang mereka adopsi dari rumahku.

Dari atas sepeda, aku membelah Vondelpark, melewati Rijksmuseum, terus sampai Weesperplein. Sudah berapa banyak rumah makan Indonesia yang aku lewati? Tidak terhitung. Meski tidak jelas pula apa resto Javanese-Suriname masih masuk hitungan.

Babi ketjap, loempia, bamie, gado-gado, smoor ajam, dan sateh dengan saus pindakas (kacang) berjejer dalam lemari pendingin yang beratap tumpukan toples atjar tjampoer aneka sayur juga cabai dan tidak lupa, kroepoek. Seperti memesan dalam tablet ponsel pintar, kita hanya tinggal menyentuh lapisan kaca, menunjuk lauk, sembari melihat pilihan makanan kita diserok, ditimbang, dan jika mau dipanaskan dengan microwave.

Semua serupa warung Tegal 24 jam yang kerap ramai pada jam pulang kerja para buruh konveksi di Karawang. Bedanya tanpa lemari pendingin, timbangan dan microwave. Oh, dan tentu saja boleh ngutang kalau di Karawang. Tapi, tunggu, apakah konsep perburuhan masih ada di Belanda?

Toki Coffee di Binnen Dommersstraat, Amsterdam/Kyana Dipananda

Dari Weesperplein, ke arah Sarphatipark, dan berhentilah aku pada persimpangan Celebesstraat dan Javastraat. Sedikit disorientasi arah, kenapa aku tiba-tiba ada di Celebes? Bukankah, Sulawesi nama barunya?

Aku dengar, nama Celebes berasal dari pendatang berambut kuning yang singgah di sebuah pulau pada timur Indonesia. Pendatang tersebut berbincang dengan penduduk yang sedang memperbaiki engsel besi pada kapal yang merapat, mencari tahu apa nama pulau tersebut. Tidak tahu menahu apa maksud pendatang berambut kuning, penduduk tersebut mengira mereka bertanya apa yang sedang ia genggam. Tentu saja barang ini bernama, “sélé’ bessi.” Sungguh bodoh begini saja ditanyakan.

“Sélé’ bessi” adalah “engsel besi,” dan, spontan saja, pendatang berambut kuning mengira pulau tempat ia mendarat bernama Celebes. Cerita yang menarik, meski aku masih tak paham mengapa Sulawesi menjadi nama barunya. Atau bagaimana Jalan Sulawesi dan Jalan Jawa bisa hanya dipisahkan oleh lampu merah? Setahuku, penerbangan Jakarta ke Bitung memakan waktu sampai tiga jam lebih.

Untung saja, di kanan bahu Javastraat ada Madurastraat. Aku tidak jadi bingung, Madura dan Jawa memang berdekatan. Seperti saudara kandung, tetapi lain ibu. Meski aku yakin, Ibu Pertiwi tidak pernah pilih kasih.

Matahari mulai tinggi, dan aku mulai lelah mencari-cari jejak rumahku yang tertinggal pada labirin The Big A’dam.

Penyembah tiga agama: sepak bola, sastra, dan perjalanan.

You may also like

3 comments

Mei basri 21/Agustus/2019 - 2:04 pm

Lalu ingatan-ingatan akan DeWallen yang selalu ramai,
tempat kita menjajakan diri dan menikmati jajanan.

Canal- canal yang usang, pertigaan Ferdinandboolstraat, dan Sarinah Java kitchen.
Serta TKI-TKI kita yang malang, bertahun-tahun tak kemana-kemana, berkutat di Belanda saja, membersihkan rumah, mengelap cerobong dan berkumpul seperti sarden di apartemen yang sempit.

Titip Rindu untuk Diemen Zuid yang sepi.

Reply
Sarani 21/Agustus/2019 - 9:48 pm

Ughhhh sendunya mas basri 🙁

Reply
Wenty 31/Agustus/2019 - 1:28 pm

Sebenarnya, penamaan jalan menggunakan diksi-diksi selatan ini sebagai penghargaan ke negara jajahan atau pengingat bahwa mereka pernah berkuasa dan berjaya ya? Dan berharap prestige itu turun menurun antar generasi jadi kedua-belah pihak tidak akan pernah lupa sejarah dan kisah kisah kuasa-melankoli lainnya ?

Reply

Leave a Comment