Ketidakselarasan Estetik Bagong Kussudiardja dan Ahli Warisnya dalam “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu”

Saya datang ke pembukaan pameran “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu” karena penasaran: seberapa jauh “buah-buah” Bagong Kussudiardja jatuh dari pohonnya?

Sang kurator pameran, Sunarno Wisetrotomo, membuat saya makin penasaran. Pasalnya, dalam sambutan kuratorial ia memberi spoiler. Ia mengatakan bahwa dalam pameran karya-karya Bagong Kussudiardja dan para pewarisnya ini kita akan menyaksikan “kemenerusan dan keterputusan estetik.”

bagong kussudiardja

Kuartet Anteng Kitiran membawakan sebuah nomor “fusion jazz” untuk membuka pameran/Fuji Adriza

Untungnya, rasa penasaran saya tak perlu menunggu lama. Usai sambutan dari Slamet Rahardjo dan Sakti Wahyu Trenggono, semua dipersilakan memasuki ruang pameran.

Bagong Kussudiardja yang menari dalam lukisan

Bersama puluhan orang yang penasaran, saya memasuki ruangan tempat puluhan karya sang maestro dipamerkan. (Karya para pewaris berada di lantai dua.)

Ruangan itu berisi puluhan sketsa dan lukisan—serta kerajinan—yang dibuat oleh Bagong antara tahun 1986-2002. Juga, ada satu unit monitor yang memutar video-video tentang seniman kawakan itu.

bagong kussudiardja

Slamet Rahardjo, murid sang maestro, memberikan kata sambutan/Fuji Adriza

Dari puluhan bingkai yang dipamerkan, hanya beberapa lukisan saja yang warna-warni. Sisanya bernuansa hitam putih. Semuanya bercerita tentang satu hal, yakni tari.

Dalam teks kuratorial, Sunarno Wisetrotomo menulis: “(Dalam karya-karya Bagong Kussudiardja yang dipamerkan) Kita bisa melihat upayanya untuk memahami penari sebagai manusia dan kepenariannya melalui karya-karya sketsa yang merekam berbagai tarian.”

Namun, bisa jadi sketsa dan lukisan itu malah, sebaliknya, semacam cetak biru dari letupan-letupan ide koreografi dalam alam pikiran seniman Bagong yang, sebelum mewujud dalam gerakan, menemukan stasiun transit, yakni bidang datar, layaknya partitur bagi seorang komposer musik.

bagong kussudiardja

Sketsa-sketsa karya Alm. Bagong/Fuji Adriza

Yang juga menarik adalah kumpulan seni kerajinan (craft art) (dari kawat, duco, dan cat) berjudul “Patung Menari.” Dibuat antara tahun 1994 sampai 1999, patung-patung kecil itu adalah cuplikan dari perjalanan kreatif sang maestro selama beberapa tahun.

Para pewaris yang tidak “mem-Bagong”

Dari ruang pamer lantai satu, saya kemudian naik tangga kayu sempit menuju lantai dua. Rasanya sudah tak sabar lagi untuk memahami maksud “kemenerusan dan keterputusan estetik” yang tadi disinggung-singgung sang kurator.

bagong kussudiardja

Djaduk Ferianto memotret seorang kawannya yang sedang berpose/Fuji Adriza

Karya-karya para pewaris tak kalah menarik. Djaduk Ferianto mengabadikan tarian kehidupan dalam bingkai-bingkai foto hitam-putih. Otok Bima Sidarta mengekspresikan diri dan ke-Indonesiaan-nya dalam lukisan-lukisan bertema tokoh pewayangan yang penuh warna. Butet Kertaredjasa menyuarakan dirinya lewat mainan barunya: seni rupa keramik. Sementara itu, Doni “Aul” Maulistya menggabungkan desain grafis dan fotografi.

Saya mulai memahaminya. Barangkali, “kemenerusan dan keterputusan estetik” itu ada pada kenyataan bahwa para pewaris Bagong Kussudiardja tetap menekuni seni tanpa harus “mem-Bagong.” Para pewaris itu, sama seperti Bagong, seperti sadar betul bahwa seni adalah persoalan mengekspresikan ide dalam bahasa-bahasa seni, entah tari, musik, rupa.

bagong kussudiardja

Lukisan Otok Bima Sidarta yang banyak mengangkat tokoh-tokoh pewayangan/Fuji Adriza

Maka, ketika ide menjadi hal terpenting, medium takkan pernah menjadi persoalan. Sebuah ide yang matang pasti akan dapat dibahasakan melalui medium apa pun.

Lihat saja foto-foto hitam putih Djaduk Ferianto yang masih kental nuansa musik dan tari. Karya-karya keramik Butet Kertaredjasa juga ternyata tak jauh-jauh dari permainan kata dan pesan-pesan politik. (Lihat seni keramik yang berjudul Nirtekstil, juga Celeng Berbulu Doreng dan Celeng Berbulu Beringin yang dipajang di tengah-tengah ruangan.) Begitu juga dengan lukisan-lukisan Otok Bima Sidarta yang tetap tak kehilangan nuansa karawitan.

bagong kussudiardja

Butet Kertaredjasa menampilkan karya seni rupa keramik/Fuji Adriza

“Kemenerusan dan keterputusan estetik” yang dimaksud Sunarno Wisetrotomo mengindikasikan keberhasilan sang maestro dalam mendidik dan mematangkan karakter para pewaris biologisnya.

Ketidakselarasan estetik

Ada ekspresi lain—yang saya pinjam dari disiplin ilmu geologi—yang barangkali lebih pas dibanding “kemenerusan dan keterputusan estetik,” yakni ketidakselarasan estetik (aesthetical unconformity).

Karena seni adalah eskpresi, ia tak dapat dipisahkan dari konteks zaman. Kondisi sosio-kultural—termasuk situasi politik dan perkembangan teknologi—sangat memengaruhi bagaimana seniman mengekspresikan diri dalam karya.

bagong kussudiardja

Karya Doni “Aul” Maulistya yang banyak mengangkat sosok Bunda Maria/Fuji Adriza

Kondisi-kondisi itulah yang pada akhirnya memancing munculnya karakter yang berbeda (tidak-selaras) antargenerasi, yang, kendati demikian, tetap berada pada satu bidang yang sama, yakni seni.

Ketidakselarasan itulah barangkali yang dimaksud oleh Butet Kertaredjasa, mengutip pernyataannya dalam statetment seniman, sebagai “keberanian menawar kembali batas-batas normatif berkesenian.”

Maka rasa-rasanya kita bisa kembali ke paragraf awal untuk menjawab pertanyaan: seberapa jauh “buah-buah” Bagong Kussudiardja jatuh dari pohonnya? Jatuhnya, sepertinya, tidak jauh. Namun “buah-buah” itu sekarang sudah tumbuh menjadi pohon-pohon kuat yang semakin membesar dan, barangkali, suatu saat akan menyamai atau bahkan melebihi pohon Bagong.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar