Sepanjang mengenalnya, hampir tidak pernah terbit celah cemberut di wajahnya. Rambut ikal yang gondrong menjadi tanda kepala yang selalu melekat. Ditambah kacamata hitam, gayanya bak seorang Bob Marley yang lahir di Larantuka. Alex Lamapaha tersenyum menyambut uluran tangan saya yang menggenggam tangannya. “Panggil Ale saja,” celetuknya sambil mengibaskan rambutnya.
Pertemuan dengan Ale sejatinya diinisiasi oleh Syukron, dalam rangka membantu kami yang akan pergi ke Mekko. Ale mungkin tidak terbayang akan ikut ke Adonara. Begitupun kami. Motor Supra kawan berkelilingnya juga turut serta mendampingi dalam perjalanan ini. Selama di Mekko, Ale memang bisa diandalkan. Bawa karung, bawa motor, angkut tanah, mencangkul, semua coba ia lakukan dengan senang hati. Sayangnya kebersamaan kami dengan Ale tidak begitu lama di Mekko. Usai hari ketiga, Ale memutuskan untuk pulang karena ada beberapa kegiatan yang akan ia ikuti di Larantuka.
Sehabis dari Mekko, terbitlah ide bermalam di rumah Ale setiba di Larantuka. Kebetulan hari itu Ale mengikuti festival makanan tradisional, hingga akhirnya Bapaknya Ale lah yang menyambut kami penuh kehangatan. Sesuai tradisi bertamu di NTT, kami disuguhi kopi manis yang panasnya membuat kami harus menunggu sejenak untuk menghirup air hitamnya. Foto-foto keluarga tergantung di dinding. Ada foto Ale sekeluarga. Ada foto seorang perempuan dengan baju sekolah. Ada juga foto seorang pendeta dengan seorang ustad, entah siapa, saling merangkul.
“Bagus fotonya ini,” celetuk saya kepada Syukron.
Sejenak menghirup aroma kopi, kami mulai mengobrol dengan Bapak Markus Pati soal mangga, soal pekerjaannya, hingga soal pompa mesin. Kebetulan Syukron mengerti banyak soal mesin pompa dan serba serbinya. Tak berapa lama, si Bapak pamit untuk beristirahat. Kami kembali sibuk pada ponsel masing-masing. Hingga hampir tengah malam, barulah Ale muncul dengan membawa beberapa buah tangan.
“Ini kamu harus coba, kue tradisional Larantuka,” tawar Ale pada saya yang membaca bungkus makanannya yang dibuat oleh siswa-siswi SMK. Saya urung mengambil karena teringat sudah membersihkan gigi. Beberapa bungkus makanan lainnya juga ia keluarkan dari kresek. Kami semua sudah terlanjur kenyang malam itu.
Alexander Doni Sesa adalah nama asli dari Ale. Nama panggung lainnya selain Alex Lamapaha adalah Ale Jalan-Jalan, tergantung di mana ia berpijak dan berkegiatan. “Pokoknya nama banyak ini,” celotehnya ketika saya menanyakan nama mana yang sering digunakan.
Ale kecil tumbuh besar di Sandakan, sebuah kota di Kalimantan bagian utara yang berbentuk kepala bebek, kota yang terkenal sebagai kota pelabuhan. Orang tuanya yang merantau dari tahun 1983 mengharuskan Ale kecil untuk tumbuh di luar negaranya hingga ia berusia 6 tahun. Sekembalinya ke Indonesia, Ale tinggal di rumah neneknya, tepatnya di Adonara.
“Mau jalan tujuh tahun, saya disekolahkan di sana [Adonara]. Bapak dan Mama merantau lagi, balik merantau ke Malaysia.”
Orang tua Ale kembali ke Larantuka, sebuah kecamatan di ujung bagian timur Pulau Flores, dan membeli sebidang tanah untuk dijadikan tempat tinggal dan hingga kini kokoh berdiri. Ale mengenyam pendidikan di Larantuka hingga sekolah menengah akhir, kemudian memutuskan untuk pergi ke luar pulau. Tujuannya adalah Malang. Ale menempuh pendidikan di bidang sejarah dan sosiologi di kampus IKIP Budi Utomo.
“Kenapa milih sejarah?”
“Karena senang aja. Cerita, ingin cari tau di masa lampau dan sosiologi lebih banyak belajar karakter orang di masyarakat. Pokoknya sifat orang-orang di masyarakat.”
Seusai kuliah, seperti anak muda yang lain yang coba menjajal kemampuan. Semua lamaran disebar. Guru, CPNS, hingga akhirnya Ale memutuskan untuk hidup di jalan—lebih tepatnya tanpa kecenderungan di bidang apapun, yang juga mengilhami nama Ale Jalan-Jalan. Selama di jalan, Ale aktif berkegiatan di komunitas SimpaSio yang berkecimpung di bidang sosial budaya dan sejarah masyarakat Flores Timur. “Di situ [SimpaSio] juga saya tumbuh berkembang jadi diri sendiri, kenal dengan teman, dan buat kegiatan.” Aktif di komunitas tidak lantas menutup pintu Ale untuk mencoba berbagai hal lainnya. Sambilan lainnya yang ia kerjakan ada di pelabuhan; jadi tukang ojek, jadi buruh kapal, bahkan pemandu.
“Kalau nge-guide dari 2019, tanpa sengaja saya ketemu orang-orang pengendara yang touring dari Aceh, Jawa, pokoknya kalau ketemu mereka [pengendara] saya ajak mampir dulu biar saya arahkan mereka jalan ke mana lagi. Senangnya, bisa kasih kenal daerah kita ke mereka.”
“Saya senang hidup di jalan bisa ketemu orang dari mana-mana. Mau dari luar atau dari daerah sendiri. Dari yang tidak kenal menjadi kenal,” ungkapnya.
Hidup di jalan adalah kelebihan. Bertemu dan berpisah adalah suatu hal yang biasa, tapi dari sanalah rasa persaudaraan itu muncul dan Ale tidak lagi melihat sesuatu sebagai “orang asing”. Pertemuan menjadi ladang cerita, saling bertukar pengalaman, saling bertautan kenangan. Itu juga yang saya rasakan ketika bertemu dengannya. Dirinya sewaktu di Malang sering mengamen dan suatu waktu pernah kena razia Satpol PP. Ale mendapatkan nasihat agar tidak mengulang kegiatannya mencari uang di jalanan. Lantas, Ale mendapatkan banyak teman dari kelompok manusia jalanan; sesama pengamen maupun anak punk. Berulang kali ia menjadi pendengar teman-teman jalanannya.
“Lewat keadaan seperti itu mereka tetap berjuang untuk diri mereka.”
Di kamarnya, pada salah satu sudut ruang dekat jendela dan ranjang, wajah Ale terlukis bagai kartun, lengkap dengan rambut gondrongnya dan sebilah anting di telinganya. Di sudut lainnya, gambar Bob Marley, Sukarno, dan Che Guevara berdampingan dengan gambar angkot, kutipan, juga logo klub sepak bola AC Milan. “Suka reggae?” tanya saya setelah melihat pernak-pernik kamarnya dan warna merah, hijau, dan kuning.
Jawaban sukanya diikuti dengan alasan: ia mencintai musik tersebut karena kedamaian yang dibawanya. “Bob Marley mengajarkan kita damai sepanjang hari, satu hati, tidak boleh ada kebencian di antara kita.” Memang, senandung reggae adalah musik-musik yang digambarkan sebagai musik perdamaian. Sejarahnya, Bob Marley sering meneriakkan gema-gema perjuangan dari lagunya, dalam upaya perlawanan bangsa Afrika atas kolonialisme bangsa kulit putih maupun perdamaian secara universal.
Ale mengajak kami mengitari Larantuka. Dengan meminjam sebuah motor tambahan, kami singgah ke beberapa tempat di Larantuka. Kota ini bagai sebuah pohon besar yang menaungi beberapa rumah ibadah di dalamnya. Saya menyukai bagaimana Adonara terlihat dari sisi timur, di seberang jalan yang langsung menghadap Laut Sawu yang terdesak. Iman Kristen memainkan perannya, menjadi ikon kota dan ikon budaya, tapi tidak mendesak saudaranya untuk pergi, apalagi menginginkannya musnah. Tidak, tidak. Larantuka tidak sekasar itu dalam melebur keberagaman. Dan Ale, mungkin adalah salah satu bentuk anugerah Tuhan dalam menjunjung perbedaan.
***
Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.