Pengumuman bahwa kasus suspek COVID-19 pertama di Indonesia muncul di Depok, Jawa Barat, awal Maret, kujadikan bahan kelakar untuk teman-teman yang berasal dari wilayah itu. “Wah, anak Depok, nih. Jangan deketin, ada coronanya!” Beberapa hari kemudian kelakar itu menjadi tidak lagi lucu. Penyebaran virus yang semakin masif ke seluruh dunia membuat WHO menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global.
Ketika corona mulai menjadi berita di awal tahun, aku dan banyak orang di Indonesia mungkin tidak menyangka kalau virus ini akan mewabah di Indonesia. Apalagi bacot para pejabat negeri ini, yang mengklaim Indonesia akan aman dari corona karena doa-doa dan makan nasi kucing, tersebar ke mana-mana, bikin aku berasumsi kuat bahwa Indonesia akan aman dari corona.
Namun semua berubah ketika tamu-tamu di restoranku (aku bekerja sebagai waiter) satu per satu mulai membatalkan reservasi mereka di bulan Maret. Ini mungkin karena suspek pertama COVID-19 tertular di salah satu restoran bergaya Meksiko di daerah Kemang. Aku pun mendengar kabar bahwa teman-temanku di Bali yang bekerja di hotel mulai dirumahkan karena okupansi menurun drastis. Tidak lama setelah itu restoran tempatku bekerja memberlakukan pengurangan karyawan dan hari kerja. Aku salah satu yang mendapat pengurangan hari kerja.
Kemudian, setelah terbitnya Surat Keputusan Menkes No. HK.01.07/Menkes/239/2020, yang mengabulkan permintaan Gubernur DKI Anies Baswedan untuk mengadakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di wilayah Jakarta, aku pun dirumahkan, tanpa digaji tapi tidak dipecat dan diperbolehkan mengambil surat keterangan pengunduran diri untuk mencairkan dana BPJS Ketenagakerjaan.
Mulai dari sini dampak pandemi mulai kurasakan. Tanpa gaji dan hanya berdiam di kos saja bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku berpikir untuk pulang saja ke rumah di Karawang. Namun akhirnya kubatalkan karena PSBB sangat membatasi orang untuk bepergian ke luar kota.
Bulan Ramadan pun kujalani di kos saja ditemani buku dan Netflix. Puasa tahun ini sangat berbeda. Sesuai anjuran pemerintah aku tidak salat tarawih berjemaah di masjid, walaupun di dekat kosku ada beberapa masjid yang melaksanakannya. Seruan ibuku untuk berlebaran di rumah Karawang pun tak bisa kuturuti. Alasannya bukan cuma karena pemerintah menganjurkan untuk tidak ke mana-mana, namun juga karena Jakarta adalah episentrum COVID-19. Meskipun tidak mengalami gejala terinfeksi virus, bisa saja aku menjadi orang tanpa gejala (silent carrier). Ibuku sudah tua. Tentu saja daya tahan tubuhnya tidak seperti dulu lagi.
Hari Lebaran pun hanya kuhabiskan di kos dengan menyantap opor dan rendang yang dikirim temanku di malam takbiran. Sedih dan rindu menyeruak. Janji untuk menemani ibu berlebaran di Karawang, karena tahun ini Lebaran kedua tanpa bapak, tak bisa kutepati.
Maaf, Bu.
Awal Juni, Jakarta memasuki PSBB Transisi. Aturan-aturan ketat semasa PSBB sebelumnya diperlunak. Perkantoran mulai buka, dunia usaha mulai bergerak kembali dengan slogan “New Normal.” Restoranku pun mulai bisa menerima tamu untuk dine-in dan aku pun kembali bekerja, tapi tetap dengan pengurangan hari kerja. Di minggu kedua bulan Juni restoranku mendapatkan pesanan outside catering (memindahkan pelayanan restoran ke tempat pemesan) di salah satu instansi pemerintahan. Di tempat pemesan, kami membuat dapur mini, menghias ruangan dan meja makan, dan mengerahkan kru dapur dan pramusaji.
Protokol kesehatan sangat ketat diterapkan kala itu, sebab kami melayani makan siang menteri dan para tamunya, seorang duta besar beserta rombongan. Aku dan teman-temanku yang bertugas diwajibkan mengikuti tes cepat (rapid test). Ketika menunggu hasil tes tersebut detak jantungku berdegup kencang tak beraturan. Semua bacaan doa berhasil kurapalkan—aku yakin doa tidur pun pasti terselip. Alhamdulillah kami semua non-reaktif.
Semula, hasil tes itu terasa sangat menggembirakan. “Akhirnya aku bisa pulang,” pikirku. Namun, belakangan, setelah tahu bahwa tes cepat bukanlah diagnosis dan tujuannya hanya untuk screening dengan akurasi hanya 47%, pulang jadi tinggal rencana.
Setelah Idul Adha, awal Agustus, aku ditugaskan kembali untuk outside catering. Kali ini untuk perayaan ulang tahun salah seorang konglomerat Indonesia yang pernah berkecimpung di dunia politik nasional dan menjadi pemimpin partai. Aku pun dites-cepat kembali. Enak sekali sepertinya jadi orang kaya. Mereka bisa membuat acara di tengah pademi dengan perasaan aman karena semua yang hadir harus dites. Biaya sekali tes cepat sekitar Rp150 ribu. Untuk tahu biaya yang keluar, kalikan saja dengan jumlah orang yang ada di acara itu. Tapi aku senang juga sebenarnya, sebab bisa tes cepat gratis.
Sebelum acara selesai, aku diberi tahu awak marketing restoranku bahwa dalam beberapa hari ke depan akan ada outside catering kembali. Dalam hati aku berdoa semoga tidak ikut bertugas di acara itu. Untung doaku tidak dikabulkan.
Empunya hajat adalah partai besar yang akan melaksanakan kongres. Panitia mensyaratkan semua yang hadir untuk mendapatkan hasil negatif pada tes swab yang mereka sediakan. Tes itu dilakukan dengan mengambil sampel lendir di tenggorokan atau rongga hidung yang kemudian diperiksa dengan metode PCR (polymerase chain reaction).
Sampel lendir itu diambil dengan alat panjang seperti korek kuping. Alat itu dimasukkan ke dalam hidung sampai menyentuh bagian dalam, lalu dibiarkan beberapa detik agar lendirnya terserap dengan sempurna. Bukan pengalaman yang menyenangkan, tapi aku gembira karena hasilnya mestilah lebih akurat ketimbang tes cepat. Hasilnya, semua awak negatif dan kami semua bisa berangkat ke acara tersebut.
Di Tol Jagorawi, dalam mobil yang menjemput timku yang kelelahan setelah bertugas pada outside catering itu, aku berkata dalam hati, “Bu, akhirnya aku bisa pulang.”